Gen Pengembara

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 11:45 WIB

MUSIM DINGIN 1769. Penjelajah Inggris Kapten James Cook, pada awal penyeberangan Pasifik pertamanya, menerima hadiah istimewa dari se­orang pendeta Polinesia bernama Tupaia. Ha­diah tersebut adalah peta pertama yang per­nah dilihat oleh seorang Eropa, yang meng­gambar­kan semua pulau utama di Pasifik Selatan.

Bagi Cook, peta itu langsung memberikan gambaran yang jauh lebih lengkap mengenai Pasifik Selatan daripada peta-peta yang ada di Eropa. Di situ ditunjukkan semua pulau uta­ma dalam lintasan sekitar 5.000 kilometer, dari Marquesas ke Fiji di barat.

Gambaran itu sesuai dengan yang pernah dilihat Cook, sekaligus me­nunjukkan banyak hal yang belum pernah dilihatnya sama sekali. Cook memberi tempat kepada Tupaia di Endeavour ketika dia merapat di Tahiti. Tidak lama kemudian, pria Polinesia itu membawa me­reka ke sebuah pulau yang tidak dikenal oleh Cook, sekitar 500 kilometer di selatan, tanpa melihat kompas, bagan, jam, atau sekstan.

Sejak menjadi pemandu di Endeavour, Tupaia terus membuat takjub dengan menuruti permintaan para awak kapal untuk menunjuk secara akurat ke Tahiti, tak peduli siang atau malam, mendung atau cerah.

Cook memahami makna keahlian Tupaia. Penduduk pulau-pulau yang tersebar di Pasifik Selatan berasal dari satu kelompok, yang dahulu telah menjelajahi, menghuni, dan memetakan samudra luas ini tanpa peralatan navigasi yang esensial bagi Cook—dan menyimpan peta itu di kepala mereka.

Dua abad kemudian, sebuah jaringan ah­li genetika global yang menganalisis jejak mi­­gra­si manusia modern membuktikan ke­­benaran dugaan Cook: leluhur Tupaia te­lah menghuni Pasifik sejak 2.300 tahun silam.

Kendati tampak mustahil, migrasi menyeberangi Pasifik merupakan lanjutan dari perjalanan darat menuju timur yang dimulai dari Afrika pada 70.000 sampai 50.000 tahun sebelumnya.

Perjalanan Cook adalah lanjutan dari pergerakan ke barat yang dimulai oleh leluhurnya sendiri, yang meninggalkan Afrika pada waktu yang kurang lebih bersamaan. Per­­jumpaan Cook dengan Tupaia menutup ling­karan, menyelesaikan perjalanan yang di­mulai oleh leluhur mereka beribu-ribu tahun silam.!break!

Cook tewas dalam sebuah pertikaian ber­darah melawan penduduk Hawai’i sepuluh tahun kemudian. Kematiannya, menurut se­bagian orang, menutup apa yang dianggap oleh para ahli sejarah Barat sebagai era penjelajahan. Namun, itu tidak menghentikan penjelajahan kita.

Kita tetap terobsesi untuk memetakan se­luruh Bumi; mendatangi kutub-kutub terjauh, puncak-puncak tertinggi, dan palung-palung terdalam; berlayar ke setiap sudut, lalu melesat ke luar angkasa.

Amerika Serikat, bersama negara-negara lain­nya dan beberapa perusahaan swasta, tengah bersiap-siap menerbangkan manusia ke Mars. Beberapa visioner bahkan mempertimbangkan untuk mengirim pesawat ruang angkasa ke bintang terdekat.

Ilmuwan NASA, Michael Barratt, adalah salah se­orang yang gatal ingin menginjakkan kaki ke Mars. Dokter, pe­selam, dan pilot jet ini secara sadar membayangkan dirinya meneruskan per­jalanan Cook dan Tupaia menjelajahi Pasifik. “Kami melakukan hal yang sama dengan mereka,” kata pria yang telah menjadi pelaut selama 40 tahun dan astronaut selama 12 tahun ini.

