Melacak Jejak Gading

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:11 WIB

Ketika American Museum of Natural History ingin memperbarui aula mamalia Amerika Utara, mereka menghubungi ahli taksidermi, George Dante. Dante juga pernah bertugas mengawetkan Lonesome George, kura-kura Kepulauan Galapagos yang termasyhur.

Namun, Dante, salah seorang ahli taksi­dermi yang paling dihormati di dunia, belum pernah melakukan hal yang saya minta. Belum pernah ada yang melakukannya.

Saya meminta Dante membuat gading gajah palsu yang tampilan dan teksturnya mirip gading sitaan yang dipinjamkan kepada saya oleh Dinas Perikanan dan Margasatwa AS. Saya juga me­­minta­nya untuk menanamkan GPS khusus dan sistem pelacakan berbasis satelit di dalam gading palsu tersebut. Dalam dunia kriminal, gading digunakan sebagai mata uang. Jadi, dengan kata lain, saya meminta Dante untuk mencetak uang palsu yang bisa saya telusuri keberadaannya.

Saya akan menggunakan gading itu untuk mem­buru orang-orang yang membantai kawan­an gajah dan mencari tahu jalur yang dilalui gading ini, pelabuhan mana yang di­singgahi, kapal mana yang digunakan, kota dan negara mana saja yang menjadi tempat transitnya, dan di mana gading itu pada akhir­­nya muncul. Apakah gading palsu yang dipasang sebagai umpan di negara Afrika tengah ini akan dibawa ke timur—atau ke barat—menuju pantai yang dipenuhi trans­portasi andal ke pasar Asia? Apakah gading itu akan dibawa ke utara, melintasi jalur gading paling ganas di benua Afrika? Atau apa­­kah gading itu tidak akan ke mana-mana, berhasil ditemukan lalu dibawa dan dikembali­kan oleh penemunya yang jujur?

Saat kami rencana saya tersebut, mata Dante berbinar. Untuk menguji gading ter­sebut, pedagang di pasar gelap akan menggurat gading dengan pisau atau menyalakan pemantik api di bawahnya; gading pada dasarnya adalah gigi dan tidak akan meleleh. Gading saya harus bisa meniru ciri khas gading asli. “Dan saya harus mencari cara untuk membuatnya mengilap,” kata Dante, mengacu pada kilau­an setiap gading gajah yang bersih.

“Gading itu juga harus memiliki garis Schreger, George,” ujar saya mengingatkan. Garis itu adalah garis menyilang yang ditemu­kan di dasar gading yang telah digergaji, mirip cincin pertumbuhan pada batang pohon.

Seperti sebagian besar orang di seluruh dunia, George Dante tahu bahwa gajah Afrika adalah hewan yang terancam punah. Ledakan masyarakat kelas mene­ngah di Tiongkok yang sangat menyukai gading, kemiskinan parah di Afrika, penegakan hukum yang lemah dan korup telah menciptakan badai yang sempurna. Sekitar 30.000 gajah Afrika dibantai setiap tahun. Sebagian besar gading ilegal mengalir ke Tiongkok, dan sepasang sumpit gading di situ bisa bernilai lebih dari 13 juta rupiah, sementara gading berukir dijual miliaran rupiah.

Afrika Timur sekarang menjadi lokasi per­buruan paling gencar. Pada bulan Juni, pe­merintah Tanzania mengumumkan bahwa negara itu telah kehilangan 60 persen populasi gajahnya dalam lima tahun terakhir, turun dari 110.000 ekor menjadi kurang dari 44.000 ekor. Selama periode yang sama, negara tetangganya Mozambik melaporkan telah kehilangan 48 persen populasi gajahnya. Penduduk setempat, membantai gajah demi mendapatkan uang—karena bahkan jika mereka tertangkap pun, hukumannya sering tidak ditegakkan dengan baik.

Namun, di Afrika tengah, sesuatu yang lebih jahat mendorong pembantaian ini. Milisi dan kelompok teroris, yang sebagian aktivitasnya didanai oleh penjualan gading, turut serta dalam perburuan gajah. Sering kali, hingga di luar negara tempat mereka bermarkas, dan bahkan bersembunyi di dalam taman nasional. Mereka menjarah masyarakat setempat, memperbudak orang, dan mem­bunuh polisi taman yang menghalangi aktivitas mereka.

Sudan Selatan. Republik Afrika Tengah (CAR). Republik Demokrasi Kongo (DRC). Sudan. Cad. Lima negara paling tidak stabil di dunia itu menjadi markas orang-orang yang melakukan perjalanan ke negara lain untuk berburu gajah. Tahun demi tahun, jejak sejumlah  pembantaian gajah terbesar dan paling mengerikan selalu mengarah ke Sudan, yang sudah tidak memiliki populasi gajah lagi, namun memberikan kenyamanan bagi para teroris-pemburu asing dan markas kelompok Janjaweed dan perampok lintas benua dari Sudan lainnya.

