Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB
!break!

APAKAH WARNA SEINE?

“Ketika langit berawan, selama beberapa menit warnanya seputih garam,” ujar Jean Esselinck, pensiunan diplomat yang tinggal di kapal bernama Soleil. “Tetapi kemudian menghitam. Lihatlah ke sungai, sekarang warnanya hijau.”

“Transparan,” kata Marie-Jeanne Fournier, wali kota Source Seine, sebuah desa di Bur­gundy, 290 kilometer dari Paris, dekat tempat sungai itu lahir. Meskipun jaraknya jauh, Seine bisa dibilang berawal di Paris, karena hutan cemara tempat air bergolak dari sumbernya dan memulai perjalanan sejauh 775 kilometer menuju laut merupakan wilayah Paris pada 1864, berdasarkan ketetapan Napoleon III. Di sini, pada awal mulanya, Seine transparan: sebening eau-de-vie—air kehidupan—dan berlokasi di Paris. Secara teknis.

Sungai yang digambarkan Monet dalam Banks of the Seine, Ile de la Grande-Jatte ber­warna merah jambu, putih, dan biru; Seine dalam karya Matisse yang berjudul Pont Saint-Michel bersemburat merah. Tetapi Doris Alb, seniman yang bermukim di Sun Day, dekat Pont des Arts, mengingatkan kita untuk berhati-hati saat menyebut warna dalam bahasa Prancis.

“Dalam bahasa Jerman, merah berarti merah. Tetapi, dalam bahasa Prancis merah dapat ber­makna...yah, mungkin memang merah...tapi bersemburat kuning...atau mendekati merah jambu...atau mungkin hanya ilusi merah.” Alb adalah seorang wanita bertubuh tegap dan ber­sepatu gagah, dengan rambut kuning yang berkibar-kibar seperti dalam lukisan Botticelli. Matanya sedikit memicing karena terpajan sinar matahari. Dia enggan memakai kacamata hitam. “Benda itu mengusamkan warna-warni dunia.”

Apakah warna Seine?

C’est compliqué—amatlah rumit. Seine men­cerminkan kehidupan dan segala sesuatu di se­kelilingnya. Maka, ia tak punya batasan warna.”

!break!

MEREBUT SUNGAI KEMBALI

Pada 1960-an Perdana Menteri Georges Pompidou memberikan pukulan telak pada hubungan Paris dengan Seine. Dia membangun jalan raya di kedua sisi sungai. “Paris harus beradaptasi dengan mobil,” ujarnya. Sesungguhnya pe­mutusan hubungan ini dimulai pada abad ke-18. Hingga saat itu, daerah bantaran sungai merupakan arena komersial dan sosial yang ramai, jelas ahli sejarah Isabelle Backouche. Setelah 1750, pihak administrasi kerajaan dan pemerintah kota mulai membersihkan pasar, kapal penatu, dan bengkel dari tepi sungai agar Seine lebih ramah navigasi. Tanggul tinggi yang dibangun pada abad ke-19 mengukuhkan pemisahan itu. “Sungai sudah bukan tempat yang meriah lagi, berubah menjadi museum yang tidak terhubung dengan kehidupan sehari-hari warga Paris,” kata Backouche.

Percepat waktu menuju 2013. Masuklah Wali Kota Sosialis Delanoë, penggagas Paris Plages, sistem pembagian jalan untuk sepeda dan mobil listrik di kota, dan program percobaan mempekerjakan empat ekor kambing “pemangkas rumput” untuk merapikan halaman gedung-gedung pemerintahan. Juni lalu, setelah melewati argumentasi politik selama ber­tahun-tahun, Delanoë menutup hampir dua setengah kilometer jalan raya di Tepi Kiri dan membuka Les Berges—jalur di tepi sungai yang dilengkapi dengan taman apung, restoran, dan arena bermain. “Bau apak jalanan lenyap, men­ciptakan lingkungan berudara terbuka tempat semua orang dapat...bersenang-senang,” dia mengumumkan dengan gembira.

Tidak semua orang senang. “Saya me­nentang­nya,” ujar Rachida Dati, wali kota 7 arrondissement—distrik ke-7—yang makmur. Dati, putri seorang penata batu bata Maroko, adalah seorang pionir di dunia politik sayap kanan Prancis. Dia tampak garang di balik mejanya di balai kota abad ke-17 tempatnya memerintah, mengenakan jins ketat, jaket hitam pendek, dan sepatu bertumit menjulang.

“Berges menghabiskan biaya 40 juta euro [623 miliar rupiah],” dia mengungkapkan alasannya. “Uang sebanyak itu mungkin lebih tepat dipakai mengurus 27.000 anak yang tak mampu masuk créche—tempat penitipan anak, atau mengembangkan transportasi umum. Tiga per empat penduduk Paris bergantung pada Métro, tapi sudah bertahun-tahun tidak ada investasi untuk infrastrukturnya.”