“Ini terjadi pada setiap titik dalam sejarah manusia. Sebuah peradaban mengembangkan teknologi yang memungkinkan, entah untuk meng­awetkan dan mengangkut makanan dengan mudah, merakit kapal, atau meluncurkan roket. Kemudian Anda akan me­nemukan manusia-manusia yang cukup berhasrat untuk memasang roket di pantat agar bisa keluar dan mencari hal-hal baru.”

Tidak semua orang gatal ingin mengendarai roket atau mengarungi samudra tak berbatas. Tetapi sebagai spesies, manusia dianugerahi rasa penasaran, sehingga rela membayar mahal dan mengelu-elukan para petualang yang berhasil pulang.

Ya, kita menjelajah untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik atau memperluas wilayah kekuasaan atau meraih kekayaan. Tetapi kita juga menjelajahi suatu tempat hanya untuk mencari tahu apa yang ada di sana. “Tidak ada mamalia lain yang sibuk ber­pindah-pindah seperti kita,” ungkap Svante Pääbo, direktur Max Planck Institute for Evo­lu­tionary Anthropology di Leipzig, Jerman, tem­pat­nya menggunakan genetika untuk mem­pelajari asal-usul manusia.!break!

“Kita me­lompati perbatasan, menerobos wilayah baru walaupun sudah memiliki sumber daya di tempat asal kita. Binatang lain tidak me­lakukan ini. Manusia lain pun tidak. Manusia neanderthal berjaya selama ratusan hingga ribuan tahun, tetapi mereka tidak pernah ber­pencar ke seluruh dunia. Hanya dalam 50.000 tahun, kita sudah sampai ke mana-mana. Ada semacam kegilaan yang dimiliki manusia. Saat mengarungi samudra, Anda tidak tahu apa yang ada di sisi lain. Dan kini kita menyasar Mars. Kita tidak pernah berhenti. Mengapa?”

Pääbo dan para ilmuwan lainnya yang me­renungi pertanyaan ini juga penjelajah di ranah baru. Namun, tetap saja, penelitian tentang apa yang membuat manusia gatal menghadapi dorongan untuk menjelajah adalah ranah yang menggoda. Apakah yang menggerakkan kita dari Afrika menuju bulan dan seterusnya?

Jika dorongan untuk menjelajah dibawa sejak lahir, barangkali akarnya terdapat di dalam gen kita. Nyatanya, betul ada mutasi yang kerap muncul dalam berbagai diskusi soal ini: sebuah varian gen bernama DRD4.

Gen ini berperan dalam membantu me­ngendalikan dopamin, zat kimia pembawa pesan di otak yang penting dalam proses pem­belajaran dan peraihan kepuasan. Para peneliti telah berulang kali mencari keterkaitan varian, yang dikenal sebagai DRD4-7R dan dimiliki oleh sekitar 20 persen manusia dengan rasa pe­­nasaran dan keinginan untuk men­jelajah.

Puluhan kajian tentang manusia men­dapati bahwa 7R menjadikan manusia lebih rela me­ngambil risiko; mengeksplorasi tempat, gagasan, makanan, hubungan, obat-obatan, atau peluang seksual baru; dan secara umum menyambut baik perubahan dan petualangan.

Yang paling menarik, beberapa penelitian me­­ngait­kan 7R dengan migrasi manusia. Pe­nelitian genetika berskala besar pertama, yang dipimpin Chuansheng Chen dari University of California pada 1999, men­dapati bahwa 7R lebih umum ditemukan dalam masyarakat modern berbudaya migrasi daripada yang menetap.

Pernyataan ini didukung oleh se­buah penelitian berskala lebih besar dan lebih berlandasan statistika pada 2011, yang meng­ungkap­­kan bahwa 7R, di luar dugaan, cen­derung lebih sering ditemukan dalam populasi yang leluhurnya bermigrasi lebih jauh setelah keluar dari Afrika.

