Bagaimana Lumba-Lumba Berkomunikasi?

By , Kamis, 16 April 2015 | 17:28 WIB

Pelatih kepala Teri Turner Bolton mengawasi dua lumba-lumba jantan muda, Hector dan Han, yang moncong, atau rostrumnya, menyembul di permukaan air sembari menunggu sebuah perintah.

Kedua lumba-lumba hidung botol di Lembaga Ilmu Kelautan Roatán (biasa disingkat RIMS), sanggraloka merangkap lembaga penelitian di sebuah pulau lepas pantai Honduras, sangat berpengalaman dalam hal aksi pertunjukan lumba-lumba. Hewan ini dilatih untuk berputar di udara saat diberi aba-aba, meluncur mundur di permukaan air sambil berdiri tegak di atas ekornya, dan melambaikan sirip dadanya kepada wisatawan yang datang beberapa kali seminggu dengan kapal pesiar.

Namun, para ilmuwan di RIMS lebih tertarik pada cara pikir lumba-lumba daripada aksi yang bisa dilakukannya. Ketika diberi isyarat tangan untuk “berinovasi”, Hector dan Han dapat memilih masuk ke air dan membuat gelembung, atau melompat ke udara, atau menyelam ke dasar laut, atau salah satu dari berbagai manuver yang dikuasainya—tetapi keduanya tidak boleh mengulangi gerakan yang sudah lakukannya selama sesi tersebut. Luar biasanya, hewan ini biasanya memahami bahwa dia diharapkan selalu mencoba gerakan baru dalam setiap sesi.

Bolton menempelkan kedua telapak tangannya di atas kepala, sinyal untuk berinovasi, dan kemudian merapatkan kedua kepalannya, tanda untuk “tandem”. Dengan dua isyarat itu, dia menyuruh lumba-lumba memeragakan gerakan yang belum dilihatnya selama sesi tersebut dan melakukannya bersama-sama.

!break!

Hector dan Han menghilang ke dalam air. Kedua lumba-lumba itu ditemani psikolog komparatif Stan Kuczaj yang mengenakan pakaian selam dan peralatan snorkeling serta membawa kamera video bawah air besar lengkap dengan hidrofonnya. Dia merekam beberapa detik celotehan Hector dan Han, kemudian kamera menangkap keduanya serentak berguling perlahan lalu mengibaskan ekornya tiga kali  secara berbarengan.

Di darat Bolton menempelkan jempol dan jari tengahnya, menyuruh lumba-lumba untuk meneruskan inovasi bersama tersebut. Dan lumba-lumba itu pun melakukannya. Hewan seberat 180 kilogram itu kembali menyelam, mengeluarkan beberapa siulan bernada tinggi, lalu serempak meniup gelembung. Kemudian keduanya berputar berdampingan. Lalu keduanya “berjalan” dengan ekor. Setelah delapan gerakan, sesi itu pun berakhir.

Ada dua kemungkinan penjelasan perilaku yang luar biasa ini. Pertama, lumba-lumba meniru temannya dengan sangat cepat dan tepat sehingga yang terlihat seperti koordinasi itu sejatinya cuma ilusi. Kemungkinan kedua, itu bukan ilusi: Ketika lumba-lumba bersiul di dalam air, keduanya tengah menyusun rencana.

 !break!

Ketika simpanse memandang sebutir buah atau gorila punggung perak mendabik dada untuk memperingatkan jantan lain yang mendekat, mudah saja kita melihat cerminan diri kita dalam perilaku tersebut atau bahkan membayangkan isi pikirannya. Kita masih terhitung satu golongan, kera besar, dan kecerdasan spesies tersebut sering terasa seperti kecerdasan manusia dalam kadar yang lebih rendah—atau setidaknya mirip. Akan tetapi, lumba-lumba sangat berbeda dengan kita. Satwa ini “melihat” dengan sonar dan sangat presisi sehingga dari jarak 30 meter dia bisa mengetahui suatu benda itu terbuat dari logam, plastik, atau kayu. Bahkan dia bisa menangkap sinyal ekolokasi lumba-lumba lain dan mengetahui benda yang sedang dilihat lumba-lumba itu. Tidak seperti primata, hewan ini tidak bernapas secara otomatis, dan saat tidur, sepertinya hanya setengah otaknya yang beristirahat. Gerakan matanya terpisah satu sama lain. Spesies ini semacam makhluk asing yang hidup seplanet dengan kita—mengamati lumba-lumba mungkin hampir mirip dengan bertemu makhluk luar angkasa.

