Melacak Jejak Gading

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:11 WIB

Selama sepuluh tahun dia tidak pernah melakukan kesalahan, ujarnya: Gading saya asli. Saya terpaksa menginap di penjara, tidur di atas meja. Produser televisi National Geographic, JJ Kelley tidur di lantai ruang tunggu. Dia meminta air untuk saya dan diantar keluar gedung. Ketika kembali beberapa jam kemudian, dia membawa tiga porsi makan malam dengan lauk ayam dan beberapa botol bir, dibelikan oleh kepala polisi. Pada pagi harinya, setelah kedatangan pejabat dari Divisi Margasatwa Tanzania dan Kedutaan AS, saya dibebaskan.

Beberapa petugas Tanzania yang mena­ngani penangkapan saya di bandara, termasuk pakar satwa liar, kembali keesokan harinya untuk mengucapkan selamat jalan. “Anda melakukan tugas yang memang seharusnya Anda lakukan,” kata saya sambil menjabat tangan mereka.

Saya merasa tenang saat mengetahui para penegak hukum Tanzania begitu waspada, karena negara itu diserang oleh perburuan liar gajah terburuk di Afrika dan korupsi yang merajalela.

Pada 2013, Khamis Kagasheki, yang saat itu menjabat sebagai menteri sumber daya alam dan pariwisata Tanzania, menuduh empat anggota DPR Tanzania terlibat.

!break!

Pejuang Garamba

Saya mendengar suara klik-klak senjata otomatis yang sedang diisi di sekeliling saya. Saya terbang dari markas taman Garamba jauh di dalam taman untuk bergabung dengan patroli anti perburuan. Saya tiba di pos polisi taman di ujung utara, yang rentan serangan para pemburu Sudan dan pasukan Kony. Di tempat ini, satu unit polisi ditempatkan secara permanen untuk melindungi salah satu aset taman yang paling berharga: sebuah menara radio yang sedang dibangun. Sejak serangan tentara Kony pada 2008-09, polisi sudah selesai membangun markas baru yang dilengkapi dua pesawat terbang dan helikopter. Namun, pasokan amunisi sangat minim dan senjata terbesar para polisi, senapan mesin, cenderung macet setelah putaran ketiga. Para polisi yang mendampingi saya dilengkapi dengan beberapa senapan AK-47 tua yang tidak dapat diandalkan yang sebagian besar hasil sitaan dari para pemburu.

Kami melakukan perjalanan selama delapan jam menembus rumput gajah—menyusuri jurang berumput, mendaki bukit yang terlihat jelas oleh musuh, melintasi sungai keruh sedalam pinggang. Polisi di depan saya, Agoyo Mbikoyo, memberi tanda hati-hati dan saya serta seluruh tim langsung berjongkok dan menunggu tanpa bersuara. Pasukan Kony dan kelompok bersenjata lainnya berjalan ratusan kilometer dari Sudan ke tirai rumput tak berujung ini untuk membantai gajah. Saya bertanya dalam hati apakah anak buah Kony kini sedang berkeliaran di dekat kami.

Jumlah terbaru kematian gajah-gajah di Garamba sangat mencengangkan. Pemburu telah membantai sedikitnya 132 ekor tahun lalu dan, hingga bulan Juni ini, polisi telah menemukan 42 bangkai lainnya yang dihiasi lubang peluru. Total kerugian lebih dari 10 persen populasi gajah di taman, yang kini diperkirakan tidak lebih dari sekitar 1.500 ekor saja.

Sejak Maret 2014 hingga Maret 2015, polisi Garamba mencatat 31 kali bentrokan dengan pemburu bersenjata. Kelompok ini antara lain Pasukan Bersenjata Sudan Selatan (SPLA) dan militer Sudan, serta pembelot dari pasukan militer tersebut, serta beraneka ragam pemberontak yang bermarkas di Sudan. Tentara Kongo pun mengancam perbatasan taman di sebelah selatan dan warga desa sekitar taman kadang juga berburu gajah. Dan seseorang—entah siapa—diyakini membunuh gajah dari helikopter, terbukti dengan adanya lubang peluru di bagian atas tengkorak gajah.

“Menurut perkiraan saya,” kata Jean Marc Froment, yang saat itu menjabat sebagai direktur taman, “militer Uganda yang sedang  beroperasi di dalam Garamba dan, pada saat yang bersamaan, mengambil beberapa ga­ding.” Namun, ujarnya menambahkan, para pemburu bisa saja SPLA, yang menggunakan jenis helikopter sama yang terlihat di atas taman. Sementara, penasihat militer Uganda menolak tuduhan teori helikopter itu.

Froment dipindahkan ke Garamba pada awal 2014 setelah beberapa polisi menemukan puluhan bangkai gajah di taman. Penugasan ini seharusnya penugasan singkat, tetapi dia melihat terlalu banyak kematian sehingga tidak bisa meninggalkan tempat itu. Dia dibesarkan tidak jauh dari Garamba pada saat masih bisa terbang di atas taman dan melihat 5.000 ekor gajah dalam sebuah kawanan besar. Sekarang, melihat 250 ekor dalam sebuah kawanan saja sudah langka.

Froment menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan bentrokan yang dialami 150 polisi Garamba dengan para pemburu. Dana sebenarnya sudah tersedia untuk melengkapi polisi dengan peralatan yang lebih baik, tetapi membeli senjata baru memerlukan persetujuan formal dari angkatan bersenjata Kongo, persetujuan yang belum berhasil diperoleh Froment.