Melacak Jejak Gading

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:11 WIB

Anggota berasumsi bahwa setelah serangan tim sebelumnya, para pemburu melarikan diri ke kampung halaman masing-ma­sing. Namun, yang terjadi justru sebalik­nya, pagi itu para pemburu bersembunyi di antara pepohonan di sekitar kamp polisi. Mereka melepaskan tembakan, menewaskan lima orang polisi taman. Polisi keenam, seorang pengintai muda, berlari menuruni bukit, menghilang, dan diperkirakan tewas. Juru masak tim juga terluka, berjalan sejauh 18 km untuk mendapatkan bantuan. Bukti menunjukkan bahwa mereka anggota Angkatan Bersenjata Sudan pimpinan Presiden Omar al-Bashir.

!break!

Keterlibatan Sudan

Pada 2012, seratus pemburu Sudan dan Cad berkuda melintasi Afrika tengah menuju Taman Nasional Bouba Ndjidah di Kamerun. Mereka mendirikan kemah dan berburu selama empat bulan, membantai hingga 650 ekor gajah. Para pemburu itu kemungkinan besar berasal dari suku Rizeigat di Darfur, yang memiliki hubungan dengan Janjaweed—milisi Sudan ganas yang didukung pemerintah dan telah melakukan beraneka kekejaman di Darfur. Fakta bahwa militer Sudan melakukan barter senjata dengan gading dari LRA me­nimbulkan pertanyaan tentang tingkat tertinggi pemerintahan Sudan.

Pada 2009, Bashir menjadi kepala negara pertama yang masih menjabat di dunia yang didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag untuk ke­jahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Saat menyajikan kasus ter­sebut, jaksa ICC Luis Moreno-Ocampo meng­garisbawahi kekuasaan Bashir dalam me­ngendalikan kelompok yang diduga berada di belakang perdagangan gading Sudan: “Dia memanfaatkan tentara, dia mempekerjakan Milisi/Janjaweed. Mereka semua tunduk kepadanya, mereka semua mematuhinya. Kekuasaannya mutlak.”

Michael Onen, pembelot dari pasukan Kony, bercerita bahwa LRA dan Janjaweed berperang untuk memperebutkan gading, dengan saling merampok. Keberhasilan Janjaweed dalam perdagangan gadinglah yang awalnya memberi gagasan kepada Kony untuk membantai gajah. LRA menjual gading ke Angkatan Bersenjata Sudan, kata Onen.

Meskipun Sudan berperan sebagai tempat perlindungan bagi kelompok yang dikenal memperdagangkan gading, seperti LRA, Janjaweed, dan kelompok pemburu lainnya, negara ini tidak terlalu menarik perhatian sebagai negara pemburu. Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (Endangered Species of Wild Fauna dan Flora, CITES), yang mengatur perjanjian internasional perdagangan gading—dan larangan yang masih berlaku—mengidentifikasi delapan negara yang menjadi “perhatian utama” terkait perdagangan gading internasional.

Negara itu meliputi: Tiongkok, Kenya, Malaysia, Filipina, Thailand, Uganda, Tanzania, dan Vietnam. Delapan negara lain­nya dipandang menjadi perhatian sekunder: Kamerun, Kongo, DRC, Mesir, Etiopia, Gabon, Mozambik, dan Nigeria. Tiga negara lainnya digolongkan sebagai “penting untuk diawasi”: Angola, Kamboja, dan Laos.

Sudan tidak berada dalam daftar ini, meskipun pemburu Sudan adalah alasan utama gajah dibantai di beberapa negara yang dicantumkan oleh CITES sebagai perhatian utama atau sekunder. Menurut Sekretaris Jenderal CITES John Scanlon, Sudan tidak muncul di dalam daftar ini karena CITES menentukan prioritas terutama berdasarkan pada penangkapan gading dan tidak banyak penangkapan gading terkait dengan Sudan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan: Jika gading diburu oleh warga Sudan, ke mana perginya?

!break!

Tempat persembunyian Kony

Gading palsu saya tidak bergerak dari tempatnya selama beberapa minggu, gading itu dilambangkan oleh sepasang titik biru berbentuk air mata di layar komputer saya yang sekarang menampilkan peta digital sudut timur CAR.

Kemudian, sepasang titik biru itu bergeser beberapa kilometer. Tiba-tiba mereka bergerak terus ke utara, sekitar 20 km per hari menyusuri perbatasan Sudan Selatan, menghindari semua jalanan. Pada hari ke-15, setelah pertama kali bergerak, gading palsu itu masuk ke Sudan Selatan dan dari sana menyusuri jalan menuju kantong Kafia Kingi, sebuah wilayah sengketa di Darfur yang dikendalikan oleh Sudan.

Kafia Kingi sangat dikenal sebagai tempat persembunyian Kony sehingga pada April 2013, sebuah koalisi, termasuk Invisible Children, Enough Project, dan Resolve, menerbitkan laporan berjudul “Tersembunyi dari Penglihatan: Penampungan LRA oleh Sudan di Kantong Kafia Kingi, 2009-2013.”  “Berita bawa Kony berada di Sudan sudah bukan rahasia lagi,” kata Marty Regan dari Departemen Luar Negeri. “Itu memang tempat perlindungannya.”

