Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

Hampir setiap pukul sembilan pagi, penyelam dari dinas pemadam kebakaran yang ditugaskan di Seine mengenakan pakaian selam dan berenang mengitari Île de la Cité. Para pemadam-penyelam tersebut mengelilingi pulau—yang berbentuk tetesan air mata—di tengah sungai di pusat Kota Paris itu. Mereka menyisir dasar sungai, peralatan makan (yang dicuci dan digunakan di rumah perahu yang mereka huni di dekat situ), telepon seluler, koin tua, salib, senjata berapi, dan sekali waktu, gesper peninggalan Romawi.

Setibanya di Pont des Arts, tempat para kekasih menyangkutkan gembok kuningan ber­tuliskan nama mereka (“Steve dan Linda Untuk Selamanya”), mereka mengumpulkan kunci yang dilempar ke air oleh pasangan yang ber­harap dapat mengabadikan cinta mereka yang sudah tergembok. Di sebuah jembatan, di Pont Neuf, dekat gedung pengadilan Palais de Justice tempat perceraian diputuskan, mereka menemukan cincin-cincin kawin yang dibuang saat cinta abadi ternyata harus berakhir.

Sebagai arteri utama Paris, wajar jika Seine menghimpun repihan peradaban dan hubung­an manusia. Selama berabad-abad ia berfungsi sebagai jalan raya, parit, sumber air minum, pelimbahan, dan bak cuci. Lengkung sabitnya membelah kota, membaginya menjadi Tepi Kiri (Rive Gauche) dan Kanan (Rive Droite). Me­nurut sejarah, Tepi Kiri dihuni kaum seniman, Tepi Kanan, kaum bangsawan, namun pembagian itu melebur seiring waktu.

Di Île de la Cité, di depan batu berpola Gotik, Katedral Notre Dame, sebuah kompas perunggu ditanam di jalan batu. Dari sinilah—point zéro—jarak ke seluruh penjuru Paris diukur. Seine adalah pusat Paris; jantung cairnya. “Bagi penduduk Paris, Seine adalah kompas, alat untuk mengetahui di mana Anda berada,” ujar Marina Ferretti, ahli sejarah seni dan kurator.

!break!

Sungai ini juga, sebagaimana kata orang Prancis, fluide—cair, sebuah ungkapan ber­implikasi filosofis. Hanyutlah mengikuti per­ubahan dan arus, bisiknya. Tidak ada yang abadi. Percuma saja memerintah Seine untuk tetap diam. Sungai yang bergeming tidak lagi pantas disebut sungai. Sungai selayaknya ber­ubah bersama hari dan musim. Arusnya membawa repihan  kehidupan dan kematian—mainan plastik yang hilang, balon yang terlepas, puntung rokok (Gauloises, tentunya), botol anggur kosong, terkadang bahkan mayat—se­iring pusaran, adukan, luapan, dan aliran me­lewati karya arsitektur monumental di Paris. Kau tidak akan dua kali menceburkan diri ke sungai yang sama, kata Heracleitus. C’est fluide.

Para pelukis Impresionis mengabadikan cahaya Seine dalam karya mereka. Claude Monet memiliki studio terapung di sungai dekat Argenteuil. Henri Matisse, penganut alir­an pasca-Impresionis, mempunyai studio di Quai Saint-Michel. Ruas air datar kelabu di lukisan para seniman pendahulu, dibuat menari dengan warna-warni ceria melalui kacamata Impresionis. Karya seni mereka tidak hanya mencerminkan aliran Seine, tetapi juga dunia.

“Pelukis Impresionis menyaksikan dunia ber­ubah, menggambarkannya dengan cara yang se­suai dengan dunia baru,” ujar Ferretti, kurator di Giverny Museum of Impressionisms. Revolusi industri tiba. Listrik menggantungkan butiran mutiara cahaya di langit malam. Jalur Métro Paris mulai dibangun. Irama dunia semakin rancak. “Dunia amat cair dan cepat berubah,” jelasnya. Begitu pula sapuan kuas Impresionis.