Lumba-lumba sangat banyak omong. Tidak hanya bersiul dan berdecak, satwa ini juga mengeluarkan beragam suara keras sekaligus yang disebut “bunyi rentetan” untuk memarahi anaknya dan mengusir hiu. Para ilmuwan yang mendengarkan suara-suara itu telah lama menduga-duga artinya. Buat apa makhluk berotak besar yang sangat sosial ini repot-repot mengoceh di dalam air, jika bunyi itu tidak ada maknanya. Sayangnya, penelitian selama sete­ngah abad belum bisa menyimpulkan satuan dasar bunyi lumba-lumba, apalagi tata bahasanya.

“Jika kita dapat menemukan pola yang menghubungkan bunyi dengan perilaku, itu akan menjadi terobosan besar,” kata Kuczaj, 64 tahun, yang menerbitkan lebih banyak artikel ilmiah tentang kognisi lumba-lumba daripada sebagian besar ilmuwan di bidang ini. Dia meyakini bahwa penelitiannya mengenai lumba-lumba yang bergerak serentak di RIMS mungkin dapat menjadi batu Rosetta yang mengungkap misteri komunikasi lumba-lumba, meskipun imbuhnya, “Kecanggihan lumba-lumba yang membuatnya begitu menarik juga membuatnya sangat sulit diteliti.”

Sayangnya hampir tidak ada bukti yang mendukung keberadaan sesuatu yang menyerupai bahasa lumba-lumba, bahkan beberapa ilmuwan mengungkapkan kekesalannya pada penelitian konyol berkepanjangan itu. “Juga tidak ditemukan bukti bahwa lumba-lumba tidak bisa pindah waktu, tidak bisa membengkokkan sendok dengan pikiran, dan tidak bisa menembakkan laser dari lubang embusnya,” tulis Justin Gregg, pengarang Are Dolphins Really Smart? The Mammal Behind the Myth.

Sementara Gregg melihat setengah abad kegagalan, Kuczaj dan para peneliti terkemuka lainnya melihat banyak sekali bukti tidak langsung yang membuat mereka yakin bahwa masalah ini hanya belum dilihat dengan cara yang benar dan dengan alat yang tepat. Baru dalam dekade terakhir perekam audio frekuensi tinggi bawah air, seperti yang digunakan Kuczaj, mampu menangkap spektrum penuh suara lumba-lumba, dan baru beberapa tahun terakhir algoritme perlombongan data digunakan untuk menganalisis rekaman tersebut. Pada akhirnya nanti, bunyi lumba-lumba merupakan salah satu misteri terbesar yang menunggu dipecahkan ilmu pengetahuan atau salah satu penelitian panjang yang berakhir sia-sia.

 !break!

Sebelum genus kita yang berkembang belakangan menyalipnya, lumba-lumba mungkin hewan berotak terbesar, dan diperkirakan tercerdas, di planet ini. Berdasarkan persentase berat terhadap tubuh, otak lumba-lumba masih merupakan salah satu yang terbesar dalam dunia hewan—dan lebih besar daripada simpanse. Evolusi manusia dan simpanse terpisah sekitar enam juta tahun lalu. Sementara cetacea seperti lumba-lumba memisahkan diri dari garis keturunan mamalia lainnya sekitar 55 juta tahun lalu, dan dari primata sejak 95 juta tahun lalu.

Ini berarti bahwa primata dan cetacea menempuh dua jalur evolusi yang berbeda dalam waktu yang sangat lama, dan hasilnya tidak hanya dua jenis tubuh yang berbeda, tetapi juga dua macam otak. Primata, misalnya, memiliki lobus frontalis besar, yang berfungsi untuk pengambilan keputusan dan perencanaan. Lumba-lumba memiliki lobus frontalis yang kecil, namun hewan ini memiliki kemampuan mengesankan dalam menyelesaikan masalah dan, tampaknya, mampu merencanakan masa depan. Lumba-lumba juga memiliki sistem paralimbik yang sangat berkembang dan tegas untuk memproses emosi. Ada hipotesis bahwa hal itu mungkin penting bagi ikatan emosional dan sosial yang sangat erat dalam masyarakat lumba-lumba.