Polisi taman nasional sering kali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghadapi para pembantai ini. Walaupun kalah jumlah dan kekurangan persenjataan, mereka tetap gigih mengawal garis depan pertempuran ganas yang memengaruhi kita semua.

!break!

Korban Garamba

Taman Nasional Garamba, di sudut timur laut DRC dan berbatasan dengan Sudan Selatan, adalah Situs Warisan Dunia UNESCO, yang terkenal di dunia internasional karena me­miliki gajah dan lautan hijau yang tak berbatas. Namun, ketika saya bertanya pada anak-anak dan orang tua yang berkumpul di desa Kpaika, sekitar 50 kilometer di sebelah barat perbatasan taman, berapa banyak dari mereka yang pernah mengunjungi Garamba, tidak seorang pun mengacungkan tangan. Ketika saya bertanya, “Berapa banyak dari kalian yang pernah diculik LRA?”—barulah saya mengerti alasannya.

Pendeta Ernest Sugule yang bertugas di desa tersebut bercerita bahwa banyak anak di keuskupannya pernah melihat anggota keluarga mereka dibunuh oleh Lord’s Resistance Army (LRA, Pasukan Perlawanan Tuhan), kelompok pemberontak Uganda yang dipimpin oleh Joseph Kony, salah seorang teroris Afrika yang paling diburu. Sugule adalah pendiri kelompok yang memberikan bantuan kepada korban kebiadaban pasukan Kony. “Saya bertemu dengan lebih dari seribu anak yang diculik,” katanya. “Ketika diculik, mereka masih sangat kecil dan dipaksa melakukan hal-hal yang mengerikan. Sebagian besar dari anak-anak itu sangat traumatis saat pulang ke rumah.”

Mereka mengalami mimpi buruk, ujar Sugule melanjutkan. Mereka sering dihantui pengalaman mengerikan itu. Keluarga mereka sendiri takut anak-anak yang mungkin saja membunuh mereka di malam hari. Semua ber­asumsi bahwa anak-anak perempuan telah diperkosa, sehingga sulit bagi mereka untuk menemukan suami. Penduduk desa terkadang mengejek anak-anak yang pulang dengan julukan sama yang digunakan untuk anak buah Kony: “LRA Tongo Tongo.” “LRA Tebas Tebas”—mengacu pada penggunaan parang yang sadis oleh para militan, ujar Sugule menjelaskan.

Kony memiliki misi menggulingkan pemerintah Uganda atas nama warga Acholi dari Uganda utara. Sejak 1980-an, anak buah Kony diduga telah menewaskan puluhan ribuan orang, menyayat bibir, telinga, dan payudara kaum wanita, memperkosa anak-anak dan perempuan. Mereka memotong kaki orang-orang yang tertangkap basah me­ngendarai sepeda, dan menculik anak laki-laki untuk dipaksa menjadi tentara bocah.

Pada 1994, Kony memimpin kelompok pem­­bunuhnya meninggalkan Uganda. Mula-mula dia ke Sudan. Pada saat itu Sudan utara dan selatan sedang terlibat perang saudara dan Kony menawarkan cara untuk mengacaukan daerah selatan kepada peme­rintah Sudan di Khartoum. Selama sepuluh tahun, Khartoum memasok makanan, obat-obatan, dan persenjataan, termasuk senapan otomatis, senapan antipesawat, roket granat, dan mortir kepadanya. Berkat upaya kelompok Invisible Children dan videonya, Kony 2012, Kony menjadi terkenal di dunia Barat. Departemen Luar Negeri AS menyebut Kony sebagai “teroris dunia paling berbahaya” pada 2008 dan Uni Afrika telah mencap LRA sebagai organisasi teroris.

Ketika Sudan utara dan selatan me­nandatangani perjanjian damai pada 2005, Kony kehilangan dukungan dari pemerintah Sudan. Pada Maret 2006, dia melarikan diri ke DRC dan mendirikan markasnya di Taman Nasional Garamba, yang saat itu dihuni oleh sekitar 4.000 ekor gajah. Dari Garamba, Kony mengisyaratkan keinginannya untuk berdamai dengan Uganda. Sementara dia dan anak buahnya tinggal tanpa gangguan di dalam dan di sekitar taman. Kony mengundang pers asing ke markasnya. Anak buah­nya menyeberang ke CAR dan di situ mereka menculik ratusan anak kecil dan menjadikan kaum wanita sebagai budak seks.