Untuk menghormati mereka, mari meng­gambar sketsa sungai yang mengalir masuk dan mengitari kehidupan penduduk Paris, dan menjadi panggung bagi drama suka dan duka. Sesekali juga ada komedi, diperankan oleh para pedagang tepi jalan yang menjajakan miniatur Menara Eiffel murahan buatan Tiongkok. Kadang-kadang seorang turis Tiongkok mem­bawa pulang pernak-pernik itu, tanpa sadar me­nutup lingkaran ini. Seine pun menjadi saksi ironi, selain kebahagiaan dan nestapa.

!break!

J’AIME MON BATEAU (AKU CINTA PERAHUKU)

A coup de foudre bermakna se­konyong-konyong jatuh cinta, se­tengah mati. Itulah yang terjadi dengan manusia dan perahu mereka.

Pada suatu hari 34 tahun silam, Claude Tharreau, seorang peneliti pasar, seorang diri menyusuri tepi Seine. Di dekat Quai de Conti, ia melihat Cathare, kapal pengangkut se­panjang 21 meter buatan Belanda pada 1902, tengah dijual.

“Saya sebenarnya sedang mencari apartemen,” ungkapnya. Saat itu Minggu. Pada hari Rabu, dia menandatangani kontrak.

“Baru sesudahnyalah saya menyadari bahwa tidak ada listrik maupun air di kapal itu.”

Terdapat 199 rumah perahu yang ditambatkan di Paris dan, tentu saja, 199 kisah mabuk asmara. Pada 1970-an, ketika ekonomi transportasi lebih mengutamakan kereta dan truk daripada kapal pengangkut, kapal bisa dibeli dengan harga murah. Gaya hidup ini terjangkau dan tidak dibatasi oleh hukum hingga 1994, ketika pemerintah kota menetapkan pajak perumahan, biaya penambatan, dan peraturan menyangkut dokumen kepemilikan kapal.

Frédéric Chaslin, konduktor dan komposer, memiliki grand piano Steinway di ruang tamu kapalnya, Caracalla, dan di dapurnya, trio mesin espresso serempak menyiulkan nada yang sama saat menyeduh kopi.

“Saya mencintainya,” ujarnya tentang kapal pertama yang dibelinya. “Istri saya tidak. Saya pun berpikir, istri, kapal, istri...”

“...Kapal,” dia menutup kalimatnya.

“Membeli kapal bukanlah hal biasa,” kata Eric Piel, pensiunan psikiater dan pemilik Orion, kapal pengangkut yang berlabuh di seberang Menara Eiffel. “Ini berbeda dengan membeli apartemen. Ada unsur risikonya. Tetapi... me­miliki tempat dan juga mobilitas! Ini yang ter­baik dari semua kemungkinan yang ada.”

Piel, yang berperawakan kerempeng dengan wajah dijalari urat-urat tipis berbingkai rambut ikal beruban, melanjutkan. “Apartemen sama saja dengan kotak sepatu. Relakah Anda be­kerja seumur hidup hanya untuk tinggal di kotak sepatu? Menurut Anda, apakah itu tanda kebugaran? “Setidaknya saya bebas dari pe­rangkap kotak sepatu,” lamunnya. “Walaupun masih ada perangkap-perangkap lainnya.”

!break!

PANTAI INSTAN (TAMBAHKAN AIR SAJA)

Pada 19 Juli pukul 10.58 malam, sebuah truk mengangkut 36 batang pohon palem. Truk itu dikawal oleh empat orang polisi bersepeda motor dan sebuah mobil patroli, merayap ke Champs-Élysées dari Bois de Boulogne, tempat pohon-pohon itu melewati musim dingin. Mereka berhenti di Pont Neuf (artinya Jembatan Baru), yang berlawanan dengan namanya, merupakan jembatan tertua di Paris.

Dua puluh enam menit kemudian, sebuah mobil derek mengangkat pohon setinggi 7,5 meter pertama dan menurunkannya di pantai yang muncul dalam tiga hari di tepi Seine, tepatnya di depan Balai Kota. Pohon-pohon palem (Trachycarpus fortunei) itu merupakan sentuhan puncak Paris Plages—ajang tahunan yang diadakan setiap musim panas, ketika tiga pantai komplit dipasang di sepanjang sungai.

Boks pasir di Seine ini digagas 12 tahun silam oleh wali kota Paris Bertrand Delanoë. Untuk mengakomodasi pantai, Georges Pompidou Expressway yang membentang di Tepi Kanan sungai ditutup selama empat pekan.