“Lumba-lumba yang hidup sendiri bukanlah lumba-lumba sejati,” kata Lori Marino, ahli biopsikologi dan direktur pelaksana Kimmela Center for Animal Advocacy. “Lumba-lumba harus menjadi bagian dari jaringan sosial yang kompleks. Bahkan melebihi manusia.”

Ketika lumba-lumba mengalami masalah, kawanannya memperlihatkan solidaritas yang jarang terlihat pada kelompok hewan lain. Jika ada satu yang sakit dan menuju air dangkal, seluruh kawanan kadang-kadang mengikuti, yang dapat menyebabkan terdampar massal. Seakan semuanya hanya memikirkan lumba-lumba yang bermasalah, kata Marino. Kejadian terdampar massal di Australia tahun 2013 baru terselesaikan ketika manusia campur tangan dengan menangkap salah satu lumba-lumba muda dalam kawanan itu dan membawanya ke laut lepas; jeritan minta tolongnya menarik kawanannya kembali ke laut.

!break!

Apa yang menyebabkan lumba-lumba memiliki otak yang relatif besar dibandingkan semua makhluk yang hidup di darat dan laut? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat catatan fosil. Sekitar 34 juta tahun yang lalu nenek moyang lumba-lumba modern adalah makhluk besar dengan gigi runcing. Pada waktu itu, menurut satu teori, periode pendinginan laut yang signifikan mengubah ketersediaan makanan dan menciptakan ceruk ekologi baru yang dimanfaatkan lumba-lumba dan mengubah caranya berburu. Otaknya menjadi lebih besar, sementara gigi menakutkannya mengecil menjadi seperti saat ini. Perubahan tulang telinga dalam menunjukkan bahwa periode ini juga merupakan awal terbentuknya kemampuan ekolokasi, saat beberapa lumba-lumba beralih dari memburu ikan besar sendirian menjadi memburu kawanan ikan kecil beramai-ramai. Lumba-lumba menjadi lebih komunikatif, lebih sosial—dan mungkin lebih cerdas.

Richard Connor, yang meneliti kehidupan sosial lumba-lumba di Teluk Shark, Australia, mengidentifikasi tiga tingkat aliansi dalam jaringan sosial lumba-lumba yang besar dan terbuka. Jantan cenderung membentuk kelompok beranggotakan dua atau tiga ekor yang agresif mengejar betina dan kemudian menjaga betina tersebut secara ketat. Aliansi tingkat satu ini memiliki hubungan sangat stabil yang dapat bertahan selama puluhan tahun. Jantan juga merupakan bagian dari kelompok lebih besar yang beranggotakan 4 sampai 14 ekor, yang disebut Connor aliansi tingkat dua. Tim ini bersama-sama merebut betina dari kelompok lain dan membela betina kelompoknya dari serangan, dan bisa bertahan sampai enam belas tahun. Connor juga melihat aliansi tingkat tiga yang lebih besar, yang terbentuk ketika ada pertempuran besar antara aliansi tingkat dua.

Dua lumba-lumba bisa berteman hari ini dan bermusuhan keesokan harinya, bergantung pada lumba-lumba lain di sekitarnya. Aliansi bagi lumba-lumba tampaknya sangat rumit dan tergantung situasi. Kebutuhan untuk mengingat semua hubungan tersebut mungkin salah satu sebab lumba-lumba memiliki otak yang besar.

!break!

Lumba-lumba juga merupakan salah satu hewan yang paling kosmopolitan di planet ini. Seperti manusia di darat, spesies lumba-lumba menyebar ke seantero samudra, dan sebagaimana halnya manusia, hewan ini terbukti pandai menemukan strategi makan yang cocok bagi lingkungan yang ditempatinya.

