Pada hari Mosul jatuh ke tangan ISIS, Botan Sharbarzheri memutuskan bahwa dia rela mati. Mahasiswa 24 tahun itu tersenyum saat meninggalkan rumah orang tuanya di Slemani, kota di Kurdistan Irak. Dia tidak kesulitan mengumpulkan sekelompok pemuda yang sepandangan dengannya, calon pejuang. Bersama-sama, mereka menyusun rencana. Semua sepakat bahwa mereka rela mati bagi tanah air—bukan demi Irak, tetapi demi Kurdistan. Melindungi keluarga dari musuh brutal, sebagaimana perjuangan ayah mereka dulu melawan pasukan Saddam Hussein.
Sebelum Negara Islam (ISIS) menyerang Irak, Sharbarzheri merasa gelisah, menempuh kuliah teknik tanpa semangat. Musiklah yang digemarinya, dan oud-lah, kerabat gitar, yang menjadi andalannya.
Sharbarzheri bermain di pentas, bergabung dengan klub musisi, berangan-angan mengenai rekaman. Ayah Sharbarzheri yang seorang guru, sudah lama mendorong putranya ke arah yang lebih praktis, seperti membangun jembatan. Perekonomian Irak sedang ambruk, tak ada yang tampak menjanjikan. Pemuda lain mungkin menunduk saja dan berkata, iraadat Allah—itu kehendak Tuhan. Namun, Sharbarzheri sangat sekuler, bertentangan dengan segala jenis orang fanatik. Hingga suatu pekan di Juni 2014 itu, kehendak ilahiah tidak lebih berarti baginya daripada pekerjaan rumah yang terlupa.
Lalu, orang-orang yang menyatakan diri sebagai pasukan Tuhan pun datang, membakar dan membunuh di bawah bendera hitam dan tiba-tiba memberi Sharbarzheri tujuan hidup. Dalam perang, dia menemukan kejelasan yang selama ini hanya dikenalnya dalam musik. Dia tidak punya senjata, jadi dia akan menjual oud kesayangannya untuk membeli AK-47. Dia tidak terlatih, jadi dia akan bergabung dengan para pejuang yang berpengalaman. Orang tuanya, andai tahu, tentu akan mencoba—berdebat, menangis, memohon agar dia tidak pergi—tetapi beberapa hal sudah menjadi kewajiban lelaki, dan biasanya hal-hal ini bukan jenis yang diberitahukan orang kepada ibunya.
Kebanyakan pemuda Kurdi tidak menyangka perang akan terjadi lagi. Perang yang dibawa ISIS ini benar-benar tak terduga. Baru beberapa tahun yang lalu, Kurdistan Irak sudah mulai makmur. Orang Amerika telah menggulingkan Hussein, musuh yang paling dibenci bangsa Kurdi, pada 2003. Hal ini membuka jalan bagi orang Kurdi untuk mengukuhkan kendali atas wilayahnya yang seluas wilayah Provinsi Sumatra Barat dan bergunung-gunung. Meski tetap bagian dari Irak, pada intinya mereka membuat protonegara sendiri.
Wilayah itu segera berubah akibat investasi, perkembangan, dan optimisme dari perminyakan (Kurdistan terletak di atas cadangan minyak yang besar). Pencakar langit bermunculan di Slemani, “Paris di Kurdistan,” dan Hewler, ibu kota Kurdistan, dilayani oleh mal belanja, penjual mobil mewah, dan kafe gelato. Beberapa universitas dibangun. Semacam layanan kesehatan universal dibentuk. Sementara bagian Irak yang dihuni bangsa Arab dilanda kemiskinan dan kekerasan pada tahun-tahun itu, sekitar lima juta orang Kurdi memasuki masa yang disebut banyak orang sebagai dasawarsa keemasan. Pada masa inilah—yang bebas dari suasana takut, yang bertaburan janji—Botan Sharbarzheri dibesarkan.
Sementara bagian Irak yang dihuni bangsa Arab dilanda kemiskinan dan kekerasan pada tahun-tahun itu, sekitar lima juta orang Kurdi memasuki masa yang disebut banyak orang sebagai dasawarsa keemasan.