Pendeta Sugule memperkenalkan saya dengan tiga gadis muda, korban penculikan LRA terbaru. Geli Oh, 16, menghabiskan dua setengah tahun yang mengerikan dengan pasukan Kony. Dia melihat banyak gajah di Taman Nasional Garamba. “Mereka mengatakan, semakin banyak gajah yang mereka bunuh, semakin banyak gading yang mereka dapatkan.”

Kekuatan pasukan Kony telah berkurang, dari puncaknya sebanyak 2.700 orang pada 1999 menjadi hanya sekitar 150 sampai 250 tentara inti. Pembunuhan warga sipil juga telah berkurang, dari 1.252 orang pada 2009 hingga hanya 13 orang pada 2014, tetapi aktivitas penculikan meningkat kembali. Di sejumlah desa, saya bertemu dengan sejumlah korban Kony yang menceritakan mereka diberi makan daging gajah dan bagaimana, setelah gajah dibunuh, pasukan militan itu mengambil gadingnya.

Namun, dibawa ke mana?

!break!

Pemecahan Masalah

Untuk mengikuti gading palsu saya dari hutan ke tujuan akhirnya, saya membutuhkan alat pelacak yang mampu memancarkan lokasinya, di mana pun gading itu berada.

Alat itu harus tahan lama dan cukup kecil untuk dimasukkan ke dalam rongga di dalam blok resin dan timah yang menjadi bahan dasar gading. Quintin Kermeen, 51, tinggal di California, memiliki pengalaman.Kermeen membuat kerah dan pelacak elektronik untuk satwa liar, mulai dari beruang Andes (Tremarctos ornatus) hingga burung kondor California (Gymnogyps californianus) sampai Setan Tasmania (Sarcophilus harrisii). Kami berkenalan melalui Skype.

“Anda pasti benar-benar penyayang binatang,” kata saya.

“Saya bukan penyayang binatang,” tukasnya. “Saya pemecah masalah.”

Saya tertawa. “Kalau begitu, Anda adalah orang yang saya cari.”

Usai berbulan-bulan mengotak-atik, perangkat pelacak gading buatan Kermeen akhirnya tiba lewat pos. Terdiri atas baterai yang mampu bertahan lebih dari satu tahun, penerima sinyal GPS, penerima pemancar satelit Iridium, dan sensor suhu.

Saat Dante hendak menanamkan pelacak Kermeen ke dalam cetakan gadingnya, anggota tim ketiga, John Flaig, spesialis fotografi jarak-dekat berbasis balon, bersiap untuk memantau pergerakan gading. Dia bisa menyesuaikan berapa kali dalam sehari komunikasi dilakukan dengan satelit itu melalui internet. Kami mengikuti perjalanan gading dengan menggunakan Google Earth.

!break!

“Saya perlu gading untuk membeli amunisi”

Pada 11 September 2014, Michael Onen, seorang sersan pasukan Kony, berjalan keluar dari Taman Nasional Garamba sambil me­nyandang senapan AK-47. Dia duduk di seberang saya di markas pasukan Uni Afrika di Obo, di sudut tenggara CAR, tempat dia ditahan. Onen terlibat dalam operasi perburuan ga­ding LRA di Garamba yang beranggotakan 41 orang tentara, termasuk anak Kony bernama Salim. Operasi ini dirancang langsung oleh Kony, begitu Onen bercerita. Selama musim panas, pasukan Kony berhasil membantai 25 ekor gajah di Garamba dan mereka sedang dalam perjalanan pulang membawa gading tersebut.

Di sekeliling kami, tampak sejumlah tentara Uganda yang membentuk seluruh kontingen Uni Afrika yang berbasis di Obo dan bertekad untuk menemukan serta membunuh Kony. Para prajurit menyambut Onen sebagai salah satu dari kalangan mereka sendiri dan, pada dasarnya, memang begitu. Usianya 22 tahun pada malam di tahun 1998 ketika tentara Kony menyerbu desanya di Gulu, Uganda, dan menyeretnya dari tempat tidurnya. Istrinya, yang diculik setelah dia, tewas dibunuh.

Kata Onen, alih-alih ditugaskan sebagai prajurit, dia dipercaya menjadi pemberi tanda—awak radio yang mengetahui semua komunikasi rahasia Kony.

Selama pembicaraan perdamaian dengan pemerintah Uganda yang menemui jalan buntu, saat Kony bersembunyi di Garamba pada periode 2006-2008, Onen ditugasi membantu ahli negosiasi perdamaian utama dari pihak Kony yang bernama Vincent Otti. Otti menyukai gajah, kata Onen, dan melarang orang membunuh hewan itu. Namun, setelah Otti meninggalkan Garamba untuk berpartisipasi dalam pembicaraan perdamaian, Kony mulai membunuhi gajah untuk mengambil gadingnya.

Otti marah, kata Onen. “Mengapa kamu menimbun gading?” tanya Otti kepada Kony. “Kamu tidak tertarik dengan pembicaraan perdamaian?”