Di Teluk Shark beberapa lumba-lumba hidung botol melepaskan spons dari dasar laut dan memasangnya ke moncongnya sebagai pelindung ketika mengaduk pasir untuk mencari ikan kecil yang bersembunyi—sejenis penggunaan alat primitif. Di Teluk Florida yang dangkal lumba-lumba memanfaatkan kecepatan renangnya, yang dapat melebihi 32 kilometer per jam, untuk mengelilingi kawanan ikan belanak, menciptakan tirai lumpur yang memaksa belanak melompat ke udara, lalu mendarat di mulut lumba-lumba yang telah menunggu. Lumba-lumba kehitaman di lepas pantai Patagonia menggiring kawanan ikan teri hingga terkurung lalu mereka bergiliran untuk menyantapnya.

Semua perilaku ini menunjukkan adanya kecerdasan. Namun, apakan sebenarnya kecerdasan itu? Apabila didesak, sering kita terpaksa mengakui bahwa kita mengukur kecerdasan melalui kemiripan spesies tersebut dengan manusia. Menurut Kuczaj itu keliru. “Pertanyaannya bukan secerdas apa lumba-lumba, tetapi bagaimana bentuk kecerdasan lumba-lumba?”

 !break!

Ada orang yang ikut retret spiritual untuk berkomunikasi dengan lumba-lumba. Ada wanita yang memilih melahirkan di hadapan lumba-lumba. Dan, ada pula pihak yang mengklaim dapat menggunakan kekuatan energi lumba-lumba untuk menyembuhkan suatu penyakit.

“Mungkin lebih banyak ide aneh tentang lumba-lumba yang terdapat di dunia maya daripada lumba-lumba yang terdapat di laut,” tulis Gregg. Kebanyakan ide aneh tersebut dapat ditelusuri kembali ke satu orang, namanya adalah John Lilly.

Lilly adalah ahli neurofisiologi ikonoklastik di National Institute of Mental Health AS yang mulai meneliti lumba-lumba tahun 1950-an. Dialah ilmuwan pertama yang berpendapat bahwa “manusia laut” ini memiliki bahasa. Dengan hibah dari beberapa kelompok besar penyandang dana penelitian, Lilly membuka fasilitas penelitian lumba-lumba di Kepulauan Virgin AS, tempat dia berupaya mengajarkan bahasa Inggris kepada lumba-lumba bernama Peter. Pada awal 1960-an, percobaan Lilly menjadi semakin tidak konvensional—ia bahkan pernah menyuntik lumba-lumba dengan LSD—dan pendanaan mulai menyurut.

Topik “bahasa” lumba-lumba dihindari para peneliti sampai 1970, ketika psikolog University of Hawaii yang bernama Louis Herman mendirikan Kewalo Basin Marine Mammal Laboratory di Honolulu.

!break!

“Kami ingin mendidik hewan ini untuk mengetahui potensi kognitifnya,” kata Adam Pack dari University of Hawaii at Hilo, yang bekerja di laboratorium itu selama 21 tahun. “Kami membesarkan lumba-lumba seperti layaknya manusia membesarkan anak.”

Di Kewalo Basin dua lumba-lumba peliharaan, Phoenix dan Akeakamai, dibesarkan dalam lingkungan pendidikan berkelanjutan dan diajari bahasa buatan. Keduanya dididik untuk menghubungkan suara atau isyarat tangan dengan benda, tindakan, dan sifat.

Phoenix diajari bahasa akustik dengan urutan kata sesuai tugas yang hendak dilakukan. Akeakamai diajari bahasa isyarat dengan urutan kata yang tidak sama dengan urutan tugas. Sementara Phoenix secara teori bisa merespons kata demi kata, Akeakamai baru bisa menafsirkan perintah setelah melihat seluruh rangkaian isyarat. Kedua lumba-lumba yang berenang di kolam penuh bermacam benda itu dapat melaksanakan instruksi dengan benar lebih dari 80 persen.

Dalam pandangannya, bahasa yang diajarkan membuat Phoenix dan Akeakamai dapat memperlihatkan kemampuan kognitif luar biasa yang dimiliki oleh semua lumba-lumba hidung botol—dan mungkin spesies lumba-lumba lain—dengan cara yang mungkin tidak akan pernah terlihat di alam bebas. Kalau begitu, adakah bentuk asli komunikasi lumba-lumba yang dapat ditangkap dan akhirnya dimengerti oleh manusia?

