Melacak Jejak Gading

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:11 WIB

Ketika American Museum of Natural History ingin memperbarui aula mamalia Amerika Utara, mereka menghubungi ahli taksidermi, George Dante. Dante juga pernah bertugas mengawetkan Lonesome George, kura-kura Kepulauan Galapagos yang termasyhur.

Namun, Dante, salah seorang ahli taksi­dermi yang paling dihormati di dunia, belum pernah melakukan hal yang saya minta. Belum pernah ada yang melakukannya.

Saya meminta Dante membuat gading gajah palsu yang tampilan dan teksturnya mirip gading sitaan yang dipinjamkan kepada saya oleh Dinas Perikanan dan Margasatwa AS. Saya juga me­­minta­nya untuk menanamkan GPS khusus dan sistem pelacakan berbasis satelit di dalam gading palsu tersebut. Dalam dunia kriminal, gading digunakan sebagai mata uang. Jadi, dengan kata lain, saya meminta Dante untuk mencetak uang palsu yang bisa saya telusuri keberadaannya.

Saya akan menggunakan gading itu untuk mem­buru orang-orang yang membantai kawan­an gajah dan mencari tahu jalur yang dilalui gading ini, pelabuhan mana yang di­singgahi, kapal mana yang digunakan, kota dan negara mana saja yang menjadi tempat transitnya, dan di mana gading itu pada akhir­­nya muncul. Apakah gading palsu yang dipasang sebagai umpan di negara Afrika tengah ini akan dibawa ke timur—atau ke barat—menuju pantai yang dipenuhi trans­portasi andal ke pasar Asia? Apakah gading itu akan dibawa ke utara, melintasi jalur gading paling ganas di benua Afrika? Atau apa­­kah gading itu tidak akan ke mana-mana, berhasil ditemukan lalu dibawa dan dikembali­kan oleh penemunya yang jujur?

Saat kami rencana saya tersebut, mata Dante berbinar. Untuk menguji gading ter­sebut, pedagang di pasar gelap akan menggurat gading dengan pisau atau menyalakan pemantik api di bawahnya; gading pada dasarnya adalah gigi dan tidak akan meleleh. Gading saya harus bisa meniru ciri khas gading asli. “Dan saya harus mencari cara untuk membuatnya mengilap,” kata Dante, mengacu pada kilau­an setiap gading gajah yang bersih.

“Gading itu juga harus memiliki garis Schreger, George,” ujar saya mengingatkan. Garis itu adalah garis menyilang yang ditemu­kan di dasar gading yang telah digergaji, mirip cincin pertumbuhan pada batang pohon.

Seperti sebagian besar orang di seluruh dunia, George Dante tahu bahwa gajah Afrika adalah hewan yang terancam punah. Ledakan masyarakat kelas mene­ngah di Tiongkok yang sangat menyukai gading, kemiskinan parah di Afrika, penegakan hukum yang lemah dan korup telah menciptakan badai yang sempurna. Sekitar 30.000 gajah Afrika dibantai setiap tahun. Sebagian besar gading ilegal mengalir ke Tiongkok, dan sepasang sumpit gading di situ bisa bernilai lebih dari 13 juta rupiah, sementara gading berukir dijual miliaran rupiah.

Afrika Timur sekarang menjadi lokasi per­buruan paling gencar. Pada bulan Juni, pe­merintah Tanzania mengumumkan bahwa negara itu telah kehilangan 60 persen populasi gajahnya dalam lima tahun terakhir, turun dari 110.000 ekor menjadi kurang dari 44.000 ekor. Selama periode yang sama, negara tetangganya Mozambik melaporkan telah kehilangan 48 persen populasi gajahnya. Penduduk setempat, membantai gajah demi mendapatkan uang—karena bahkan jika mereka tertangkap pun, hukumannya sering tidak ditegakkan dengan baik.

Namun, di Afrika tengah, sesuatu yang lebih jahat mendorong pembantaian ini. Milisi dan kelompok teroris, yang sebagian aktivitasnya didanai oleh penjualan gading, turut serta dalam perburuan gajah. Sering kali, hingga di luar negara tempat mereka bermarkas, dan bahkan bersembunyi di dalam taman nasional. Mereka menjarah masyarakat setempat, memperbudak orang, dan mem­bunuh polisi taman yang menghalangi aktivitas mereka.

Sudan Selatan. Republik Afrika Tengah (CAR). Republik Demokrasi Kongo (DRC). Sudan. Cad. Lima negara paling tidak stabil di dunia itu menjadi markas orang-orang yang melakukan perjalanan ke negara lain untuk berburu gajah. Tahun demi tahun, jejak sejumlah  pembantaian gajah terbesar dan paling mengerikan selalu mengarah ke Sudan, yang sudah tidak memiliki populasi gajah lagi, namun memberikan kenyamanan bagi para teroris-pemburu asing dan markas kelompok Janjaweed dan perampok lintas benua dari Sudan lainnya.

Polisi taman nasional sering kali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghadapi para pembantai ini. Walaupun kalah jumlah dan kekurangan persenjataan, mereka tetap gigih mengawal garis depan pertempuran ganas yang memengaruhi kita semua.

!break!

Korban Garamba

Taman Nasional Garamba, di sudut timur laut DRC dan berbatasan dengan Sudan Selatan, adalah Situs Warisan Dunia UNESCO, yang terkenal di dunia internasional karena me­miliki gajah dan lautan hijau yang tak berbatas. Namun, ketika saya bertanya pada anak-anak dan orang tua yang berkumpul di desa Kpaika, sekitar 50 kilometer di sebelah barat perbatasan taman, berapa banyak dari mereka yang pernah mengunjungi Garamba, tidak seorang pun mengacungkan tangan. Ketika saya bertanya, “Berapa banyak dari kalian yang pernah diculik LRA?”—barulah saya mengerti alasannya.