“Ini bukan sains tingkat tinggi,” kata manajer proyek Damien Masset. Dia menyebutkan bahan-bahan pembuat pantai instan: 5.500 ton pasir, 250 payung biru, 350 kursi pantai, 800 kursi biasa, 250 kursi malas, 40 tempat tidur gantung, 200 meja, empat kios es krim, delapan kafe, 800 meter pagar kayu; 250 orang untuk menatanya, 450 untuk mengelolanya.

Selama satu bulan setiap musim panas, Sungai Seine di Paris berubah menjadi Riviera perkotaan. Sungai itu dipenuhi lalu-lalang para pemain voli pantai; arsitek istana pasir; penari samba, tango, dan break dance; musisi rock, jazz, soul; dan orang-orang yang ingin berjemur—yang menunjukkan serba-serbi manusia.

!break!

APAKAH WARNA SEINE?

“Ketika langit berawan, selama beberapa menit warnanya seputih garam,” ujar Jean Esselinck, pensiunan diplomat yang tinggal di kapal bernama Soleil. “Tetapi kemudian menghitam. Lihatlah ke sungai, sekarang warnanya hijau.”

“Transparan,” kata Marie-Jeanne Fournier, wali kota Source Seine, sebuah desa di Bur­gundy, 290 kilometer dari Paris, dekat tempat sungai itu lahir. Meskipun jaraknya jauh, Seine bisa dibilang berawal di Paris, karena hutan cemara tempat air bergolak dari sumbernya dan memulai perjalanan sejauh 775 kilometer menuju laut merupakan wilayah Paris pada 1864, berdasarkan ketetapan Napoleon III. Di sini, pada awal mulanya, Seine transparan: sebening eau-de-vie—air kehidupan—dan berlokasi di Paris. Secara teknis.

Sungai yang digambarkan Monet dalam Banks of the Seine, Ile de la Grande-Jatte ber­warna merah jambu, putih, dan biru; Seine dalam karya Matisse yang berjudul Pont Saint-Michel bersemburat merah. Tetapi Doris Alb, seniman yang bermukim di Sun Day, dekat Pont des Arts, mengingatkan kita untuk berhati-hati saat menyebut warna dalam bahasa Prancis.

“Dalam bahasa Jerman, merah berarti merah. Tetapi, dalam bahasa Prancis merah dapat ber­makna...yah, mungkin memang merah...tapi bersemburat kuning...atau mendekati merah jambu...atau mungkin hanya ilusi merah.” Alb adalah seorang wanita bertubuh tegap dan ber­sepatu gagah, dengan rambut kuning yang berkibar-kibar seperti dalam lukisan Botticelli. Matanya sedikit memicing karena terpajan sinar matahari. Dia enggan memakai kacamata hitam. “Benda itu mengusamkan warna-warni dunia.”

Apakah warna Seine?

C’est compliqué—amatlah rumit. Seine men­cerminkan kehidupan dan segala sesuatu di se­kelilingnya. Maka, ia tak punya batasan warna.”

!break!

MEREBUT SUNGAI KEMBALI

Pada 1960-an Perdana Menteri Georges Pompidou memberikan pukulan telak pada hubungan Paris dengan Seine. Dia membangun jalan raya di kedua sisi sungai. “Paris harus beradaptasi dengan mobil,” ujarnya. Sesungguhnya pe­mutusan hubungan ini dimulai pada abad ke-18. Hingga saat itu, daerah bantaran sungai merupakan arena komersial dan sosial yang ramai, jelas ahli sejarah Isabelle Backouche. Setelah 1750, pihak administrasi kerajaan dan pemerintah kota mulai membersihkan pasar, kapal penatu, dan bengkel dari tepi sungai agar Seine lebih ramah navigasi. Tanggul tinggi yang dibangun pada abad ke-19 mengukuhkan pemisahan itu. “Sungai sudah bukan tempat yang meriah lagi, berubah menjadi museum yang tidak terhubung dengan kehidupan sehari-hari warga Paris,” kata Backouche.