Tidak, saya perlu gading untuk membeli amunisi untuk terus berperang, itulah jawaban Kony, menurut Onen. “Gading berfungsi sebagai rekening tabungan bagi Kony,” kata Marty Regan dari Departemen Luar Negeri AS. “Hanya gading yang dapat membuat LRA tetap kuat,” itulah kata Kony.

Alih-alih menandatangani perjanjian perdamaian, Kony memerintahkan ahli negosiasi perdamaiannya dihukum mati.

Dari Garamba, Kony mengirim tim ke Darfur untuk berusaha menjalin hubungan baru dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Dia berharap menukar gading de­ngan granat berpeluncur roket dan senjata lainnya. Sementara itu, menurut Onen, anak buah Kony menyembunyikan gading dengan menguburnya dalam tanah atau merendamnya di sungai. Ceritanya dikuatkan oleh Caesar Achellam, mantan kepala intelijen Kony yang kini ditahan pemerintah Uganda. “Me­reka bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan saat ini,” katanya, “dan menyimpannya di situ selama dua, tiga, atau bahkan lebih dari lima tahun.”

Pasukan Uganda akhirnya menyerang markas Kony di Garamba pada akhir 2008. Serangan udara didukung DRC, Sudan Selatan, dan Amerika Serikat. Namun, serangan itu gagal menghancurkan Kony atau menggulingkan kepemimpinannya. Balasan Kony berlangsung cepat dan buas. Tentaranya menyebar dalam beberapa tim kecil dan membunuhi warga sipil. Dalam waktu tiga minggu, anak buah Kony membantai lebih dari 800 orang dan menculik lebih dari 160 orang anak.

Badan pengungsi PBB memperkirakan pembantaian itu menyebabkan 130.000 warga Kongo dan 10.000 warga Sudan terusir dari kampung halaman mereka. Enam tahun kemudian, pada 25 Oktober 2014, begitu cerita Onen, misi perburuan gajahnya di Garamba dijadwalkan mengirim gading kepada Kony di Sudan. Onen bercerita bahwa Kony berencana membawa gading ke Songo, kota pasar di Darfur, tak jauh dari garnisun Angkatan Bersenjata Sudan di Dafaq. Di tempat itu, menurut Onen, anak buah Kony menukar gading dengan garam, gula, dan persenjataan dengan militer Sudan. Hubungan mereka akrab: “SAF selalu memperingatkan Kony jika ada masalah,” kata Onen.

Sepengetahuan Onen, kelompok pemburu yang ditinggalkannya masih suka melakukan perjalanan ke utara dari Garamba melalui CAR menuju Sudan. Menurut saya, tampak­nya cukup masuk akal untuk mengatakan bahwa pembelotan awak radio ini mungkin telah memperlambat perjalanan pengiriman 25 gading gajah kepada Kony.

Mungkin saya juga bisa mengirimkan gading palsu saya kepada Kony.

!break!

“Kamu bohong!”

Seorang pejabat di Bandara Internasional Dar es Salaam, Tanzania—salah satu dari beberapa negara yang saya bidik untuk memasukkan gading palsu saya ke perdagangan ilegal—menatap layar sinar-x saat koper saya bergulir melewati alat pemindai.

“Buka koper itu,” perintahnya.

Saya membuka koper untuk memper­lihatkan dua gading palsu dan menyerahkan surat dari Dinas Perikanan dan Margasatwa AS serta National Geographic yang me­nyata­kan bahwa gading ini palsu.

Orang-orang mulai berkerumun. Petugas bandara dan pemerintahan saling menuduh dan berdebat. Orang-orang yang melihat gading itu pasti berpikir saya pedagang gading. Mereka yang dapat melihat layar sinar-x, yang menunjukkan alat pelacak di dalamnya, berpikir saya menyelundupkan bom. Setelah perdebatan sengit selama lebih dari satu jam, mereka menelepon pakar satwa liar bandara. Ketika muncul, dia meraih gading dan menyentuh bagian bawah gading tersebut. “Garis Schreger,” katanya.

“Betul,” kata saya. “Saya meminta mereka...”

Dia menunjuk saya dan berteriak, “Kamu bohong, bwana!” (Bwana adalah bahasa Swahili untuk ‘Sir’”).

Selama sepuluh tahun dia tidak pernah melakukan kesalahan, ujarnya: Gading saya asli. Saya terpaksa menginap di penjara, tidur di atas meja. Produser televisi National Geographic, JJ Kelley tidur di lantai ruang tunggu. Dia meminta air untuk saya dan diantar keluar gedung. Ketika kembali beberapa jam kemudian, dia membawa tiga porsi makan malam dengan lauk ayam dan beberapa botol bir, dibelikan oleh kepala polisi. Pada pagi harinya, setelah kedatangan pejabat dari Divisi Margasatwa Tanzania dan Kedutaan AS, saya dibebaskan.