“Apa pun terasa mungkin,” katanya kepada saya. “Setidaknya selama beberapa waktu. Kami melihat kemajuan di mana-mana. Kami melihat kehidupan semua orang berubah. Waktu itu saya masih kecil, tetapi saya juga melihat itu. Orang tua saya, semua orang, merasa lega.”
Saya bertemu dengan Sharbarzheri awal tahun silam di sebuah kafe di Slemani, tempat dia kuliah kembali. Dia bertubuh pendek, tampan, dan berjenggot tipis.
Dia berjalan terpincang-pincang sedikit, ke meja kami. Sharbarzheri tertembak saat bergegas maju di pertempuran beberapa bulan sebelumnya—betisnya tertembus peluru. Para pemuda bangkit menyapanya. Para pemudi melirik dan berbisik. Di budaya Kurdi, inilah salah satu tanda kehormatan terbesar.
“Anehnya, saya tidak perlu mengantre lagi,” kata Sharbarzheri. Lalu, pipi veteran itu merona, dan dia mengalihkan topik. Dia sedang menjalani ujian susulan untuk mata kuliah yang terlewat olehnya selama masa pemulihan. Hasilnya tidak terlalu baik.
“Saya mengalami kesulitan untuk mencurahkan pikiran ke situ.” Dia memutar tasbih sambil berbicara, meskipun dia menegaskan bahwa itu bukan untuk ibadah. “Kuliah teknik… Membosankan sekali.”
Sharbarzheri mirip dengan sebagian besar orang Kurdi Irak—berusia di bawah 30 tahun dan secara umum optimistis tentang masa depan, meski harapan itu sedang menukik tajam. Baginya dan banyak warga yang sebaya, dunia sedang menyusut dan mendatar. ISIS memang berbahaya, tetapi para militan itu adalah ancaman dari luar.
Di dalam, partai politik Kurdi yang berperang saudara dengan sengit pada 1990-an, berdebat atas kekuasaan dan uang. Hubungan dengan Baghdad yang didominasi orang Arab, semakin memburuk. Para pemimpin Arab di ibu kota Irak menahan jatah anggaran federal untuk Kurdistan, akibat sengketa tentang pendapatan dari bidang perminyakan. Dasawarsa keemasan pun semakin surut.
Sharbarzheri merasa tidak ada gunanya mengikuti kuliah membosankan jika ISIS masih mungkin merusak segalanya. Atau jika pemerintah Irak—yang korup, tidak efektif, dan goyah—masih mungkin roboh.
“Lebih baik kalau kami semua mati saja,” ungkapnya, “daripada harus hidup dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi.”
Ungkapan yang khas Kurdi. Sebagian besar lelaki di kafe itu tentu sepakat, dan mungkin juga banyak perempuan di situ, yang semuanya mengenakan celana jin ketat dan rias wajah tebal. Saat masih muda dan mencicipi kebebasan, bagaimana cara menanggungnya jika hal itu sampai hilang?
Sharbarzheri memutuskan akan kembali ke garis depan secepatnya.
Bangsa Kurdi memiliki budaya dan bahasa tersendiri. Tetapi selain beberapa masa singkat dalam sejarah ketika mereka memiliki pemerintah sendiri, mereka selalu hidup di bawah kendali budaya yang lebih besar—Persia, Arab, Utsmaniyah, Turki. Kini diyakini sekitar 25 juta orang Kurdi tinggal di Suriah, Irak, Turki, dan Iran (meski jumlah populasi sebenarnya tidak diketahui). Mereka sering digambarkan sebagai kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki negara. Hal ini mungkin benar, mengesankan ada persatuan di antara mereka. Padahal, sebenarnya tidak.
Orang Kurdi memiliki dialek berbeda-beda dan mendukung partai politik sangat-lokal yang sering rewel. Kalaupun diberi kesempatan, mereka mungkin tidak akan mencoba membentuk negara Kurdi besar dari wilayah-wilayah beragam di berbagai negara itu.
