Gejolak Irak

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Pada hari Mosul jatuh ke tangan ISIS, Botan Sharbarzheri memutuskan bahwa dia rela mati. Mahasiswa 24 tahun itu tersenyum saat meninggalkan rumah orang tuanya di Slemani, kota di Kurdistan Irak. Dia tidak kesulitan mengumpulkan sekelompok pemuda yang sepandangan dengannya, calon pejuang. Bersama-sama, mereka menyusun rencana. Semua sepakat bahwa mereka rela mati bagi tanah air—bukan demi Irak, tetapi demi Kurdistan. Melindungi keluarga dari musuh brutal, sebagaimana perjuangan ayah mereka dulu melawan pasukan Saddam Hussein.

Sebelum Negara Islam (ISIS) menyerang Irak, Sharbarzheri merasa gelisah, menempuh kuliah teknik tanpa semangat. Musiklah yang digemarinya, dan oud-lah, kerabat gitar, yang menjadi andalannya.

Sharbarzheri bermain di pentas, bergabung dengan klub musisi, berangan-angan mengenai rekaman. Ayah Sharbarzheri yang seorang guru, sudah lama mendorong putranya ke arah yang lebih praktis, seperti membangun jembatan. Perekonomian Irak sedang ambruk, tak ada yang tampak menjanjikan. Pemuda lain mungkin menunduk saja dan berkata, iraadat Allah—itu kehendak Tuhan. Namun, Sharbarzheri sangat sekuler, bertentangan dengan segala jenis orang fanatik. Hingga suatu pekan di Juni 2014 itu, kehendak ilahiah tidak lebih berarti baginya daripada pekerjaan rumah yang terlupa.

Lalu, orang-orang yang menyatakan diri sebagai pasukan Tuhan pun datang, membakar dan membunuh di bawah bendera hitam dan tiba-tiba memberi Sharbarzheri tujuan hidup. Dalam perang, dia menemukan kejelasan yang selama ini hanya dikenalnya dalam musik. Dia tidak punya senjata, jadi dia akan menjual oud kesayangannya untuk membeli AK-47. Dia tidak terlatih, jadi dia akan bergabung dengan para pejuang yang  berpengalaman. Orang tuanya, andai tahu, tentu akan mencoba—berdebat, menangis, memohon agar dia tidak pergi—tetapi beberapa hal sudah menjadi kewajiban lelaki, dan biasanya hal-hal ini bukan jenis yang diberitahukan orang kepada ibunya.

Kebanyakan pemuda Kurdi tidak menyangka perang akan terjadi lagi. Perang yang dibawa ISIS ini benar-benar tak terduga. Baru beberapa tahun yang lalu, Kurdistan Irak sudah mulai makmur. Orang Amerika telah menggulingkan Hussein, musuh yang paling dibenci bangsa Kurdi, pada 2003. Hal ini membuka jalan bagi orang Kurdi untuk mengukuhkan kendali atas wilayahnya yang seluas wilayah Provinsi Sumatra Barat dan bergunung-gunung. Meski tetap bagian dari Irak, pada intinya mereka membuat protonegara sendiri.

Wilayah itu segera berubah akibat investasi, perkembangan, dan optimisme dari perminyakan (Kurdistan terletak di atas cadangan minyak yang besar). Pencakar langit bermunculan di Slemani, “Paris di Kurdistan,” dan Hewler, ibu kota Kurdistan, dilayani oleh mal belanja, penjual mobil mewah, dan kafe gelato. Beberapa universitas dibangun. Semacam layanan kesehatan universal dibentuk. Sementara bagian Irak yang dihuni bangsa Arab dilanda kemiskinan dan kekerasan pada tahun-tahun itu, sekitar lima juta orang Kurdi memasuki masa yang disebut banyak orang sebagai dasawarsa keemasan. Pada masa inilah—yang bebas dari suasana takut, yang bertaburan janji—Botan Sharbarzheri dibesarkan.

Sementara bagian Irak yang dihuni bangsa Arab dilanda kemiskinan dan kekerasan pada tahun-tahun itu, sekitar lima juta orang Kurdi memasuki masa yang disebut banyak orang sebagai dasawarsa keemasan.

“Apa pun terasa mungkin,” katanya kepada saya. “Setidaknya selama beberapa waktu. Kami melihat kemajuan di mana-mana. Kami melihat kehidupan semua orang berubah. Waktu itu saya masih kecil, tetapi saya juga melihat itu. Orang tua saya, semua orang, merasa lega.”

Saya bertemu dengan Sharbarzheri awal tahun silam di sebuah kafe di Slemani, tempat dia kuliah kembali. Dia bertubuh pendek, tampan, dan berjenggot tipis.

Dia berjalan terpincang-pincang sedikit, ke meja kami. Sharbarzheri tertembak saat bergegas maju di pertempuran beberapa bulan sebelumnya—betisnya tertembus peluru. Para pemuda bangkit menyapanya. Para pemudi melirik dan berbisik. Di budaya Kurdi, inilah salah satu tanda kehormatan terbesar.

“Anehnya, saya tidak perlu mengantre lagi,” kata Sharbarzheri. Lalu, pipi veteran itu merona, dan dia mengalihkan topik. Dia sedang menjalani ujian susulan untuk mata kuliah yang terlewat olehnya selama masa pemulihan. Hasilnya tidak terlalu baik.

“Saya mengalami kesulitan untuk mencurahkan pikiran ke situ.”  Dia memutar tasbih sambil berbicara, meskipun dia menegaskan bahwa itu bukan untuk ibadah. “Kuliah teknik… Membosankan sekali.”

Sharbarzheri mirip dengan sebagian besar orang Kurdi Irak—berusia di bawah 30 tahun dan secara umum optimistis tentang masa depan, meski harapan itu sedang menukik tajam. Baginya dan banyak warga yang sebaya, dunia sedang menyusut dan mendatar. ISIS memang berbahaya, tetapi para militan itu adalah ancaman dari luar.

Di dalam, partai politik Kurdi yang berperang saudara dengan sengit pada 1990-an, berdebat atas kekuasaan dan uang. Hubungan dengan Baghdad yang didominasi orang Arab, semakin memburuk. Para pemimpin Arab di ibu kota Irak menahan jatah anggaran federal untuk Kurdistan, akibat sengketa tentang pendapatan dari bidang perminyakan. Dasawarsa keemasan pun semakin surut.