Beberapa petugas Tanzania yang mena­ngani penangkapan saya di bandara, termasuk pakar satwa liar, kembali keesokan harinya untuk mengucapkan selamat jalan. “Anda melakukan tugas yang memang seharusnya Anda lakukan,” kata saya sambil menjabat tangan mereka.

Saya merasa tenang saat mengetahui para penegak hukum Tanzania begitu waspada, karena negara itu diserang oleh perburuan liar gajah terburuk di Afrika dan korupsi yang merajalela.

Pada 2013, Khamis Kagasheki, yang saat itu menjabat sebagai menteri sumber daya alam dan pariwisata Tanzania, menuduh empat anggota DPR Tanzania terlibat.

!break!

Pejuang Garamba

Saya mendengar suara klik-klak senjata otomatis yang sedang diisi di sekeliling saya. Saya terbang dari markas taman Garamba jauh di dalam taman untuk bergabung dengan patroli anti perburuan. Saya tiba di pos polisi taman di ujung utara, yang rentan serangan para pemburu Sudan dan pasukan Kony. Di tempat ini, satu unit polisi ditempatkan secara permanen untuk melindungi salah satu aset taman yang paling berharga: sebuah menara radio yang sedang dibangun. Sejak serangan tentara Kony pada 2008-09, polisi sudah selesai membangun markas baru yang dilengkapi dua pesawat terbang dan helikopter. Namun, pasokan amunisi sangat minim dan senjata terbesar para polisi, senapan mesin, cenderung macet setelah putaran ketiga. Para polisi yang mendampingi saya dilengkapi dengan beberapa senapan AK-47 tua yang tidak dapat diandalkan yang sebagian besar hasil sitaan dari para pemburu.

Kami melakukan perjalanan selama delapan jam menembus rumput gajah—menyusuri jurang berumput, mendaki bukit yang terlihat jelas oleh musuh, melintasi sungai keruh sedalam pinggang. Polisi di depan saya, Agoyo Mbikoyo, memberi tanda hati-hati dan saya serta seluruh tim langsung berjongkok dan menunggu tanpa bersuara. Pasukan Kony dan kelompok bersenjata lainnya berjalan ratusan kilometer dari Sudan ke tirai rumput tak berujung ini untuk membantai gajah. Saya bertanya dalam hati apakah anak buah Kony kini sedang berkeliaran di dekat kami.

Jumlah terbaru kematian gajah-gajah di Garamba sangat mencengangkan. Pemburu telah membantai sedikitnya 132 ekor tahun lalu dan, hingga bulan Juni ini, polisi telah menemukan 42 bangkai lainnya yang dihiasi lubang peluru. Total kerugian lebih dari 10 persen populasi gajah di taman, yang kini diperkirakan tidak lebih dari sekitar 1.500 ekor saja.

Sejak Maret 2014 hingga Maret 2015, polisi Garamba mencatat 31 kali bentrokan dengan pemburu bersenjata. Kelompok ini antara lain Pasukan Bersenjata Sudan Selatan (SPLA) dan militer Sudan, serta pembelot dari pasukan militer tersebut, serta beraneka ragam pemberontak yang bermarkas di Sudan. Tentara Kongo pun mengancam perbatasan taman di sebelah selatan dan warga desa sekitar taman kadang juga berburu gajah. Dan seseorang—entah siapa—diyakini membunuh gajah dari helikopter, terbukti dengan adanya lubang peluru di bagian atas tengkorak gajah.

“Menurut perkiraan saya,” kata Jean Marc Froment, yang saat itu menjabat sebagai direktur taman, “militer Uganda yang sedang  beroperasi di dalam Garamba dan, pada saat yang bersamaan, mengambil beberapa ga­ding.” Namun, ujarnya menambahkan, para pemburu bisa saja SPLA, yang menggunakan jenis helikopter sama yang terlihat di atas taman. Sementara, penasihat militer Uganda menolak tuduhan teori helikopter itu.

Froment dipindahkan ke Garamba pada awal 2014 setelah beberapa polisi menemukan puluhan bangkai gajah di taman. Penugasan ini seharusnya penugasan singkat, tetapi dia melihat terlalu banyak kematian sehingga tidak bisa meninggalkan tempat itu. Dia dibesarkan tidak jauh dari Garamba pada saat masih bisa terbang di atas taman dan melihat 5.000 ekor gajah dalam sebuah kawanan besar. Sekarang, melihat 250 ekor dalam sebuah kawanan saja sudah langka.

Froment menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan bentrokan yang dialami 150 polisi Garamba dengan para pemburu. Dana sebenarnya sudah tersedia untuk melengkapi polisi dengan peralatan yang lebih baik, tetapi membeli senjata baru memerlukan persetujuan formal dari angkatan bersenjata Kongo, persetujuan yang belum berhasil diperoleh Froment.