Kurdi di Irak-lah yang paling dekat dengan perwujudan kemerdekaan. Mereka memiliki parlemen dan presiden, jalur pipa minyak sendiri, dan pasukan militer yang disebut peshmerga. Namun, mereka tetap menjadi bagian negara Irak, meski tidak ideal, karena sudah lama merasa tak ada pilihan yang lebih baik. Pilihan yang merupakan syarat yang dituntut oleh Barat, dan khususnya oleh Amerika pada tahun-tahun sejak jatuhnya Saddam Hussein. Pemerintah Kurdi menyiratkan bahwa mereka dapat memisahkan diri dari Irak, dan ini membuat marah tetangganya yang lebih kuat, yaitu Turki dan Iran, juga bangsa Arab Irak di selatan. Namun, para pemimpin Kurdistan selalu mundur lagi. Hal ini pun membuat frustrasi banyak warganya yang semuanya idealis, yang lebih suka memiliki negara sendiri daripada misalnya, perdamaian atau perekonomian yang layak.
Pemerintah Barat mengandalkan orang Kurdi di Suriah dan Irak untuk melakukan sebagian besar pertempuran melawan ISIS.
Pemerintah Barat mengandalkan orang Kurdi di Suriah dan Irak untuk melakukan sebagian besar pertempuran melawan ISIS. Banyak orang Kurdi berargumen bahwa mereka layak mendapatkan kemerdekaan.
Sudah tak terhitung berapa kali saya masuk ke taksi dan sopir langsung menyatakan kemerdekaan pribadi dan merasa kedekatan dengan Amerika dan Israel—negara yang dicintai banyak orang Kurdi karena kecil dan keras hati, dan dikelilingi oleh musuh.
“Amerika, Israel, Kurdistan!” kata seorang lelaki kepada saya baru-baru ini. “Bersama-sama kita bisa menang!”
“Menang melawan apa?” tanya saya.
“Semuanya!” Senyumnya mengembang. “Dan terutama bangsa Arab.”
Dia bercerita pernah turut serta dalam upaya perlawanan Kurdi, terhadap Saddam Hussein. Dia tak melihat perbedaan antara musuh yang itu dan ISIS, yang konon beranggotakan beberapa mantan pejabat Hussein.
“Sama, sama,” katanya. Mobil sedan kami melaju menembus senja biru yang luas.
Kira-kira saat Botan Sharbarzheri berhenti kuliah dan memilih perang, seorang pemuda Irak lain bergabung dengan ISIS. Sami Hussein berusia 21 atau 22 dan tinggal di Kirkuk, kota yang terletak tak sampai dua jam di sebelah selatan universitas Sharbarzheri dan berada di dekat Baba Gurgur, cadangan minyak besar.
Dia pemuda Arab kurus, mudah terpengaruh seperti Sharbarzheri, meski keduanya tentu sebal jika mendengar saya mengatakan hal itu. Keyakinan Hussein pada Islam militan mungkin berawal dari bisikan seorang ulama setempat. Mungkin, selama beberapa waktu dia menolak. Namun, dia putus asa tentang masa depan. Sebagian besar orang Arab Irak tak pernah mencicipi kemajuan seperti itu pada tahun-tahun setelah serbuan Amerika. Di banyak tempat, kehidupan mereka jauh lebih buruk.
Hussein berkata bahwa dia bergabung dengan kaum militan karena meyakini bahwa Islam sedang diserang. Dia terbujuk oleh propaganda di Facebook dan media sosial lain serta oleh khotbah para ulama radikal.
Ketika saya bertemu dengannya musim semi lalu, persis setelah dia ditangkap, persis sebelum dia menghilang, Hussein berkata bahwa dia bergabung dengan kaum militan karena meyakini bahwa Islam sedang diserang. Dia terbujuk oleh propaganda di Facebook dan media sosial lain serta oleh khotbah para ulama radikal. Seperti Sharbarzheri, dia mendambakan petualangan, dengan tujuan yang jelas, dan dia sadar bahwa nantinya dia akan melawan orang Kurdi dan sesama orang Arab.