Percepat waktu menuju 2013. Masuklah Wali Kota Sosialis Delanoë, penggagas Paris Plages, sistem pembagian jalan untuk sepeda dan mobil listrik di kota, dan program percobaan mempekerjakan empat ekor kambing “pemangkas rumput” untuk merapikan halaman gedung-gedung pemerintahan. Juni lalu, setelah melewati argumentasi politik selama ber­tahun-tahun, Delanoë menutup hampir dua setengah kilometer jalan raya di Tepi Kiri dan membuka Les Berges—jalur di tepi sungai yang dilengkapi dengan taman apung, restoran, dan arena bermain. “Bau apak jalanan lenyap, men­ciptakan lingkungan berudara terbuka tempat semua orang dapat...bersenang-senang,” dia mengumumkan dengan gembira.

Tidak semua orang senang. “Saya me­nentang­nya,” ujar Rachida Dati, wali kota 7 arrondissement—distrik ke-7—yang makmur. Dati, putri seorang penata batu bata Maroko, adalah seorang pionir di dunia politik sayap kanan Prancis. Dia tampak garang di balik mejanya di balai kota abad ke-17 tempatnya memerintah, mengenakan jins ketat, jaket hitam pendek, dan sepatu bertumit menjulang.

“Berges menghabiskan biaya 40 juta euro [623 miliar rupiah],” dia mengungkapkan alasannya. “Uang sebanyak itu mungkin lebih tepat dipakai mengurus 27.000 anak yang tak mampu masuk créche—tempat penitipan anak, atau mengembangkan transportasi umum. Tiga per empat penduduk Paris bergantung pada Métro, tapi sudah bertahun-tahun tidak ada investasi untuk infrastrukturnya.”

Bukankah arena baru itu menjadikan Paris lebih menyenangkan?

“Paris bukan tempat bersenang-senang. Kami perlu bekerja.”

Di tepi sungai yang telah berubah wujud di depan Musée d’Orsay, begitu banyak orang tampak larut dalam kesenangan.

“Kami orang Paris, tetapi tidak merasa seperti di Paris,” kata Bertine Pakap, ahli kecantikan yang bermukim di Batignolles, sebuah arron­dissement terpencil. Dia datang untuk meng­hadiri reuni keluarga. Putrinya Elohina dengan penuh minat menonton dua orang seniman pantomim, sementara ibunya asyik duduk di meja piknik.

“Biasanya kami tak akan mendatangi ling­kungan seapik ini,” katanya. “Tempat semacam ini nyaris tak terjangkau oleh kami. Sekarang lebih demokratis. Juga gratis—kami tak perlu membayar untuk hiburan.”

!break!

PENUMPANG

Pada pukul 18.20, tiga orang pria mengantre di depan gang menuju Fleuron St. Jean, kapal pengangkut hijau muda yang berlabuh di pinggir kota. Mereka hendak bertolak dalam sebuah pelayaran semalam yang tak melibatkan perjalanan—hanya makanan hangat dan ranjang yang nyaman.

“Kami menyebut mereka penumpang hanya untuk alasan kehormatan,” ujar Adrien Casseron, manajer rumah singgah terapung untuk tunawisma yang didanai oleh Ordo Malta di Prancis, dan 30 Million Friends Foundation, sebuah organisasi pencinta binatang (para pe­numpang diperbolehkan membawa anjing mereka). Pelayaran ini menjadi selingan dalam ke­hidupan yang terhambat oleh kemiskinan dan kekurangan lapangan kerja.

“Di desa, jika Anda kehilangan pekerjaan, tetangga Anda siap menolong. Di kota besar Anda sendirian. Anda kehilangan pekerjaan, keluarga, dan mendapati diri Anda terlunta-lunta di jalan.

“Jangan bayangkan hanya orang Prancis yang ditampung di kapal ini,” tambahnya. “Jika ada konflik di Mali atau Afganistan, orang-orang dari sana juga terlihat di sini.”

Pria-pria itu, ada yang membawa ransel, ada yang hanya berbekal pakaian yang melekat di badan, disambut dengan jabat tangan dan diantar ke ranjang mereka. Pada 19.45, mereka menyantap makan malam. Menu hari itu: buncis, ikan, keju, yogurt, dan buah, disajikan “seperti di rumahmu sendiri,” kata Casseron.

“Asal saya dari Martinique,” kata René, 58, yang mengenakan kaus abu-abu dan celana jins. Dengan suara sarat kesedihan, dia bercerita tentang alasannya dipecat dari pekerjaan terakhirnya sebagai perakit lemari penyimpan barang-barang elektronik.