Kedua penelitian itu tidak bermaksud membuktikan bahwa formasi 7R dari gen-lah yang menjadikan para leluhur pe­ngembara; untuk menguji keakuratan premis tersebut kita harus kembali ke masa lalu. Tetapi keduanya mendukung gagasan bahwa varian 7R bertahan dalam gaya hidup nomaden.!break!

Penelitian lain yang lebih mutakhir turut men­dukung gagasan ini. Di antara penduduk Suku Ariaal di Afrika, pembawa gen 7R cen­derung lebih perkasa dan kuat makan daripada rekan-rekan non-7R mereka jika hidup dalam suku nomaden; ini barangkali mencerminkan kebugaran yang lebih baik untuk menjalani ke­hidupan nomaden dan status yang lebih tinggi.

Kendati begitu, pembawa 7R cenderung kurang gizi jika menetap di desa. Jadi, nilai varian tersebut, seperti kebanyakan gen dan sifat bawaan lainnya, tergantung pada ling­kungannya. Seorang pengembara mungkin dapat bertahan di lingkungan yang berubah-ubah namun justru melemah di lingkungan yang stabil; begitu pula gen apa pun yang mem­bantu melahirkan dorongan mengembara.

Jadi apakah 7R benar-benar gen pengembara atau yang oleh sebagian orang disebut gen pe­tualang? Menurut Kenneth Kidd, ahli genetika keevolusian dan populasi dari Yale University, pernyataan itu berlebihan.

Kidd tidak sem­barang­an bicara, karena dia merupakan bagi­an dari tim yang menemukan varian 7R 20 tahun silam. Selayaknya seorang skeptisis, dia berpendapat bahwa kebanyakan penelitian yang menghubungkan 7R dengan sifat penjelajah ber­pijak pada metode dan kalkulasi yang rapuh.

Dia juga menekankan bahwa tumpukan kajian yang mendukung pengaitan 7R dengan sifat pen­jelajah dilawan oleh tumpukan lainnya yang berpendapat sebaliknya. “Anda tidak bisa begitu saja mengecilkan se­suatu sekompleks penjelajahan manusia menjadi satu gen,” ujarnya sambil tertawa. “Genetika tidak bekerja seperti itu.”

Menurut Kidd, sebaiknya dipikirkan bagai­mana sekelompok gen dapat meletakkan fondasi bagi tingkah tersebut. Mengenai hal ini, dia dan sebagian besar peneliti 7R sependapat: Apa pun kesimpulan akhir kita tentang peran 7R dalam memunculkan keinginan mengembara, tidak satu pun gen atau set gen dapat memunculkan dorongan mengembara dalam diri kita.

Lebih tepatnya, kelompok-kelompok gen yang berlainan berkontribusi dalam memunculkan berbagai sifat. Sebagian memungkinkan kita me­­­ngem­bara, dan sebagian lainnya, 7R bisa jadi ada di antaranya, menekan kita untuk me­lakukannya. Secara singkat, akan membantu jika kita tidak hanya memikirkan dorongan untuk menjelajah tetapi juga kemampuan kita, bukan hanya motivasi melainkan juga sarananya.!break!

Se­belum bisa bertindak untuk memenuhi dorongan, kita memerlukan alat atau sifat yang memungkinkan dilakukannya penjelajahan.

Beruntung, saya hanya perlu turun satu lantai dari kantor Kidd untuk menemukan seseorang yang mempelajari tentang alat tersebut: ahli ge­netika perkembangan dan keevolusian Jim Noonan. Risetnya berfokus pada gen yang mem­­bangun dua sistem kunci: tubuh dan otak kita.

“Pendapat saya bias,” katanya ketika saya mendesaknya tentang apa yang menjadikan manusia pengembara. “Tetapi jika Anda ingin tahu, menurut saya kemampuan kita untuk men­jelajah berasal dari dua sistem itu.”

