Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

“Mereka melimpahkan pekerjaan saya ke perusahaan lain. Dua bulan saya menumpang di flat adik perempuan saya. Dia mendepak saya.

“Cerita keluarga bisa rumit,” tambahnya murung. Dia enggan menjelaskan lebih lanjut.

Tidak ada banyak percakapan di meja makan. Mereka makan dengan tergesa-gesa, dengan sigap meraih tambahan roti kedua, ketiga, dan keempat. Setelah makan, ketiganya duduk untuk bermain Scrabble. Yang lain bermain kartu. René mengisi pipanya. “Pada siang hari, saya menghabiskan waktu di pameran atau perpustakaan. Tetapi saya tak pernah menyerah. Kita harus kuat. Mengalah itu mudah. Dua kaleng bir, selinting ganja. Cuma perlu itu. Dan kita tenggelam.”

Patrick Declerck, antropolog dan penulis Les Naufragés—Orang Buangan, memperkirakan jumlah tunawisma di Paris antara 10.000 dan 15.000 pada 2001. Menurut National Institute of Statistics, angka tersebut telah bertambah hingga 50 persen sejak saat itu. Tidak ada yang memegang statistik tepatnya; jumlahnya bisa jadi jauh lebih tinggi.

Casseron menyapa seseorang yang terlambat datang. “Tidak pernah ada cukup tempat untuk semua orang,” ungkapnya. “Pekerjaan ini memuaskan, tetapi saya selalu bertanya-tanya apakah yang saya perbuat sudah cukup.

“Ini”—dia mengacu pada tempat berteduh yang disediakan oleh kapal—“hanya setetes air. Murni. Bebas limbah. Tetapi hanya setetes air di sungai bernama Seine.”

!break!

SEORANG PELAUT TUA

Seperti semboyan Paris—“Fluctuat nec mergitur, terombang-ambing ombak namun tetap tegar—ada orang-orang yang telah diombang-ambingkan ombak namun tetap berdiri tegak. René Ballinger, 87, tinggal di kapal Siam yang tertambat di Port de Grenelle, bersama istrinya, Nenette, 86. Kakeknyalah yang merakit kapal itu. Dia lahir di atasnya; begitu pula putranya, Marc. Selama masa kejayaannya, kapal itu telah melintasi Belgia, Belanda, Jerman, dan Swiss, mengangkut biji-bijian, batu bara, dan baja.

Nenette, yang mengenakan kacamata ber­bingkai emas, memiliki kulit seperti perkamen, dan berambut putih pendek setipis bulu, tidak terlahir di keluarga pelaut. “Saya bekerja sebagai sekretaris di bagian utara Prancis,” ujarnya, duduk di meja makannya. “Rumah saya di pinggir sungai. Pada suatu hari dia datang dengan kapalnya.”

“Saya melihat dia,” René menyela. Tatapannya mengungkapkan segalanya. Mereka menikah pada 1947. Nenette menjulukinya “jagoan tua.” Kata René, Nenette adalah sahabatnya. Kata putri mereka, mereka terlalu banyak bertengkar.

“Kami bertengkar,” kata Nenette kepada putrinya, “karena kami masih hidup. Kalau kami sudah mati, kami akan diam.

“Dia pelaut. Saya orang darat. Ketika me­nikah, saya bertanya kepada diri saya, suku macam apa yang sudah saya masuki?”