Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

Bukankah arena baru itu menjadikan Paris lebih menyenangkan?

“Paris bukan tempat bersenang-senang. Kami perlu bekerja.”

Di tepi sungai yang telah berubah wujud di depan Musée d’Orsay, begitu banyak orang tampak larut dalam kesenangan.

“Kami orang Paris, tetapi tidak merasa seperti di Paris,” kata Bertine Pakap, ahli kecantikan yang bermukim di Batignolles, sebuah arron­dissement terpencil. Dia datang untuk meng­hadiri reuni keluarga. Putrinya Elohina dengan penuh minat menonton dua orang seniman pantomim, sementara ibunya asyik duduk di meja piknik.

“Biasanya kami tak akan mendatangi ling­kungan seapik ini,” katanya. “Tempat semacam ini nyaris tak terjangkau oleh kami. Sekarang lebih demokratis. Juga gratis—kami tak perlu membayar untuk hiburan.”

!break!

PENUMPANG

Pada pukul 18.20, tiga orang pria mengantre di depan gang menuju Fleuron St. Jean, kapal pengangkut hijau muda yang berlabuh di pinggir kota. Mereka hendak bertolak dalam sebuah pelayaran semalam yang tak melibatkan perjalanan—hanya makanan hangat dan ranjang yang nyaman.

“Kami menyebut mereka penumpang hanya untuk alasan kehormatan,” ujar Adrien Casseron, manajer rumah singgah terapung untuk tunawisma yang didanai oleh Ordo Malta di Prancis, dan 30 Million Friends Foundation, sebuah organisasi pencinta binatang (para pe­numpang diperbolehkan membawa anjing mereka). Pelayaran ini menjadi selingan dalam ke­hidupan yang terhambat oleh kemiskinan dan kekurangan lapangan kerja.

“Di desa, jika Anda kehilangan pekerjaan, tetangga Anda siap menolong. Di kota besar Anda sendirian. Anda kehilangan pekerjaan, keluarga, dan mendapati diri Anda terlunta-lunta di jalan.

“Jangan bayangkan hanya orang Prancis yang ditampung di kapal ini,” tambahnya. “Jika ada konflik di Mali atau Afganistan, orang-orang dari sana juga terlihat di sini.”

Pria-pria itu, ada yang membawa ransel, ada yang hanya berbekal pakaian yang melekat di badan, disambut dengan jabat tangan dan diantar ke ranjang mereka. Pada 19.45, mereka menyantap makan malam. Menu hari itu: buncis, ikan, keju, yogurt, dan buah, disajikan “seperti di rumahmu sendiri,” kata Casseron.

“Asal saya dari Martinique,” kata René, 58, yang mengenakan kaus abu-abu dan celana jins. Dengan suara sarat kesedihan, dia bercerita tentang alasannya dipecat dari pekerjaan terakhirnya sebagai perakit lemari penyimpan barang-barang elektronik.