Seluruh Afrika Tengah bagaikan sebuah granat tangan, pin telah ditarik oleh sejarah eksploitasi sumber daya dari luar negeri, kediktatoran, dan kemiskinan.

“Masalah perburuan adalah masalah pemerintahan,” ujar Froment. “Kami melin­dungi gajah untuk melindungi taman. Kami melindungi taman untuk memberikan sesuatu yang bernilai kepada masyarakat setempat.” Dia berjuang untuk gajah karena dia tahu bahwa tanpa kehadiran hewan ini, tidak ada yang akan mendukung Garamba, dan taman—yang disebutnya sebagai “jantung Afrika”—akan lenyap dari permukaan bumi. Garamba adalah taman yang terancam di dalam sebuah negara yang sering terlibat dalam perang saudara di daerah yang nyaris melupakan kata perdamaian.

Saat berpatroli, kami tidak bertemu dengan para pemburu atau kelompok pemberontak. Namun, beberapa bulan kemudian, pada 25 April 2015, ketika sedang berpatroli, Agoyo Mbikoyo ditembak dan dibunuh oleh sekelompok pemburu. Pada bulan Juni, tiga petugas lain yang bertugas di Garamba pun tewas terbunuh.

!break!

Menanamkan gading palsu

Setelah mengunjungi Garamba, saya be­rencana bersama sumber yang dirahasiakan untuk menyelundupkan gading saya ke pa­sar gelap di dekat Mboki, desa kecil di te­ngah-tengah CAR, antara Garamba dan Sudan. Kawasan itu menjadi target serangan tentara Kony dan tempat perlindungan bagi sejumlah orang yang melarikan diri dari Kony. Desa ini berada di jalur gading menuju ke markas Kony di Darfur.

Sasaran yang tidak menyadari

Waktu menunjukkan pukul 4 pagi di bukit Heban, di Cad, 130 km dari perbatasan Sudan dan 100 km sebelah timur laut dari Taman Nasional Zakouma, kawasan hunian kawanan gajah terbesar yang tersisa di negara itu, 450 ekor. Enam polisi anti perburuan dan juru masaknya, sudah mengenakan seragam, bersiap melakukan salat subuh. Saat itu musim hujan dan, para polisi, seperti gajah yang mereka jaga, meninggalkan taman menuju tempat yang lebih tinggi.

Selama musim hujan, taman lebih terlihat seperti sebuah danau dan gajah terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindari banjir. Satu kelompok bergerak ke arah utara menuju Heban, kelompok lainnya menuju barat ke Cad tengah.

Polisi taman tidak memiliki alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan mereka. Mereka menggantikan tim yang menyerbu kamp pemburu Sudan tiga minggu yang lalu dan menyita lebih dari seribu amunisi; ponsel berisi banyak foto bangkai gajah; dua ga­ding gajah; dan seragam dengan lambang Abu Tira—Polisi Cadangan Pusat Sudan yang sudah terkenal.

Mereka diduga telah melakukan pem­bantaian massal, serangan, dan perkosaan di Darfur. Polisi taman pun menemukan izin cuti militer Sudan yang sudah dicap, memberikan izin kepada tiga tentara untuk melakukan perjalanan dari Darfur ke sebuah kota di dekat perbatasan Cad.

Taman Nasional Zakouma telah ke­hilangan hampir 90 persen populasi gajahnya sejak 2002. Sebagian besar—hingga 3.000 ekor—diburu sejak 2005 sampai 2008. Selama periode itu, para pemburu Sudan berdatangan dalam kelompok yang anggotanya lebih dari selusin orang bersenjata, berkemah di taman selama berbulan-bulan pada satu waktu. Dalam satu kesempatan 64 ekor gajah terbantai dalam sebuah perburuan.

Ketika pada 2008, Wildlife Conservation Society mendatangkan pesawat pengintai, perburuan menurun. Tetapi, perampok Sudan mampu menata diri, kembali dalam kelompok pemburu beranggotakan kurang dari enam orang, yang menyusup dari luar taman untuk berburu selama satu hari.

Anggota berasumsi bahwa setelah serangan tim sebelumnya, para pemburu melarikan diri ke kampung halaman masing-ma­sing. Namun, yang terjadi justru sebalik­nya, pagi itu para pemburu bersembunyi di antara pepohonan di sekitar kamp polisi. Mereka melepaskan tembakan, menewaskan lima orang polisi taman. Polisi keenam, seorang pengintai muda, berlari menuruni bukit, menghilang, dan diperkirakan tewas. Juru masak tim juga terluka, berjalan sejauh 18 km untuk mendapatkan bantuan. Bukti menunjukkan bahwa mereka anggota Angkatan Bersenjata Sudan pimpinan Presiden Omar al-Bashir.

