Bagaimana Lumba-Lumba Berkomunikasi?

By , Kamis, 16 April 2015 | 17:28 WIB

Sebelum genus kita yang berkembang belakangan menyalipnya, lumba-lumba mungkin hewan berotak terbesar, dan diperkirakan tercerdas, di planet ini. Berdasarkan persentase berat terhadap tubuh, otak lumba-lumba masih merupakan salah satu yang terbesar dalam dunia hewan—dan lebih besar daripada simpanse. Evolusi manusia dan simpanse terpisah sekitar enam juta tahun lalu. Sementara cetacea seperti lumba-lumba memisahkan diri dari garis keturunan mamalia lainnya sekitar 55 juta tahun lalu, dan dari primata sejak 95 juta tahun lalu.

Ini berarti bahwa primata dan cetacea menempuh dua jalur evolusi yang berbeda dalam waktu yang sangat lama, dan hasilnya tidak hanya dua jenis tubuh yang berbeda, tetapi juga dua macam otak. Primata, misalnya, memiliki lobus frontalis besar, yang berfungsi untuk pengambilan keputusan dan perencanaan. Lumba-lumba memiliki lobus frontalis yang kecil, namun hewan ini memiliki kemampuan mengesankan dalam menyelesaikan masalah dan, tampaknya, mampu merencanakan masa depan. Lumba-lumba juga memiliki sistem paralimbik yang sangat berkembang dan tegas untuk memproses emosi. Ada hipotesis bahwa hal itu mungkin penting bagi ikatan emosional dan sosial yang sangat erat dalam masyarakat lumba-lumba.

“Lumba-lumba yang hidup sendiri bukanlah lumba-lumba sejati,” kata Lori Marino, ahli biopsikologi dan direktur pelaksana Kimmela Center for Animal Advocacy. “Lumba-lumba harus menjadi bagian dari jaringan sosial yang kompleks. Bahkan melebihi manusia.”

Ketika lumba-lumba mengalami masalah, kawanannya memperlihatkan solidaritas yang jarang terlihat pada kelompok hewan lain. Jika ada satu yang sakit dan menuju air dangkal, seluruh kawanan kadang-kadang mengikuti, yang dapat menyebabkan terdampar massal. Seakan semuanya hanya memikirkan lumba-lumba yang bermasalah, kata Marino. Kejadian terdampar massal di Australia tahun 2013 baru terselesaikan ketika manusia campur tangan dengan menangkap salah satu lumba-lumba muda dalam kawanan itu dan membawanya ke laut lepas; jeritan minta tolongnya menarik kawanannya kembali ke laut.

!break!

Apa yang menyebabkan lumba-lumba memiliki otak yang relatif besar dibandingkan semua makhluk yang hidup di darat dan laut? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat catatan fosil. Sekitar 34 juta tahun yang lalu nenek moyang lumba-lumba modern adalah makhluk besar dengan gigi runcing. Pada waktu itu, menurut satu teori, periode pendinginan laut yang signifikan mengubah ketersediaan makanan dan menciptakan ceruk ekologi baru yang dimanfaatkan lumba-lumba dan mengubah caranya berburu. Otaknya menjadi lebih besar, sementara gigi menakutkannya mengecil menjadi seperti saat ini. Perubahan tulang telinga dalam menunjukkan bahwa periode ini juga merupakan awal terbentuknya kemampuan ekolokasi, saat beberapa lumba-lumba beralih dari memburu ikan besar sendirian menjadi memburu kawanan ikan kecil beramai-ramai. Lumba-lumba menjadi lebih komunikatif, lebih sosial—dan mungkin lebih cerdas.

Richard Connor, yang meneliti kehidupan sosial lumba-lumba di Teluk Shark, Australia, mengidentifikasi tiga tingkat aliansi dalam jaringan sosial lumba-lumba yang besar dan terbuka. Jantan cenderung membentuk kelompok beranggotakan dua atau tiga ekor yang agresif mengejar betina dan kemudian menjaga betina tersebut secara ketat. Aliansi tingkat satu ini memiliki hubungan sangat stabil yang dapat bertahan selama puluhan tahun. Jantan juga merupakan bagian dari kelompok lebih besar yang beranggotakan 4 sampai 14 ekor, yang disebut Connor aliansi tingkat dua. Tim ini bersama-sama merebut betina dari kelompok lain dan membela betina kelompoknya dari serangan, dan bisa bertahan sampai enam belas tahun. Connor juga melihat aliansi tingkat tiga yang lebih besar, yang terbentuk ketika ada pertempuran besar antara aliansi tingkat dua.

Dua lumba-lumba bisa berteman hari ini dan bermusuhan keesokan harinya, bergantung pada lumba-lumba lain di sekitarnya. Aliansi bagi lumba-lumba tampaknya sangat rumit dan tergantung situasi. Kebutuhan untuk mengingat semua hubungan tersebut mungkin salah satu sebab lumba-lumba memiliki otak yang besar.

!break!

Lumba-lumba juga merupakan salah satu hewan yang paling kosmopolitan di planet ini. Seperti manusia di darat, spesies lumba-lumba menyebar ke seantero samudra, dan sebagaimana halnya manusia, hewan ini terbukti pandai menemukan strategi makan yang cocok bagi lingkungan yang ditempatinya.

Di Teluk Shark beberapa lumba-lumba hidung botol melepaskan spons dari dasar laut dan memasangnya ke moncongnya sebagai pelindung ketika mengaduk pasir untuk mencari ikan kecil yang bersembunyi—sejenis penggunaan alat primitif. Di Teluk Florida yang dangkal lumba-lumba memanfaatkan kecepatan renangnya, yang dapat melebihi 32 kilometer per jam, untuk mengelilingi kawanan ikan belanak, menciptakan tirai lumpur yang memaksa belanak melompat ke udara, lalu mendarat di mulut lumba-lumba yang telah menunggu. Lumba-lumba kehitaman di lepas pantai Patagonia menggiring kawanan ikan teri hingga terkurung lalu mereka bergiliran untuk menyantapnya.

Semua perilaku ini menunjukkan adanya kecerdasan. Namun, apakan sebenarnya kecerdasan itu? Apabila didesak, sering kita terpaksa mengakui bahwa kita mengukur kecerdasan melalui kemiripan spesies tersebut dengan manusia. Menurut Kuczaj itu keliru. “Pertanyaannya bukan secerdas apa lumba-lumba, tetapi bagaimana bentuk kecerdasan lumba-lumba?”

 !break!