Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

Hampir setiap pukul sembilan pagi, penyelam dari dinas pemadam kebakaran yang ditugaskan di Seine mengenakan pakaian selam dan berenang mengitari Île de la Cité. Para pemadam-penyelam tersebut mengelilingi pulau—yang berbentuk tetesan air mata—di tengah sungai di pusat Kota Paris itu. Mereka menyisir dasar sungai, peralatan makan (yang dicuci dan digunakan di rumah perahu yang mereka huni di dekat situ), telepon seluler, koin tua, salib, senjata berapi, dan sekali waktu, gesper peninggalan Romawi.

Setibanya di Pont des Arts, tempat para kekasih menyangkutkan gembok kuningan ber­tuliskan nama mereka (“Steve dan Linda Untuk Selamanya”), mereka mengumpulkan kunci yang dilempar ke air oleh pasangan yang ber­harap dapat mengabadikan cinta mereka yang sudah tergembok. Di sebuah jembatan, di Pont Neuf, dekat gedung pengadilan Palais de Justice tempat perceraian diputuskan, mereka menemukan cincin-cincin kawin yang dibuang saat cinta abadi ternyata harus berakhir.

Sebagai arteri utama Paris, wajar jika Seine menghimpun repihan peradaban dan hubung­an manusia. Selama berabad-abad ia berfungsi sebagai jalan raya, parit, sumber air minum, pelimbahan, dan bak cuci. Lengkung sabitnya membelah kota, membaginya menjadi Tepi Kiri (Rive Gauche) dan Kanan (Rive Droite). Me­nurut sejarah, Tepi Kiri dihuni kaum seniman, Tepi Kanan, kaum bangsawan, namun pembagian itu melebur seiring waktu.

Di Île de la Cité, di depan batu berpola Gotik, Katedral Notre Dame, sebuah kompas perunggu ditanam di jalan batu. Dari sinilah—point zéro—jarak ke seluruh penjuru Paris diukur. Seine adalah pusat Paris; jantung cairnya. “Bagi penduduk Paris, Seine adalah kompas, alat untuk mengetahui di mana Anda berada,” ujar Marina Ferretti, ahli sejarah seni dan kurator.

!break!

Sungai ini juga, sebagaimana kata orang Prancis, fluide—cair, sebuah ungkapan ber­implikasi filosofis. Hanyutlah mengikuti per­ubahan dan arus, bisiknya. Tidak ada yang abadi. Percuma saja memerintah Seine untuk tetap diam. Sungai yang bergeming tidak lagi pantas disebut sungai. Sungai selayaknya ber­ubah bersama hari dan musim. Arusnya membawa repihan  kehidupan dan kematian—mainan plastik yang hilang, balon yang terlepas, puntung rokok (Gauloises, tentunya), botol anggur kosong, terkadang bahkan mayat—se­iring pusaran, adukan, luapan, dan aliran me­lewati karya arsitektur monumental di Paris. Kau tidak akan dua kali menceburkan diri ke sungai yang sama, kata Heracleitus. C’est fluide.

Para pelukis Impresionis mengabadikan cahaya Seine dalam karya mereka. Claude Monet memiliki studio terapung di sungai dekat Argenteuil. Henri Matisse, penganut alir­an pasca-Impresionis, mempunyai studio di Quai Saint-Michel. Ruas air datar kelabu di lukisan para seniman pendahulu, dibuat menari dengan warna-warni ceria melalui kacamata Impresionis. Karya seni mereka tidak hanya mencerminkan aliran Seine, tetapi juga dunia.

“Pelukis Impresionis menyaksikan dunia ber­ubah, menggambarkannya dengan cara yang se­suai dengan dunia baru,” ujar Ferretti, kurator di Giverny Museum of Impressionisms. Revolusi industri tiba. Listrik menggantungkan butiran mutiara cahaya di langit malam. Jalur Métro Paris mulai dibangun. Irama dunia semakin rancak. “Dunia amat cair dan cepat berubah,” jelasnya. Begitu pula sapuan kuas Impresionis.

Untuk menghormati mereka, mari meng­gambar sketsa sungai yang mengalir masuk dan mengitari kehidupan penduduk Paris, dan menjadi panggung bagi drama suka dan duka. Sesekali juga ada komedi, diperankan oleh para pedagang tepi jalan yang menjajakan miniatur Menara Eiffel murahan buatan Tiongkok. Kadang-kadang seorang turis Tiongkok mem­bawa pulang pernak-pernik itu, tanpa sadar me­nutup lingkaran ini. Seine pun menjadi saksi ironi, selain kebahagiaan dan nestapa.

!break!

J’AIME MON BATEAU (AKU CINTA PERAHUKU)

A coup de foudre bermakna se­konyong-konyong jatuh cinta, se­tengah mati. Itulah yang terjadi dengan manusia dan perahu mereka.

Pada suatu hari 34 tahun silam, Claude Tharreau, seorang peneliti pasar, seorang diri menyusuri tepi Seine. Di dekat Quai de Conti, ia melihat Cathare, kapal pengangkut se­panjang 21 meter buatan Belanda pada 1902, tengah dijual.

“Saya sebenarnya sedang mencari apartemen,” ungkapnya. Saat itu Minggu. Pada hari Rabu, dia menandatangani kontrak.

“Baru sesudahnyalah saya menyadari bahwa tidak ada listrik maupun air di kapal itu.”