Suka dan Duka di Seine

By , Senin, 28 April 2014 | 10:18 WIB

Terdapat 199 rumah perahu yang ditambatkan di Paris dan, tentu saja, 199 kisah mabuk asmara. Pada 1970-an, ketika ekonomi transportasi lebih mengutamakan kereta dan truk daripada kapal pengangkut, kapal bisa dibeli dengan harga murah. Gaya hidup ini terjangkau dan tidak dibatasi oleh hukum hingga 1994, ketika pemerintah kota menetapkan pajak perumahan, biaya penambatan, dan peraturan menyangkut dokumen kepemilikan kapal.

Frédéric Chaslin, konduktor dan komposer, memiliki grand piano Steinway di ruang tamu kapalnya, Caracalla, dan di dapurnya, trio mesin espresso serempak menyiulkan nada yang sama saat menyeduh kopi.

“Saya mencintainya,” ujarnya tentang kapal pertama yang dibelinya. “Istri saya tidak. Saya pun berpikir, istri, kapal, istri...”

“...Kapal,” dia menutup kalimatnya.

“Membeli kapal bukanlah hal biasa,” kata Eric Piel, pensiunan psikiater dan pemilik Orion, kapal pengangkut yang berlabuh di seberang Menara Eiffel. “Ini berbeda dengan membeli apartemen. Ada unsur risikonya. Tetapi... me­miliki tempat dan juga mobilitas! Ini yang ter­baik dari semua kemungkinan yang ada.”

Piel, yang berperawakan kerempeng dengan wajah dijalari urat-urat tipis berbingkai rambut ikal beruban, melanjutkan. “Apartemen sama saja dengan kotak sepatu. Relakah Anda be­kerja seumur hidup hanya untuk tinggal di kotak sepatu? Menurut Anda, apakah itu tanda kebugaran? “Setidaknya saya bebas dari pe­rangkap kotak sepatu,” lamunnya. “Walaupun masih ada perangkap-perangkap lainnya.”

!break!

PANTAI INSTAN (TAMBAHKAN AIR SAJA)

Pada 19 Juli pukul 10.58 malam, sebuah truk mengangkut 36 batang pohon palem. Truk itu dikawal oleh empat orang polisi bersepeda motor dan sebuah mobil patroli, merayap ke Champs-Élysées dari Bois de Boulogne, tempat pohon-pohon itu melewati musim dingin. Mereka berhenti di Pont Neuf (artinya Jembatan Baru), yang berlawanan dengan namanya, merupakan jembatan tertua di Paris.

Dua puluh enam menit kemudian, sebuah mobil derek mengangkat pohon setinggi 7,5 meter pertama dan menurunkannya di pantai yang muncul dalam tiga hari di tepi Seine, tepatnya di depan Balai Kota. Pohon-pohon palem (Trachycarpus fortunei) itu merupakan sentuhan puncak Paris Plages—ajang tahunan yang diadakan setiap musim panas, ketika tiga pantai komplit dipasang di sepanjang sungai.

Boks pasir di Seine ini digagas 12 tahun silam oleh wali kota Paris Bertrand Delanoë. Untuk mengakomodasi pantai, Georges Pompidou Expressway yang membentang di Tepi Kanan sungai ditutup selama empat pekan.

“Ini bukan sains tingkat tinggi,” kata manajer proyek Damien Masset. Dia menyebutkan bahan-bahan pembuat pantai instan: 5.500 ton pasir, 250 payung biru, 350 kursi pantai, 800 kursi biasa, 250 kursi malas, 40 tempat tidur gantung, 200 meja, empat kios es krim, delapan kafe, 800 meter pagar kayu; 250 orang untuk menatanya, 450 untuk mengelolanya.

Selama satu bulan setiap musim panas, Sungai Seine di Paris berubah menjadi Riviera perkotaan. Sungai itu dipenuhi lalu-lalang para pemain voli pantai; arsitek istana pasir; penari samba, tango, dan break dance; musisi rock, jazz, soul; dan orang-orang yang ingin berjemur—yang menunjukkan serba-serbi manusia.