“Mereka melimpahkan pekerjaan saya ke perusahaan lain. Dua bulan saya menumpang di flat adik perempuan saya. Dia mendepak saya.

“Cerita keluarga bisa rumit,” tambahnya murung. Dia enggan menjelaskan lebih lanjut.

Tidak ada banyak percakapan di meja makan. Mereka makan dengan tergesa-gesa, dengan sigap meraih tambahan roti kedua, ketiga, dan keempat. Setelah makan, ketiganya duduk untuk bermain Scrabble. Yang lain bermain kartu. René mengisi pipanya. “Pada siang hari, saya menghabiskan waktu di pameran atau perpustakaan. Tetapi saya tak pernah menyerah. Kita harus kuat. Mengalah itu mudah. Dua kaleng bir, selinting ganja. Cuma perlu itu. Dan kita tenggelam.”

Patrick Declerck, antropolog dan penulis Les Naufragés—Orang Buangan, memperkirakan jumlah tunawisma di Paris antara 10.000 dan 15.000 pada 2001. Menurut National Institute of Statistics, angka tersebut telah bertambah hingga 50 persen sejak saat itu. Tidak ada yang memegang statistik tepatnya; jumlahnya bisa jadi jauh lebih tinggi.

Casseron menyapa seseorang yang terlambat datang. “Tidak pernah ada cukup tempat untuk semua orang,” ungkapnya. “Pekerjaan ini memuaskan, tetapi saya selalu bertanya-tanya apakah yang saya perbuat sudah cukup.

“Ini”—dia mengacu pada tempat berteduh yang disediakan oleh kapal—“hanya setetes air. Murni. Bebas limbah. Tetapi hanya setetes air di sungai bernama Seine.”

!break!

SEORANG PELAUT TUA

Seperti semboyan Paris—“Fluctuat nec mergitur, terombang-ambing ombak namun tetap tegar—ada orang-orang yang telah diombang-ambingkan ombak namun tetap berdiri tegak. René Ballinger, 87, tinggal di kapal Siam yang tertambat di Port de Grenelle, bersama istrinya, Nenette, 86. Kakeknyalah yang merakit kapal itu. Dia lahir di atasnya; begitu pula putranya, Marc. Selama masa kejayaannya, kapal itu telah melintasi Belgia, Belanda, Jerman, dan Swiss, mengangkut biji-bijian, batu bara, dan baja.

Nenette, yang mengenakan kacamata ber­bingkai emas, memiliki kulit seperti perkamen, dan berambut putih pendek setipis bulu, tidak terlahir di keluarga pelaut. “Saya bekerja sebagai sekretaris di bagian utara Prancis,” ujarnya, duduk di meja makannya. “Rumah saya di pinggir sungai. Pada suatu hari dia datang dengan kapalnya.”

“Saya melihat dia,” René menyela. Tatapannya mengungkapkan segalanya. Mereka menikah pada 1947. Nenette menjulukinya “jagoan tua.” Kata René, Nenette adalah sahabatnya. Kata putri mereka, mereka terlalu banyak bertengkar.

“Kami bertengkar,” kata Nenette kepada putrinya, “karena kami masih hidup. Kalau kami sudah mati, kami akan diam.

“Dia pelaut. Saya orang darat. Ketika me­nikah, saya bertanya kepada diri saya, suku macam apa yang sudah saya masuki?”

Dia mempelajari kehidupan pelaut. Dia mem­bantu mengecat kapal, menjalankannya; dia bertenggang rasa pada tikus-tikus penyusup dan hidup di ruangan seluas kurang dari sembilan meter persegi. Kurangnya kenyamanan terbayar oleh petualangan dari kehidupan yang mengalir tanpa kekangan. Setiap hari menghadirkan kota dan pemandangan baru, juga kemerdekaan yang tidak dikenal oleh mereka yang terjerat di kursi kantor. “Kami bekerja seolah-olah sedang berlibur,” katanya.

Dua puluh tujuh tahun silam mereka pensiun.

“Kami bisa saja pindah ke darat. Dia menolak,” kata Nenette.

“Saya akan merasa terkurung,” suaminya menjawab.

Putra dan putri mereka sudah memiliki kehidupan dan anak-anak sendiri. Siam tidak termasuk dalam rencana mereka.

Lalu, apa nasib kapal itu setelah mereka tiada?