Tetapi, sementara Sharbarzheri ateis, Hussein memandang bahwa pilihannya merupakan petunjuk dari kehendak Tuhan, setidaknya pada mulanya. Selain itu, orang tidak akan tergoda masuk ISIS jika tidak tergiur oleh pembantaian. Tidak ada ISIS tanpa pembunuhan, kehancuran, perkosaan, dan penyiksaan. Jadi, sementara pemuda yang satu berangkat untuk membela, yang satu lagi datang untuk menghancurkan.
Saat berangkat bertempur, rupanya Sami Hussein juga tidak memberi tahu ibunya. Dia ditangkap beberapa bulan kemudian, saat menyelinap pulang untuk menemui sang ibu.
kirkuk, yang memiliki lingkungan orang Kurdi, Arab, Turkmen—dan orang Sunni, Syiah, dan Kristen—merupakan miniatur Irak. Berabad-abad keberagaman, kasih, keindahan, dan ganjalan lama berpadu di sana di dataran panas, tempat ladang gandum bertemu ladang minyak. Pada Juni 2014 pasukan Irak meninggalkan kota, sebelum ISIS menyerang.
Bagi orang Kurdi, rasanya seperti takdir: Mereka sudah lama meyakini bahwa Kirkuk adalah hak milik mereka. Pada Juni itu, satu-satunya hal yang perlu dilakukan bangsa Kurdi untuk memulihkan hak leluhur mereka adalah menghalangi masuknya ISIS, dan tentara mereka yang bersemangat pun membanjir masuk ke Kirkuk untuk mengisi kekosongan.
Tidak akan mudah. Pasukan keamanan Kurdi sendiri mula-mula kekurangan orang, kekurangan senjata, dan lambat beradaptasi dengan musuh yang cepat. Tentara ISIS menyapu ke timur dan utara, menduduki Mosul, dan membunuh lebih dari seribu orang sipil. Tak lama kemudian mereka menggerogoti wilayah Kurdi dan maju hingga pinggir kota Kirkuk.
Kaum kaya Kurdi bersiap-siap angkat kaki. Kaum miskin Kurdi membayangkan kengerian yang segera datang. Tetapi tentara dan relawan, yang pemberani dan tidak teratur, bergegas menyongsong gelombang militan itu. Mereka melancarkan pertahanan yang tersebar di sepanjang garis depan, yang melengkung ratusan kilometer di perbatasan Kurdistan. Pasukan peshmerga kadang-kadang datang ke medan perang naik taksi, bersepatu tenis, membawa senapan tua yang tidak jitu. Di antara mereka yang bergegas maju, ada Botan Sharbarzheri.
Ketika dia sampai di Kirkuk, di ujung tombak unit relawan usia kuliah yang dibentuknya, negara-negara Barat sudah mendukung pasukan Kurdi dengan pesawat perang. Dengan perlindungan itu, orang Kurdi berhasil menahan tentara ISIS, lalu di beberapa tempat, mulai mendorong mereka mundur. Kirkuk selamat untuk sementara ini, dan orang Kurdi menjadi salah satu pasukan yang mampu melawan ISIS.
Namun, pertempuran masih bergolak di luar kota itu, di desa-desa kecil yang hancur dan dihuni sebagian besar oleh orang Arab. Unit Sharbarzheri sudah diberi pelatihan kilat dan umumnya tak disertakan dalam pertempuran sungguhan. Para pemuda di unitnya berkata bahwa mereka dengan senang hati memasak, mencuci baju, melakukan apa saja bagi rekan mereka yang bertempur. Mereka melakukan hal itu dengan sungguh-sungguh—meski juga banyak yang berangan-angan dapat membuktikan diri tak hanya di ember cucian.
Seorang tentara ISIS mulai menembak ke kolong truk, menyasar kaki orang Kurdi yang menyerang. Peluru menembus betis Sharbarzheri.