Beberapa hari kemudian, gading itu melanjutkan perjalanan ke Songo, sebuah kota pasar Sudan, yang menurut Onen adalah tempat anak buah Kony menjual gadingnya. Di Songo, gading itu menetap selama tiga hari di tempat yang tampak seperti tempat terbuka di luar kota. Kemudian, gading itu kembali bergerak 10 km ke selatan, kembali ke Kafia Kingi.

Setelah tiga minggu berlalu, gading berbelok ke utara lagi, kembali ke Sudan. Dengan pergerakan yang lebih cepat, gading itu menuju ke utara sebelum tiba-tiba berbalik ke timur, menuju Khartoum.

Seleka merupakan nama koalisi pem­berontak ganas yang menggulingkan pe­merintah CAR pada 24 Maret 2013. Saingan­nya, anti-Balaka, sering membakar orang, melemparkan mereka dari jembatan, dan membunuh sesuka hati, mengubah CAR menjadi negara tanpa hukum—tempat yang membuat kelompok Kony dan organisasi teroris lainnya tumbuh subur. Pada Mei 2013, para pemburu Sudan yang didukung Seleka menyerang Dzanga Bai, oasis gajah di Taman Nasional Dzanga-Ndoki, barat daya CAR, membantai 26 ekor gajah. Dzanga Bai, yang juga dikenal sebagai kampung gajah—adalah kubangan lumpur kaya mineral tempat hewan-hewan berkumpul.

Pada awal tahun ini, Kony ditinggalkan oleh komandan operasinya, Dominic Ong­wen, yang mengatakan pada Pasukan Uni Afri­ka bahwa keinginan Kony untuk ber­dagang gading didukung oleh Seleka. “Pemberontak Seleka memiliki persediaan sekitar 300 ga­ding yang telah mereka jual untuk men­dapatkan pasokan persenjataan yang mem­bantu mereka menggulingkan Presiden CAR François Bozizé,” kata Ongwen kepada pasukan Uni Afrika. Dia menyampaikan a­rah­an yang pernah didengarnya.

Ongwen mengatakan Kony berencana untuk mendapatkan gading sebanyak mungkin “agar mampu bertahan hidup di masa depan jika dia tidak dapat meng­gulingkan pemerintah Uganda.”

Ongwen juga mengatakan Kony bermaksud membentuk pasukan untuk menjalin kontak dengan Boko Haram, kelompok te­roris Nigeria, yang bertanggung jawab atas pembunuhan dan penculikan ratusan pe­rempuan Nigeria. Boko Haram juga meng­gunakan alam liar sebagai markasnya—Hutan Sambisa di Nigeria, suaka margasatwa di selatan Danau Cad.

Pada Maret 2015, pemimpin Boko Haram, Abubakar Shekau, berjanji setia kepada ISIS dan kelompoknya berganti nama menjadi Negara Islam di Provinsi Afrika Barat, se­hingga memberikan daerah baru di Afrika Barat untuk kelompok teroris Timur Tengah.

!break!

Ke mana berikutnya?

Saat menuliskan artikel ini, gading palsu saya mengirimkan komunikasi terakhirnya dari sebuah kota di Sudan bernama Ed Daein, 800 km sebelah barat daya Khartoum.

Saya tahu rumah yang menampung gading itu: Dengan menggunakan Google Earth, saya melihat atap berwarna biru di layar saya. Gading itu berada di tempat yang bersuhu 1,2 derajat Celcius lebih dingin daripada suhu kamar. Sejauh ini gading palsu itu telah melakukan perjalanan sejauh 950 km dari hutan ke gurun, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Jalurnya konsisten dengan rute gading yang diceritakan pembelot Kony kepada saya, menuju markas panglima perang di Kafia Kingi. Pada saat Anda membaca artikel ini, gading saya mungkin telah melanjutkan perjalanannya ke Khartoum, ibu kota Sudan. Atau, bahkan mungkin muncul di ne­gara pengonsumsi terbesar gading ilegal ini: Tiongkok.

Sementara itu, saat para pemimpin di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat menyusun strategi tentang cara meng­hentikan jaringan organisasi teroris internasional yang terus meluas ini, di suatu tempat di Afrika, seorang polisi taman berdiri di posnya, menenteng senapan AK-47 dan beberapa butir peluru, menjaga garis depan mewakili kita semua.

---

Investigasi Khusus National Geographic: Kisah ini meluncurkan Unit Investigasi Khusus National Geographic Society, yang akan melaporkan kejahatan terkait margasatwa. Proyek ini didukung oleh hibah dari Woodtiger Fund

“Penugasan ini menarik bagi saya karena bukan sekadar cerita eksploitasi hewan,” kata penulis Bryan Christy, “Ini kisah perang yang tak pernah terungkap.”

Brent Stirton meraih berbagai peng­­hargaan untuk karya investigasinya. Para informan dalam cerita ini “merasa nyaman meng­ungkapkan kehidupan mereka,” katanya.