!break!

Keterlibatan Sudan

Pada 2012, seratus pemburu Sudan dan Cad berkuda melintasi Afrika tengah menuju Taman Nasional Bouba Ndjidah di Kamerun. Mereka mendirikan kemah dan berburu selama empat bulan, membantai hingga 650 ekor gajah. Para pemburu itu kemungkinan besar berasal dari suku Rizeigat di Darfur, yang memiliki hubungan dengan Janjaweed—milisi Sudan ganas yang didukung pemerintah dan telah melakukan beraneka kekejaman di Darfur. Fakta bahwa militer Sudan melakukan barter senjata dengan gading dari LRA me­nimbulkan pertanyaan tentang tingkat tertinggi pemerintahan Sudan.

Pada 2009, Bashir menjadi kepala negara pertama yang masih menjabat di dunia yang didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag untuk ke­jahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Saat menyajikan kasus ter­sebut, jaksa ICC Luis Moreno-Ocampo meng­garisbawahi kekuasaan Bashir dalam me­ngendalikan kelompok yang diduga berada di belakang perdagangan gading Sudan: “Dia memanfaatkan tentara, dia mempekerjakan Milisi/Janjaweed. Mereka semua tunduk kepadanya, mereka semua mematuhinya. Kekuasaannya mutlak.”

Michael Onen, pembelot dari pasukan Kony, bercerita bahwa LRA dan Janjaweed berperang untuk memperebutkan gading, dengan saling merampok. Keberhasilan Janjaweed dalam perdagangan gadinglah yang awalnya memberi gagasan kepada Kony untuk membantai gajah. LRA menjual gading ke Angkatan Bersenjata Sudan, kata Onen.

Meskipun Sudan berperan sebagai tempat perlindungan bagi kelompok yang dikenal memperdagangkan gading, seperti LRA, Janjaweed, dan kelompok pemburu lainnya, negara ini tidak terlalu menarik perhatian sebagai negara pemburu. Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (Endangered Species of Wild Fauna dan Flora, CITES), yang mengatur perjanjian internasional perdagangan gading—dan larangan yang masih berlaku—mengidentifikasi delapan negara yang menjadi “perhatian utama” terkait perdagangan gading internasional.

Negara itu meliputi: Tiongkok, Kenya, Malaysia, Filipina, Thailand, Uganda, Tanzania, dan Vietnam. Delapan negara lain­nya dipandang menjadi perhatian sekunder: Kamerun, Kongo, DRC, Mesir, Etiopia, Gabon, Mozambik, dan Nigeria. Tiga negara lainnya digolongkan sebagai “penting untuk diawasi”: Angola, Kamboja, dan Laos.

Sudan tidak berada dalam daftar ini, meskipun pemburu Sudan adalah alasan utama gajah dibantai di beberapa negara yang dicantumkan oleh CITES sebagai perhatian utama atau sekunder. Menurut Sekretaris Jenderal CITES John Scanlon, Sudan tidak muncul di dalam daftar ini karena CITES menentukan prioritas terutama berdasarkan pada penangkapan gading dan tidak banyak penangkapan gading terkait dengan Sudan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan: Jika gading diburu oleh warga Sudan, ke mana perginya?

!break!

Tempat persembunyian Kony

Gading palsu saya tidak bergerak dari tempatnya selama beberapa minggu, gading itu dilambangkan oleh sepasang titik biru berbentuk air mata di layar komputer saya yang sekarang menampilkan peta digital sudut timur CAR.

Kemudian, sepasang titik biru itu bergeser beberapa kilometer. Tiba-tiba mereka bergerak terus ke utara, sekitar 20 km per hari menyusuri perbatasan Sudan Selatan, menghindari semua jalanan. Pada hari ke-15, setelah pertama kali bergerak, gading palsu itu masuk ke Sudan Selatan dan dari sana menyusuri jalan menuju kantong Kafia Kingi, sebuah wilayah sengketa di Darfur yang dikendalikan oleh Sudan.

Kafia Kingi sangat dikenal sebagai tempat persembunyian Kony sehingga pada April 2013, sebuah koalisi, termasuk Invisible Children, Enough Project, dan Resolve, menerbitkan laporan berjudul “Tersembunyi dari Penglihatan: Penampungan LRA oleh Sudan di Kantong Kafia Kingi, 2009-2013.”  “Berita bawa Kony berada di Sudan sudah bukan rahasia lagi,” kata Marty Regan dari Departemen Luar Negeri. “Itu memang tempat perlindungannya.”

