Gen Pengembara

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 11:45 WIB

Tetapi ketika para petani di Eropa mulai mengembangbiakkan ternak peng­hasilsusu sekitar 10.000 tahun silam—sebuah budaya yang sepenuhnya baru ketika itu—gen ini sekonyong-konyong mem­beri manusia akses terhadap sumber makan­an yang bisa diandalkan sepanjang tahun.

Mereka bisa bertahan dari masa paceklik yang menyebabkan orang lain mati kelaparan. Keunggulan ini dengan cepat menyebarkan gen tersebut ke seluruh Eropa, walaupun keberadaannya masih langka di tempat lain.!break!

Anda dapat melihat tanda-tanda dinamika ini—gen dan budaya yang saling memengaruhi nilai—hampir di seluruh dunia, dalam tingkah rumit manusia, terutama dalam hal penjelajahan. Ketika seorang manusia pertama kali menggunakan batu untuk memecah cangkang kacang, dia membuka jalan untuk budaya yang akan giat menyeleksi gen-gen yang diteliti oleh Jim Noonan, yang memunculkan keterampilan dan imajinasi.

Tetapi, bagaimana dengan tupaia? Gen dan budayanya, sepertinya, mengambil jalan yang lebih berliku-liku sebelum berjumpa dengan saudara Inggris-nya. Faktanya, penyebaran bangsa Polinesia di Pasifik mencerminkan salah satu pergerakan terjanggal yang membawa Homo sapiens keluar dari kampung halaman mereka di Afrika dan mengelilingi dunia.

Perjalanan mereka dimulai sekitar 60.000 tahun silam, ketika salah satu gelombang migrasi pertama berangkat dari Afrika melintasi Timur Tengah dan menyusuri pesisir selatan Asia. Mereka tiba di Australia dan Papua Nugini—yang ketika itu lebih mudah dicapai karena kedangkalan samudra—hanya dalam 10.000 tahun.

Selama 10.000 tahun berikutnya, mereka menjelajahi pulau, yang kadang-kadang disebut Oceania Dekat, hingga akhirnya tiba di gugusan lengkung kepulauan Bismarck dan Solomon. Di sana mereka berhenti.

Hingga titik itu, menurut Ana Duggan, yang meneliti migrasi ini di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, “pulau-pulau yang mereka lalui secara umum berdekatan.” Dengan kata lain, daratan selalu berada dalam jarak pandang. Pulau di depan mereka akan menyembul di cakrawala sebelum pulau yang ditinggalkan tenggelam di belakang.

Menurut teori “keluar dari Taiwan,” sekitar 3.500 tahun lalu penduduk Oceania Dekat menerima tamu dari utara—yang dikenal se­bagai bangsa Austronesia (membingungkan, karena mereka berasal dari Asia) yang berangkat dari Taiwan dan pesisir China selatan seribu tahun sebelumnya. Lalu, perlahan-lahan me­nyebar ke Filipina dan pulau-pulau lainnya di Asia Tenggara sebelum mencapai Oceania Dekat.

Setibanya di sana, mereka berbaur dengan penduduk setempat. Selama beberapa abad kemudian, percampuran gen dan kultur ini menghasilkan bangsa baru bernama Lapita. Tidak lama kemudian, orang-orang Lapita mulai berlayar ke timur menyeberangi Pasifik.

Apakah yang memicu mereka memulai lagi? Barangkali bukan gen baru. Bangsa Austronesia tidak menonjol dengan gen pengembaranya. Bahkan, varian 7R dan 2R lebih jarang ditemukan di Asia daripada di Oceania Dekat. Tetapi orang-orang Asia membawa sesuatu yang baru.!break!

“Mereka membawa perahu yang lebih bagus,” kata Duggan. Yang dimaksud dengan pe­rahu adalah kano-kano panjang bercadik dan berlayar yang dapat menjangkau kecepatan lebih tinggi dan jarak lebih jauh. Kapal-kapal itu memungkinkan bangsa Austronesia berlayar di tengah badai dan laut pasang. Kendaraan ini tentu memukau penduduk setempat.

Ke­gembiraan yang ditimbulkan oleh kapal-kapal itu, yang hingga kini dapat ditemukan jejaknya pada budaya Polinesia dan keabadian kosa kata kelautannya, memberikan status yang tinggi ter­hadap pemiliknya. Motivasi menjelajah meningkat, begitu pula penghargaannya.

Seperti astronaut pada masa kini, perakit kapal dan pelaut di Pulau Pasifik menikmati penghargaan sosial yang meningkatkan peluang perkawinan, memberikan dukungan sosial dan ekonomi, dan menciptakan motivasi untuk menyebarluaskan gen pengembara. Begitulah Tupaia, mengendarai DNA para leluhurnya, menuju timur.

Kendaraan laut yang tepat seperti kapal bangsa Polinesia men­­jadi metafora yang nyaris sempurna untuk kekuasaan yang kita peroleh melalui kebudayaan. Itu memberi genom yang lentur, benak imajinatif, dan tangan terampil kita ke­kuatan untuk mengubah faktor terkuat se­kali­pun di lingkungan kita—angin, air, arus—dari ancaman menjadi kesempatan.

Walaupun badai menggulung lautan, kita tidak perlu tinggal di rumah atau membiarkan diri kita hanyut, karena kita bisa mengubah arah, mengibarkan layar, dan beradaptasi di lingkungan yang berbeda. Bagi bangsa Lapita yang melongok dari ujung timur Kepulauan Solomon pada samudra yang terbentang luas di hadapan mereka, kapal semacam itu mirip sepasang kaki baru.

Dengan tangkai kemudi di tangan dan kepulauan baru di dalam kepala, mereka melanjutkan pengembaraan mengelilingi dunia.