Ternyata ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa setidaknya satu jenis suara lumba-lumba, yang banyak diteliti selama dekade terakhir, yang memang memiliki makna. Lumba-lumba menggunakan “siulan pengenal” khas untuk saling mengenali dan memanggil. Setiap lumba-lumba diduga menciptakan nama unik untuk dirinya sendiri saat masih kecil dan tidak berubah seumur hidupnya. Lumba-lumba saling menyapa di laut dengan membunyikan siulan pengenalnya dan sepertinya masih mengingat siulan pengenal yang pernah didengarnya sampai puluhan tahun setelahnya. Belum ada makhluk selain manusia yang diketahui memiliki nama khusus untuk individu.

!break!

Siulan pengenal hanyalah sebagian bunyi yang dikeluarkan lumba-lumba di dalam air. Mungkinkah dari berbagai bunyi lumba-lumba hanya itu satu-satunya yang memiliki arti? Mungkinkah lumba-lumba hanya memiliki nama untuk lumba-lumba lainnya dan tidak punya kata untuk benda lain di laut?

Denise Herzing, sang Jane Goodall bahari, menghabiskan tiga dekade terakhir untuk meneliti lebih dari 300 lumba-lumba totol Atlantik yang mencakup tiga generasi. Dia bekerja di lautan seluas 450 kilometer persegi di lepas pantai Bahama, dalam program lumba-lumba liar dalam air terpanjang di dunia.

Musim panas lalu saya ikut Herzing naik kapal penelitiannya, R.V. Stenella, saat ia bersiap-siap melakukan percobaan lapangan pertamanya menggunakan alat canggih baru yang diharapkannya suatu hari nanti dapat digunakan untuk komunikasi dua arah antara dia dengan lumba-lumba yang telah begitu lama ditelitinya—dan sekaligus mengungkap cara lumba-lumba berkomunikasi satu sama lain.

Mesin itu berupa kotak aluminium dan plastik bening seukuran wadah sepatu yang dinamai CHAT (cetacean hearing and telemetry), yang dipasang Herzing ke tubuhnya saat dia menyelam. Kotak seberat sembilan kilogram itu memiliki papan tik dan speaker kecil di bagian depan sementara dua hidrofon yang terlihat seperti mata mencuat di bawahnya. Di dalamnya, di antara seliweran kabel dan papan sirkuit yang terlindung dari efek korosif air laut, terdapat komputer yang dapat memutar rekaman siulan pengenal lumba-lumba dan siulan mirip lumba-lumba saat tombol ditekan, serta merekam siulan balasan lumba-lumba lainnya.

!break!

Apabila ada lumba-lumba yang mengulangi salah satu siulan lir-sikudomba ini, komputer akan mengubah bunyi itu menjadi kata dalam bahasa manusia lalu memutarnya di peranti dengar Herzing.

Lumba-lumba terkenal mampu belajar dan meniru dengan cepat. Tujuan Herzing adalah membuat beberapa betina muda yang dikenalnya sejak lahir mengasosiasikan tiga siulan yang dipancarkan kotak CHAT dengan objek tertentu: syal, tali, dan sargassum, rumput laut cokelat yang menjadi mainan lumba-lumba di alam bebas. Dia berharap ketiga “kata” itu menjadi dasar bagi khazanah siulan yang terus bertambah dan dikuasai oleh kedua belah pihak—awal bahasa buatan yang mungkin suatu hari nanti dapat digunakannya untuk berkomunikasi dengan lumba-lumba.

“Begitu lumba-lumba memahaminya—seperti Helen Keller yang buta tuli belajar bahasa—kami pikir prosesnya akan bertambah cepat,” kata Herzing. “Karena hewan ini makhluk sosial, pemahaman ini akan menyebar ke lumba-lumba lainnya. Seperti mengajarkan permainan kepada anak-anak.”

Herzing, 58 tahun, selalu ceria dan optimis, jenis orang yang cocok disebut “visioner”—menyiratkan genius sekaligus eksentrik. Ketika berumur 12 tahun, dia mengikuti seleksi beasiswa yang salah satu pertanyaannya: “Jika bisa, apa yang akan Anda berikan kepada dunia?” Jawabannya: “Saya akan membuat mesin penerjemah bahasa hewan sehingga kita dapat memahami pikiran makhluk lain di planet ini.”