“Mungkin setelah kami meninggal, anak-anak kami tidak akan bisa berbuat apa-apa. Pihak yang berwenang akan mengatakan, Anda tidak boleh membiarkan kapal ini di sini. Kapal ini harus pergi,” kata René.

Maksudnya, kapal itu akan dibawa ke galangan di Conflans, 32 kilometer di barat laut Paris, dan dibongkar. Kata yang digunakannya adalah déchirer. Dipreteli.

Dapatkah Anda menjelaskan caranya? Saya bertanya.

“Tidak bisa. Tidak mau,” jawabnya. Air matanya merebak.

“Membayangkan kapal saya dihancurkan seperti mencabut jantung saya. Ada terlalu banyak kenangan di sini. Seluruh kehidupan saya ada di kapal ini.

“Misalnya kami memutuskan untuk membeli apartemen? Kami membersihkan semuanya. Koper-koper kami menunggu di tanggul. Seorang pelaut akan memandang kapalnya dan menyadari bahwa semuanya sudah berakhir. Seperti kematian.”

Dia menyeka matanya.

Penyakit yang baru-baru ini menyerangnya membuatnya pincang. Istrinya juga bermasalah dengan kesehatan. Putri mereka khawatir mereka sudah terlalu tua untuk mengurus kapal.

“Umur Anda sudah 87,” kata saya. “Sampai kapan Anda akan bertahan?”

Dia menatap tajam.

“Mereka harus menarik kaki kami terlebih dahulu.”

!break!

KAPAL DI AIR KERUH

“Seine adalah jalan raya tercantik di Paris,” kata Eric Piel, pensiunan kepala bagian psikiatri rumah sakit di pusat Paris, yang tinggal di Orion. “Saya berpikir, Bagaimana jika orang lain mendapatkan pengalaman ini, terutama orang-orang ber­penyakit mental, yang paling terkucil dalam kehidupan sehari-hari?”

Dia mengangankan sebuah klinik psikiatri terapung: terbuka namun terlindung. Para dokter, perawat, dan pasien berkolaborasi dengan seorang arsitek, dan empat tahun yang lalu Adamant—gedung berdinding kaca—dibuka. Para pasien datang untuk minum kopi, menikmati cemilan, atau bercakap-cakap dengan staf medis, membuat karya seni, atau hanya menikmati pemandangan.

Sejak hari pertama agresi sudah lenyap. Mengapa? Tidak ada yang bisa menjelaskan, ungkap direktur klinik Jean-Paul Hazan.

“Mungkin,” kata Jacqueline Simmonet, kepala perawat, “karena ayunan kapal.”

“Rumah sakit jiwa biasanya tersembunyi,” kata Hazan. “Pasien menghilang di balik pintu terkunci. Di sini tak ada yang tertutup, semua terbuka. Mereka sakit parah, akan tetapi tak ada kekerasan.” Dia diam. “Saya rasa tempat ini telah mengubah kami, entah bagaimana caranya.”

Empat batang pohon mulberry di dermaga menandai musim. Kuning saat musim gugur, gundul saat musim dingin, hijau pucat saat musim semi, dan hijau tua saat musim panas. Seekor pecuk berenang, menunjukkan keanggunan alam. Sungai memantulkan titik-titik lampu dari dalam gedung. Penataannya berkonsep terbuka. Ruangannya, kata Simonnet, bersifat fluide. Kaca menghapus penghalang antara dalam dan luar.

Ini juga, setidaknya secara metafora, me­ngaburkan batasan antara mereka dan kita—antara penderita penyakit mental yang ter­marginal­kan dan orang yang dianggap normal. “Semua ada di kapal yang sama,” ujar Gérard Ronzatti, arsitek perancang tempat ini.

Ruang, sebagaimana air, selalu mengalir, ber­ubah seiring waktu dan peristiwa. “Setelah revolusi, banyak biara diubah jadi penjara,” ujar­nya tenang. “Di ruang yang sama, Anda bisa mendapat kemerdekaan, atau penjara.” Sebuah bangunan, ruangan, dapat me­ngekang atau membebaskan, memungkinkan jiwa menjelajahi ruang yang tersedia hingga lebih jauh lagi. Dalam merancang klinik terapung itu, Ronzatti mengambil pilihan kedua. Adamant secantik dan secair sungai tempatnya mengapung.