Beberapa hari kemudian, gading itu melanjutkan perjalanan ke Songo, sebuah kota pasar Sudan, yang menurut Onen adalah tempat anak buah Kony menjual gadingnya. Di Songo, gading itu menetap selama tiga hari di tempat yang tampak seperti tempat terbuka di luar kota. Kemudian, gading itu kembali bergerak 10 km ke selatan, kembali ke Kafia Kingi.

Setelah tiga minggu berlalu, gading berbelok ke utara lagi, kembali ke Sudan. Dengan pergerakan yang lebih cepat, gading itu menuju ke utara sebelum tiba-tiba berbalik ke timur, menuju Khartoum.

Seleka merupakan nama koalisi pem­berontak ganas yang menggulingkan pe­merintah CAR pada 24 Maret 2013. Saingan­nya, anti-Balaka, sering membakar orang, melemparkan mereka dari jembatan, dan membunuh sesuka hati, mengubah CAR menjadi negara tanpa hukum—tempat yang membuat kelompok Kony dan organisasi teroris lainnya tumbuh subur. Pada Mei 2013, para pemburu Sudan yang didukung Seleka menyerang Dzanga Bai, oasis gajah di Taman Nasional Dzanga-Ndoki, barat daya CAR, membantai 26 ekor gajah. Dzanga Bai, yang juga dikenal sebagai kampung gajah—adalah kubangan lumpur kaya mineral tempat hewan-hewan berkumpul.

Pada awal tahun ini, Kony ditinggalkan oleh komandan operasinya, Dominic Ong­wen, yang mengatakan pada Pasukan Uni Afri­ka bahwa keinginan Kony untuk ber­dagang gading didukung oleh Seleka. “Pemberontak Seleka memiliki persediaan sekitar 300 ga­ding yang telah mereka jual untuk men­dapatkan pasokan persenjataan yang mem­bantu mereka menggulingkan Presiden CAR François Bozizé,” kata Ongwen kepada pasukan Uni Afrika. Dia menyampaikan a­rah­an yang pernah didengarnya.

Ongwen mengatakan Kony berencana untuk mendapatkan gading sebanyak mungkin “agar mampu bertahan hidup di masa depan jika dia tidak dapat meng­gulingkan pemerintah Uganda.”

Ongwen juga mengatakan Kony bermaksud membentuk pasukan untuk menjalin kontak dengan Boko Haram, kelompok te­roris Nigeria, yang bertanggung jawab atas pembunuhan dan penculikan ratusan pe­rempuan Nigeria. Boko Haram juga meng­gunakan alam liar sebagai markasnya—Hutan Sambisa di Nigeria, suaka margasatwa di selatan Danau Cad.

Pada Maret 2015, pemimpin Boko Haram, Abubakar Shekau, berjanji setia kepada ISIS dan kelompoknya berganti nama menjadi Negara Islam di Provinsi Afrika Barat, se­hingga memberikan daerah baru di Afrika Barat untuk kelompok teroris Timur Tengah.

!break!

Ke mana berikutnya?

Saat menuliskan artikel ini, gading palsu saya mengirimkan komunikasi terakhirnya dari sebuah kota di Sudan bernama Ed Daein, 800 km sebelah barat daya Khartoum.

Saya tahu rumah yang menampung gading itu: Dengan menggunakan Google Earth, saya melihat atap berwarna biru di layar saya. Gading itu berada di tempat yang bersuhu 1,2 derajat Celcius lebih dingin daripada suhu kamar. Sejauh ini gading palsu itu telah melakukan perjalanan sejauh 950 km dari hutan ke gurun, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Jalurnya konsisten dengan rute gading yang diceritakan pembelot Kony kepada saya, menuju markas panglima perang di Kafia Kingi. Pada saat Anda membaca artikel ini, gading saya mungkin telah melanjutkan perjalanannya ke Khartoum, ibu kota Sudan. Atau, bahkan mungkin muncul di ne­gara pengonsumsi terbesar gading ilegal ini: Tiongkok.

Sementara itu, saat para pemimpin di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat menyusun strategi tentang cara meng­hentikan jaringan organisasi teroris internasional yang terus meluas ini, di suatu tempat di Afrika, seorang polisi taman berdiri di posnya, menenteng senapan AK-47 dan beberapa butir peluru, menjaga garis depan mewakili kita semua.

---

Investigasi Khusus National Geographic: Kisah ini meluncurkan Unit Investigasi Khusus National Geographic Society, yang akan melaporkan kejahatan terkait margasatwa. Proyek ini didukung oleh hibah dari Woodtiger Fund

“Penugasan ini menarik bagi saya karena bukan sekadar cerita eksploitasi hewan,” kata penulis Bryan Christy, “Ini kisah perang yang tak pernah terungkap.”

Brent Stirton meraih berbagai peng­­hargaan untuk karya investigasinya. Para informan dalam cerita ini “merasa nyaman meng­ungkapkan kehidupan mereka,” katanya.