!break!

Pada setiap sesi penyelaman untuk berinteraksi dengan lumba-lumba, kadang-kadang sampai berjam-jam, Herzing merekam semua perilaku satwa itu. Kini, rekamannya sudah mencapai ribuan jam. Bajkan, dia juga menyusun database besar berbagai bunyi subjek penelitiannya yang banyak mulut.

Di atas kapal Stenella ada pula ilmuwan terkenal lainnya, Thad Starner, profesor komputasi di Georgia Institute of Technology. Pelopor komputer yang bisa dikenakan manusia ini juga dedengkot teknis di Google, tempat dia menggarap Google Glass, kacamata yang dapat digunakan pemakainya untuk mengakses internet sambil melakukan kegiatan sehari-hari.

Starner, 45 tahun, tampak awet muda, dengan rambut pirang keriting, mata lebar, dan cambang lebat. Dia memakai Google Glass hampir sepanjang waktu dan mencatat dengan papan tik lonjong segenggaman tangan yang terpasang di tangan kirinya. Tim laboratorium Starner membuat kotak CHAT, dan dia mengikuti kapal itu selama sepuluh hari untuk melakukan pengujian teknis dan pengumpulan data.

Jika misteri komunikasi lumba-lumba dapat dipecahkan dengan cara ini, alat analisis data yang digunakan Starner dan mahasiswa bimbingannya untuk mengolah rekaman lumba-lumba Herzing jauh lebih berjasa daripada kotak komunikasi dua arah CHAT.

!break!

Mereka merancang algoritme yang secara sistematis menelaah tumpukan data yang tidak terstruktur untuk menemukan satuan dasar yang tersembunyi di dalamnya. Masukkan video orang menggunakan bahasa isyarat, dan algoritme itu menurunkan gerakan dasar dari berbagai gerakan tangan tersebut. Masukkan rekaman orang membaca nomor telepon, dan algoritme itu menemukan bahwa ada 11 angka mendasar. (Alat ini masih belum cukup cerdas untuk menyadari bahwa “kosong” dan “0” adalah angka yang sama.) Algoritme ini menemukan pola berulang yang mungkin tersamar dan sulit dicari manusia.

Sebagai tes awal, Herzing mengirimi Starner satu set bunyi yang direkamnya di dalam air tanpa memberitahukan bahwa rekaman itu siulan pengenal antara induk dan anaknya. Algoritme itu menemukan lima satuan dasar dari data tersebut, yang menunjukkan bahwa siulan pengenal itu terdiri atas beberapa komponen yang diulang dan konsisten antara induk dan anaknya, dan dapat disusun ulang dengan cara yang menarik.

“Akhirnya kami ingin memiliki kotak CHAT dengan semua satuan dasar bunyi lumba-lumba di dalamnya,” kata Starner. “Kotak itu akan menerjemahkan semua yang ditangkap sistem menjadi serangkaian simbol dan memungkinkan Denise mengirim kembali rangkaian satuan dasar bunyi yang diinginkannya. Dapatkah kami menemukan satuan dasar bunyi tersebut? Dapatkah kami membantu Denise mereproduksi satuan dasar bunyi itu? Dapatkah kami melakukan semua itu dengan cepat? Itulah tujuan akhir kami.”

 !break!

Ketika akhirnya tiba kesempatan untuk menguji kotak CHAT di lapangan, ternyata bukan sembarang lumba-lumba yang muncul di haluan Stenella. Dua lumba-lumba yang mendekati kapal itu justru yang ditunggu-tunggu Herzing sepanjang minggu: Meridian dan Nereide. Bahkan, rekaman siulan pengenal kedua lumba-lumba ini telah diprogram ke dalam kotak CHAT dengan harapan Herzing sempat menyapa keduanya dan berinteraksi dengan satwa tersebut. Benar-benar pucuk dicinta ulam tiba.