Gen yang membentuk badan dan otak manusia, menurut Noonan, kurang lebih sama dengan gen yang membentuk bagian-bagian yang sama pada hominid dan primata. Pada manusia, hasilnya tungkai dan pinggul yang me­­­mungkinkan kita berjalan jauh, tangan yang sangat cekatan, dan otak yang jauh lebih cerdas.

Otak kita tumbuh jauh lebih lambat, namun jauh lebih besar daripada otak primata lainnya. Trio organ itulah yang membedakan kita dari primata dan hominid lainnya. Bersama-sama, ujar Noonan, perbedaan-per­bedaan ini menghasilkan satu set sifat unik yang sesuai untuk menciptakan pen­jelajah.

Kita memiliki mobilitas tinggi dan keterampilan luar biasa, “dan, satu otak besar yang mampu berpikir imajinatif.” Dan masing-masing saling memperkuat. “Pikirkanlah sebuah alat,” kata Noonan. “Jika Anda bisa memakainya dengan baik dan memiliki imajinasi, Anda akan memikirkan cara lain untuk menggunakannya.” Sembari me­reka-reka cara lain, Anda membayangkan lebih banyak hasil yang bisa diraih dengan bantuan alat itu.

Lingkaran imbal balik ini membantu mem­­­berdayakan penjelajah ternama Ernest Shackleton—dan menyelamatkannya saat dia terdampar di Pulau Elephant pada 1916. Setelah kapal mereka menabrak gunung es, Shackleton, 1.300 kilometer dari daratan terdekat bersama 27 pria kelelahan, sedikit makanan, dan tiga sekoci kecil terbuka, memulai sebuah perjalanan laut gila dan ambisius.

Dia memodifikasi sekoci sepanjang tujuh meter untuk sebuah tugas yang jauh melampaui rancangan aslinya. Dengan perlengkapan navigasi dan lima orang awak kapal, ia memulai perjalanan yang hanya berani dibayangkan oleh sedikit orang. Dia tiba di Georgia Selatan, lalu kembali ke Pulau Elephant untuk menolong sisa krunya.!break!

Noonan menekankan bahwa otak besar dan tangan terampil kita menentukan kapasitas imajinasi. Alison Gopnik, seorang psikolog per­kembangan anak di University of California, Berkeley, mengatakan bahwa manusia juga me­miliki kelebihan lain yang tidak senyata itu namun memicu kapasitas imajinatifnya: masa kecil yang panjang, ketika kita bisa memelihara dorongan untuk menjelajah selama masih ter­gantung pada orang tua.

Bayi manusia disapih sekitar satu setengah tahun lebih cepat daripada gorila dan simpanse, lalu menempuh jalan yang jauh lebih lambat menuju pubertas. Bukti susunan gigi manusia Neanderthal menunjukkan bahwa mereka pun tumbuh lebih cepat daripada kita. Sebagai hasilnya, tidak seperti primata lainnya, kita me­miliki perioda “bermain” dengan per­lindungan untuk belajar tentang hadiah penjelajahan.

Ada banyak binatang yang gemar bermain, kata Gopnik. Tetapi jika binatang-binatang lain­nya bermain terutama dengan melatih ke­ahlian-keahlian dasar semacam berkelahi dan berburu, anak manusia mengarang cerita dengan peraturan-peraturan rekaan yang me­nguji hipotesis.

Bisakah aku membangun menara balok setinggi diriku? Apakah yang akan terjadi seandainya kami mempertinggi lintasan sepeda? Bagaimana permainan anak ini akan berubah jika aku menjadi guru dan kakakku menjadi murid? Permainan semacam itu efektif menjadikan anak-anak penjelajah ranah dengan berbagai kemungkinan.

Kita semakin jarang bermain seiring ber­tambahnya umur, ujar Gopnik, juga kian malas menjajaki berbagai alternatif baru dan lebih suka berpegang pada rutinitas. Selama masa kanak-kanak, kita membangun mesin perakit dan pengolah di dalam otak untuk mengeksplorasi; jika semasa dewasa kita tetap seawas itu, latihan sejak dini ini memungkinkan kita melihat situasi yang mengharuskan perubahan strategi.

