Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

Dia mempelajari kehidupan pelaut. Dia mem­bantu mengecat kapal, menjalankannya; dia bertenggang rasa pada tikus-tikus penyusup dan hidup di ruangan seluas kurang dari sembilan meter persegi. Kurangnya kenyamanan terbayar oleh petualangan dari kehidupan yang mengalir tanpa kekangan. Setiap hari menghadirkan kota dan pemandangan baru, juga kemerdekaan yang tidak dikenal oleh mereka yang terjerat di kursi kantor. “Kami bekerja seolah-olah sedang berlibur,” katanya.

Dua puluh tujuh tahun silam mereka pensiun.

“Kami bisa saja pindah ke darat. Dia menolak,” kata Nenette.

“Saya akan merasa terkurung,” suaminya menjawab.

Putra dan putri mereka sudah memiliki kehidupan dan anak-anak sendiri. Siam tidak termasuk dalam rencana mereka.

Lalu, apa nasib kapal itu setelah mereka tiada?

“Mungkin setelah kami meninggal, anak-anak kami tidak akan bisa berbuat apa-apa. Pihak yang berwenang akan mengatakan, Anda tidak boleh membiarkan kapal ini di sini. Kapal ini harus pergi,” kata René.

Maksudnya, kapal itu akan dibawa ke galangan di Conflans, 32 kilometer di barat laut Paris, dan dibongkar. Kata yang digunakannya adalah déchirer. Dipreteli.

Dapatkah Anda menjelaskan caranya? Saya bertanya.

“Tidak bisa. Tidak mau,” jawabnya. Air matanya merebak.

“Membayangkan kapal saya dihancurkan seperti mencabut jantung saya. Ada terlalu banyak kenangan di sini. Seluruh kehidupan saya ada di kapal ini.

“Misalnya kami memutuskan untuk membeli apartemen? Kami membersihkan semuanya. Koper-koper kami menunggu di tanggul. Seorang pelaut akan memandang kapalnya dan menyadari bahwa semuanya sudah berakhir. Seperti kematian.”

Dia menyeka matanya.

Penyakit yang baru-baru ini menyerangnya membuatnya pincang. Istrinya juga bermasalah dengan kesehatan. Putri mereka khawatir mereka sudah terlalu tua untuk mengurus kapal.

“Umur Anda sudah 87,” kata saya. “Sampai kapan Anda akan bertahan?”

Dia menatap tajam.

“Mereka harus menarik kaki kami terlebih dahulu.”

!break!

KAPAL DI AIR KERUH

“Seine adalah jalan raya tercantik di Paris,” kata Eric Piel, pensiunan kepala bagian psikiatri rumah sakit di pusat Paris, yang tinggal di Orion. “Saya berpikir, Bagaimana jika orang lain mendapatkan pengalaman ini, terutama orang-orang ber­penyakit mental, yang paling terkucil dalam kehidupan sehari-hari?”

Dia mengangankan sebuah klinik psikiatri terapung: terbuka namun terlindung. Para dokter, perawat, dan pasien berkolaborasi dengan seorang arsitek, dan empat tahun yang lalu Adamant—gedung berdinding kaca—dibuka. Para pasien datang untuk minum kopi, menikmati cemilan, atau bercakap-cakap dengan staf medis, membuat karya seni, atau hanya menikmati pemandangan.

Sejak hari pertama agresi sudah lenyap. Mengapa? Tidak ada yang bisa menjelaskan, ungkap direktur klinik Jean-Paul Hazan.

“Mungkin,” kata Jacqueline Simmonet, kepala perawat, “karena ayunan kapal.”

“Rumah sakit jiwa biasanya tersembunyi,” kata Hazan. “Pasien menghilang di balik pintu terkunci. Di sini tak ada yang tertutup, semua terbuka. Mereka sakit parah, akan tetapi tak ada kekerasan.” Dia diam. “Saya rasa tempat ini telah mengubah kami, entah bagaimana caranya.”

Empat batang pohon mulberry di dermaga menandai musim. Kuning saat musim gugur, gundul saat musim dingin, hijau pucat saat musim semi, dan hijau tua saat musim panas. Seekor pecuk berenang, menunjukkan keanggunan alam. Sungai memantulkan titik-titik lampu dari dalam gedung. Penataannya berkonsep terbuka. Ruangannya, kata Simonnet, bersifat fluide. Kaca menghapus penghalang antara dalam dan luar.

Ini juga, setidaknya secara metafora, me­ngaburkan batasan antara mereka dan kita—antara penderita penyakit mental yang ter­marginal­kan dan orang yang dianggap normal. “Semua ada di kapal yang sama,” ujar Gérard Ronzatti, arsitek perancang tempat ini.

Ruang, sebagaimana air, selalu mengalir, ber­ubah seiring waktu dan peristiwa. “Setelah revolusi, banyak biara diubah jadi penjara,” ujar­nya tenang. “Di ruang yang sama, Anda bisa mendapat kemerdekaan, atau penjara.” Sebuah bangunan, ruangan, dapat me­ngekang atau membebaskan, memungkinkan jiwa menjelajahi ruang yang tersedia hingga lebih jauh lagi. Dalam merancang klinik terapung itu, Ronzatti mengambil pilihan kedua. Adamant secantik dan secair sungai tempatnya mengapung.