Kesempatan Sharbarzheri tiba, dalam perjalanan mobil yang kacau ke suatu desa bernama Saiyid Khalaf yang terletak di barat daya Kirkuk. Unitnya maju perlahan-lahan ke arah posisi ISIS. Sharbarzheri, dengan kegirangan dan memegang senapan yang dibelinya dengan oud, bergegas maju di balik perlindungan truk lapis baja.
Seorang tentara ISIS mulai menembak ke kolong truk, menyasar kaki orang Kurdi yang menyerang. Peluru menembus betis Sharbarzheri. Dia diseret menjauh, buru-buru diangkat ke dalam ambulans, dan tak lama kemudian orang Kurdi mundur.
Setelahnya, orang tuanya menjenguknya di rumah sakit. Ibunya menangis. Ayahnya begitu marah sampai tak mampu berbicara. Mempertaruhkan segalanya, demi apa? Demi keberanian? Demi negara yang bukan negara?
Tetapi belakangan ayahnya yang bernama Mohammad, diam-diam mengakui kepada saya bahwa saat marah di rumah sakit pun, dia sangat bangga akan anaknya.
“Kami semua rela bertempur demi Kurdistan,” kata Mohammad. “Sekalipun kami tidak selalu meyakini bahwa negara ini dapat terwujud,” lanjutnya.
pada hari sharbarzheri tertembak, Sami Hussein, pemuda Arab yang bergabung dengan ISIS, berada di suatu tempat di wilayah itu. Mungkin di medan perang yang sama.
Saya bertemu dengannya beberapa bulan kemudian, pada pagi setelah dia ditangkap dalam penggerebekan polisi di Kirkuk, bersama enam orang pemuda lain. Di kompleks polisi di dekat pusat kota, Hussein dibawa ke ruang duduk sempit. Dia datang tanpa sepatu sembari bersikap merajuk. Hussein tampaknya tidak cedera. Hanya jempolnya yang berlepotan—ternoda tinta yang digunakan untuk menandatangani pengakuannya.
Detektif menanyai Hussein dari daftar pertanyaan. Mengapa kau bergabung dengan ISIS? Apakah ada banyak tentara asing di pasukan kalian? Apa yang kalian lakukan pada gadis Yazidi yang ditangkap?
Pertanyaan itu merujuk pada perlakuan brutal ISIS terhadap anggota kelompok kecil agama dan etnis Kurdi yang bukan Muslim—dan yang nasibnya di tangan para militan, telah mengejutkan dunia. Detektif menanyakan ini untuk kepentingan saya, mengingatkan si orang Amerika tentang kengerian yang harus dihadapi sendirian oleh bangsa Irak setelah ditinggalkan.
Pertanyaan itu merujuk pada perlakuan brutal ISIS terhadap anggota kelompok kecil agama dan etnis Kurdi yang bukan Muslim—dan yang nasibnya di tangan para militan, telah mengejutkan dunia.
“Tentara kami mengambil orang Yazidi dan melakukan apa saja terhadap mereka,” kata Hussein dengan datar.
Dia mengaku menyesal bergabung dengan ISIS, bahwa janji-janji tentang kejayaan dan kebenaran Islam ternyata kosong belaka.
“Mereka bukan Muslim,” katanya, beringsut di kursi, menatap lantai.
Hussein anak yang bingung, lelah dan bertelanjang kaki. Tak lama kemudian si komandan polisi, jenderal Kurdi, mengantar saya ke taman kecil. Di sana tangkapan lain dari penggerebekan malam itu berlutut. Mata mereka ditutup, tangan diborgol.
“Bagaimana nasib mereka?” tanya saya kepada jenderal.
“Dimasukkan ke penjara,” katanya samar. “Setelah itu, bukan keputusan saya.”
Ada desas-desus, yang gigih, bahwa orang Kurdi dan Arab sering menghukum mati tawanan ISIS mereka. Saya menanyakan hal itu kepada juru bahasa saya.
“Bagaimana nasib anak itu nanti?”
“Dia akan dihukum mati, tentu saja.”
“Dari mana Anda tahu?”
“Mengapa Anda peduli, Bung? Dia ISIS.”