Mungkinkah ada Jalur Barat Laut? Apakah kita akan lebih mudah melintasi Kutub menggunakan kereta anjing? Mungkin, mungkin saja, kita bisa mengelilingi Mars dengan kendaraan yang tersambung pada pesawat dengan kabel.

“Kita membawa sifat itu hingga dewasa,” kata Gopnik. Dan mereka yang tetap bersemangat menghadapi berbagai kemungkinan—seperti Cook dan Tupaia, Sally Rides, dan Michael Barratt—adalah penjelajah.

Pada 1830-an di hutan rimba Quebec, Kanada, sebuah populasi penjelajah perintis me­mulai sebuah percobaan panjang dan berisiko. Quebec City, yang didirikan oleh bangsa Prancis, tumbuh dengan sangat pesat. Ke arah utara, di sepanjang Sungai Saguenay, sebuah hutan perawan terbentang luas.

Negeri yang kaya namun brutal ini segera menarik para perhatian para penebang kayu dan keluarga petani muda yang siap menyongsong pekerjaan, risiko, dan kesempatan baru. Me­reka mendaki lembah, membangun satu demi satu desa kecil, menciptakan gelombang permukiman ke arah Saguenay.!break!

Dari sudut pan­dang seorang ahli biologi, gelombang migrasi semacam ini tidak hanya mengumpulkan tipe-tipe manusia tertentu di garis depan, tetapi juga membantu ekspansi gen apa pun yang mungkin mendorong orang-orang itu bermigrasi.

Kadang-kadang, suatu gen hanyut secara pasif, atau secara kebetulan, dalam gelombang semacam itu—gen tersebut kebetulan umum dimiliki oleh pemimpin migrasi, sehingga menjadi umum di masyarakat yang mereka dirikan. Gen tersebut tidak selalu bertahan dalam evolusi; ia hanya menjadi lebih umum karena banyak orang di garis depan yang me­milikinya, kemudian bereproduksi.

Tetapi gelombang migrasi juga me­mungkin­kan gen-gen yang berhubungan erat dengan migrasi unggul dalam seleksi alam. Contoh ter­jelasnya adalah katak kerbau Amerika Selatan. Diperkenalkan di wilayah timur laut Australia pada 1930-an, jumlahnya kini mencapai lebih dari 200 juta ekor dan menyeberangi benua dengan kecepatan 50 kilometer per tahun.

Kaki katak-katak di garis depan 10 persen lebih panjang daripada para leluhurnya pada 1930-an—dan lebih panjang daripada kaki katak yang hanya tertinggal satu kilometer di belakang mereka.

Bagaimana mungkin itu terjadi? Katak-katak bersifat pengembara dan berkaki panjang pindah ke depan, membawa serta kawan-kawan mereka yang juga bersifat pengembara dan berkaki panjang. Di sana, katak-katak pengembara berkaki panjang itu berjumpa dan beranak pinak, menciptakan keturunan pengembara berkaki panjang yang terus bergerak ke depan dan mengulangi siklus.

Laurent Excoffier, ahli genetika populasi di University of Bern, berpendapat bahwa hal serupa terjadi pada para penebang kayu Quebec. Excoffier dan beberapa koleganya menganalisis berabad-abad catatan kelahiran, pernikahan, permukiman, dan kematian, dan mendapati bahwa keluarga-keluarga pionir bertingkah dan berkembang biak dengan suatu cara untuk menyebarkan gen dan sifat yang mendorong mereka ke garis depan.

Pasangan-pasangan di gelombang garis depan lebih cepat menikah daripada yang tinggal di kampung halaman. Mereka juga menghasilkan lebih banyak anak daripada keluarga “inti” yang tinggal di kampung halaman. Masing-masing pasangan pionir meninggalkan 20 persen keturunan lebih banyak.