Herzing mengenal sebagian besar lumba-lumbanya sejak lahir, dan dia juga mengenal induk, bibi, bahkan neneknya. Kedua betina itu merupakan kandidat terbaik untuk penelitian Herzing. Keduanya belum pernah hamil dan masih terhitung kanak-kanak, penuh rasa ingin tahu serta masih bebas bermain dan mengeksplorasi. Kematangan seksual pada lumba-lumba totol Atlantik betina terjadi sekitar usia sembilan tahun. Jangka hidupnya bisa lebih dari 50 tahun.

Ketika Herzing menyelam ke laut dan memperdengarkan siulan pengenal Meridian untuk pertama kalinya, kedua lumba-lumba berbalik arah dan mendekat, meskipun tanpa tanda-tanda terkejut yang semestinya dirasakan oleh makhluk yang baru mendengar namanya dipanggil oleh spesies lain.

Herzing berenang dengan lengan kanannya terjulur ke muka sambil menunjuk syal merah yang dikeluarkannya dari baju renang. Dia berulang kali menekan tombol untuk “syal” pada kotak CHAT. Siulan itu naik turun, merendah lalu berakhir dengan nada tinggi, lamanya sekitar satu detik. Salah satu lumba-lumba berenang mendekat, merebut syal tersebut, lalu memindahkannya bolak-balik dari moncong ke sirip dada. Akhirnya syal itu tersampir di ekornya saat lumba-lumba itu menyelam ke dasar laut.

!break!

Saya ikut menyelam bersama Herzing, beberapa meter di belakangnya bersama mahasiswa pascasarjana yang merekam interaksi itu dengan kamera bawah air.

Saya mengira salah satu lumba-lumba pasti akan kabur dengan membawa syal, tetapi itu tidak terjadi. Meski diwarnai keraguan, keduanya tampaknya ingin berinteraksi dengan kami. Keduanya bergantian mengoper syal tersebut, mengitari kami, menghilang sambil membawa syal, lalu mengembalikannya kepada Herzing. Dia mengambil syal itu dan menyimpannya kembali ke balik baju renang lalu mengeluarkan rumput laut. Nereide menyambarnya dengan giginya lalu berenang menjauh. Kemudian, Herzing mengejarnya sambil menekan tombol siulan sargassum di kotak CHAT berkali-kali, seakan memohon dikembalikan. Namun, kedua lumba-lumba itu tidak ambil peduli.

“Tidak mustahil jika lumba-lumba menyadari bahwa kita mencoba menggunakan simbol, dia akan mencoba menunjukkan sesuatu kepada kita,” kata Herzing kemudian, sekembalinya kami ke kapal Stenella. “Atau bayangkan jika dia mulai menggunakan siulan kita yang berarti sargassum di kalangan lumba-lumba.”

Untuk saat ini itu masih mimpi di siang bolong. Kotak CHAT tidak menangkap ada lumba-lumba yang menirukan siulan sintetis itu selama pertemuan satu jam tersebut.

“Perlu pembiasaan, pembiasaan, pembiasaan,” kata Herzing. Sebuah tantangan besar bagi manusia di kapal yang hendak berkomunikasi dengan lumba-lumba liar di samudra luas.

“Hewan itu penasaran. Kelihatannya dia mulai paham. Kita tinggal menunggu ada yang terpicu menggunakannya,” katanya. “Saya masih menunggu munculnya suara di peranti dengar yang berkata, ‘Syal!’ Dari matanya sepertinya lumba-lumba tadi berpikir, mencoba menduga maksud kita. Sayang hewan itu tidak memberi umpan balik akustik.”

Umpan balik mungkin ada, hanya saja tidak dalam bentuk yang bisa kita pahami. Nereide menyampirkan sargassum di ekornya sementara dia berenang santai di air, lalu akhirnya membuang sargassum itu dan meniupkan gelembung besar.

Setelah satu jam di dalam air bersama kami, kedua lumba-lumba itu mulai kehilangan minat. Saat Nereide berbalik pergi, dia mengeluarkan satu siulan panjang misterius, menoleh ke arah kami, lalu berenang menjauh hingga hilang ditelan biru air laut.

---

Joshua Foer mengarang Moonwalking With Einstein: The Art and Science of Remembering Everything. Brian Skerry, fotografer kontributor sejak 1998, menjadi fotografer pilihan National Geographic tahun 2014.