Angka ter­sebut menghasilkan keunggulan evolusi yang besar. Dalam kasus ini, gen dan kultur keluarga yang bersangkutan tersebar pesat di kalangan populasi mereka sendiri—dan pada akhirnya di populasi Amerika Utara.!break!

Excoffier percaya bahwa jika “selancar gen” ini kerap terjadi selama manusia menyebar ke seluruh dunia, kemungkinan bertambahnya berbagai macam gen yang mengakibatkan manusia mudah penasaran, ingin mengembara, membuat penemuan baru, dan mengambil risiko semakin meningkat.

“Ini dapat membantu menjelaskan sebagian keinginan kita untuk menjelajah,” katanya. Penjelajahan dapat men­­ciptakan lingkaran pemberdayaan diri, memperkuat dan menyebarkan gen dan sifat yang mendorongnya.

Terdapat dinamika pemberdayaan diri lainnya yang berperan dalam penjelajahan, yakni per­cakapan yang senantiasa berlangsung antara gen dan budaya. Hubungan ini menye­bab­kan gen membentuk jenis budaya yang akan kita ciptakan, dan budaya pada gilirannya membentuk genom kita.

Yang dimaksud di sini adalah budaya se­cara umum—pengetahuan, praktik, atau tek­nologi yang bisa dibagikan, yang digunakan oleh manusia untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Hal ini ada hanya karena sifat genetis kita berevolusi ke suatu titik tempat kita dapat menciptakannya, dan kita terus-menerus membentuknya kembali.

Tetapi budaya yang senantiasa berubah ini juga dapat membentuk evolusi genetis kita, terkadang secara langsung dan sangat cepat. Contoh klasik budaya-gen adalah pe­ningkat­an pesat gen untuk mencerna laktosa. Tanpa gen ini, Anda akan kesulitan mencerna susu seusai masa bayi.

Jika memilikinya, Anda akan dengan mudah mencerna susu seumur hidup Anda. Hampir tidak ada yang membawa gen ini 15.000 tahun silam karena tidak ada manfaatnya. Ketika itu, gen ini hanya berupa mutasi yang hinggap secara acak.

Tetapi ketika para petani di Eropa mulai mengembangbiakkan ternak peng­hasilsusu sekitar 10.000 tahun silam—sebuah budaya yang sepenuhnya baru ketika itu—gen ini sekonyong-konyong mem­beri manusia akses terhadap sumber makan­an yang bisa diandalkan sepanjang tahun.

Mereka bisa bertahan dari masa paceklik yang menyebabkan orang lain mati kelaparan. Keunggulan ini dengan cepat menyebarkan gen tersebut ke seluruh Eropa, walaupun keberadaannya masih langka di tempat lain.!break!

Anda dapat melihat tanda-tanda dinamika ini—gen dan budaya yang saling memengaruhi nilai—hampir di seluruh dunia, dalam tingkah rumit manusia, terutama dalam hal penjelajahan. Ketika seorang manusia pertama kali menggunakan batu untuk memecah cangkang kacang, dia membuka jalan untuk budaya yang akan giat menyeleksi gen-gen yang diteliti oleh Jim Noonan, yang memunculkan keterampilan dan imajinasi.

Tetapi, bagaimana dengan tupaia? Gen dan budayanya, sepertinya, mengambil jalan yang lebih berliku-liku sebelum berjumpa dengan saudara Inggris-nya. Faktanya, penyebaran bangsa Polinesia di Pasifik mencerminkan salah satu pergerakan terjanggal yang membawa Homo sapiens keluar dari kampung halaman mereka di Afrika dan mengelilingi dunia.

Perjalanan mereka dimulai sekitar 60.000 tahun silam, ketika salah satu gelombang migrasi pertama berangkat dari Afrika melintasi Timur Tengah dan menyusuri pesisir selatan Asia. Mereka tiba di Australia dan Papua Nugini—yang ketika itu lebih mudah dicapai karena kedangkalan samudra—hanya dalam 10.000 tahun.

Selama 10.000 tahun berikutnya, mereka menjelajahi pulau, yang kadang-kadang disebut Oceania Dekat, hingga akhirnya tiba di gugusan lengkung kepulauan Bismarck dan Solomon. Di sana mereka berhenti.

Hingga titik itu, menurut Ana Duggan, yang meneliti migrasi ini di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, “pulau-pulau yang mereka lalui secara umum berdekatan.” Dengan kata lain, daratan selalu berada dalam jarak pandang. Pulau di depan mereka akan menyembul di cakrawala sebelum pulau yang ditinggalkan tenggelam di belakang.

Menurut teori “keluar dari Taiwan,” sekitar 3.500 tahun lalu penduduk Oceania Dekat menerima tamu dari utara—yang dikenal se­bagai bangsa Austronesia (membingungkan, karena mereka berasal dari Asia) yang berangkat dari Taiwan dan pesisir China selatan seribu tahun sebelumnya. Lalu, perlahan-lahan me­nyebar ke Filipina dan pulau-pulau lainnya di Asia Tenggara sebelum mencapai Oceania Dekat.

Setibanya di sana, mereka berbaur dengan penduduk setempat. Selama beberapa abad kemudian, percampuran gen dan kultur ini menghasilkan bangsa baru bernama Lapita. Tidak lama kemudian, orang-orang Lapita mulai berlayar ke timur menyeberangi Pasifik.

Apakah yang memicu mereka memulai lagi? Barangkali bukan gen baru. Bangsa Austronesia tidak menonjol dengan gen pengembaranya. Bahkan, varian 7R dan 2R lebih jarang ditemukan di Asia daripada di Oceania Dekat. Tetapi orang-orang Asia membawa sesuatu yang baru.!break!

“Mereka membawa perahu yang lebih bagus,” kata Duggan. Yang dimaksud dengan pe­rahu adalah kano-kano panjang bercadik dan berlayar yang dapat menjangkau kecepatan lebih tinggi dan jarak lebih jauh. Kapal-kapal itu memungkinkan bangsa Austronesia berlayar di tengah badai dan laut pasang. Kendaraan ini tentu memukau penduduk setempat.

Ke­gembiraan yang ditimbulkan oleh kapal-kapal itu, yang hingga kini dapat ditemukan jejaknya pada budaya Polinesia dan keabadian kosa kata kelautannya, memberikan status yang tinggi ter­hadap pemiliknya. Motivasi menjelajah meningkat, begitu pula penghargaannya.

Seperti astronaut pada masa kini, perakit kapal dan pelaut di Pulau Pasifik menikmati penghargaan sosial yang meningkatkan peluang perkawinan, memberikan dukungan sosial dan ekonomi, dan menciptakan motivasi untuk menyebarluaskan gen pengembara. Begitulah Tupaia, mengendarai DNA para leluhurnya, menuju timur.

Kendaraan laut yang tepat seperti kapal bangsa Polinesia men­­jadi metafora yang nyaris sempurna untuk kekuasaan yang kita peroleh melalui kebudayaan. Itu memberi genom yang lentur, benak imajinatif, dan tangan terampil kita ke­kuatan untuk mengubah faktor terkuat se­kali­pun di lingkungan kita—angin, air, arus—dari ancaman menjadi kesempatan.

Walaupun badai menggulung lautan, kita tidak perlu tinggal di rumah atau membiarkan diri kita hanyut, karena kita bisa mengubah arah, mengibarkan layar, dan beradaptasi di lingkungan yang berbeda. Bagi bangsa Lapita yang melongok dari ujung timur Kepulauan Solomon pada samudra yang terbentang luas di hadapan mereka, kapal semacam itu mirip sepasang kaki baru.

Dengan tangkai kemudi di tangan dan kepulauan baru di dalam kepala, mereka melanjutkan pengembaraan mengelilingi dunia.