Sebenarnya, saya memikirkan ibu Hussein, yang bertanya-tanya apakah dia akan bertemu kembali dengan anaknya.
selama beberapa minggu, saya berusaha untuk mengikuti jejak Hussein. Saya bertanya kepada polisi, komandan peshmerga, politikus, pengacara, bahkan perdana menteri Kurdistan. Tidak ada yang dapat—atau bersedia—memberikan petunjuk.
Untuk beberapa lama, saya terobsesi dengan kasus Hussein. Kisah Hussein memuat semua masalah yang dihadapi Kurdistan, Irak, Timur Tengah. Persoalan membangun dan menjadi bangsa yang selayaknya, memperoleh dukungan tetangga, dan menjaga agar orang-orang mereka sendiri siapa pun itu, tidak tergelincir, berbalik, dan melawan sesama mereka.
Hussein hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang berbondong-bondong bergabung dengan ISIS. Banyak tentara ISIS di Irak adalah warga Irak yang adalah hasil perekrutan atau wajib militer dari wilayah yang dikuasai ISIS. Sebagian besar orang Arab Sunni, meski ada juga pemuda Kurdi yang bergabung.
Di kota Qeladize, di Kurdistan, seorang lelaki bernama Salah Rashid bercerita tentang saudara iparnya yang berusia 18 tahun, Hemin, yang bergabung dengan ISIS pada 2014. Pemuda itu sempat luntang-lantung, tak berhasil mendapat pekerjaan yang mapan. Perlahan-lahan dia menjadi radikal akibat seorang imam setempat, orang Kurdi juga, yang berkhotbah tentang jihad, mati syahid, dan surga.
Hemin dan beberapa orang lain mengikuti khotbah lelaki itu ke Suriah, berharap mereka dapat melawan pasukan diktator Bashar Al-Assad. Namun, tak lama kemudian pimpinan ISIS memerintahkan Hemin dan teman-temannya kembali ke Irak untuk melawan bangsa mereka sendiri.
Rashid melacak pergerakan iparnya melalui telepon dan Facebook. Ia pun meyakini bahwa Hemin tak bahagia. Pemuda itu bergabung de-ng-an ISIS bukan untuk melawan orang Kurdi, dan tampaknya dia tak lagi meyakini propaganda ISIS. Hemin tewas pada Oktober 2014 di kota Sinjar, yang jatuh ke tangan ISIS (dan direbut kembali oleh pasukan peshmerga akhir 2015). Rashid diberi tahu bahwa Hemin gugur dalam pertempuran, tetapi dia tidak percaya.
“Kami menduga dia hendak keluar dari Daesh,” katanya. Daesh adalah julukan Arab untuk ISIS. “Soalnya, di Sinjar tidak ada pertempuran pada hari dia meninggal. Menurut saya, dia ingin pulang, jadi mereka pun membunuhnya.”
Rashid memohon kepada komandan ISIS agar menyerahkan jenazah Hemin kepadanya. Mereka menolak, jadi keluarganya hanya dapat menekuri beberapa foto terakhir di Facebook yang menampilkan pemuda yang gempal dan bingung, mengenakan seragam loreng pinjaman.
“Hemin masih anak-anak,” kata Rashid. “Banyak pemuda bergabung dengan Daesh bukan karena mereka ekstremis, tetapi karena belum menemukan jati diri. Saya menyalahkan diri karena tidak menjaganya dengan baik. Entah apa yang akan terjadi padanya sekarang.”
Rashid berbicara soal akhirat. Dia meyakinkan saya, di sana Hemin tak akan menemukan surga.
Dalam perjalanan mobil kembali ke Slemani, saya memikirkan Sami Hussein. Paling bagus, dia dikurung di sel di suatu tempat. Mungkin menghitung hari-hari terakhir hidupnya.
Minggu berikutnya saya menunjukkan foto Hussein yang saya ambil kepada Botan Sharbarzheri. Dia mengambil iPhone saya dan menatap relawan ISIS tersebut.
“Saya benci dia,” kata Sharbarzheri. “Dia membuat saya berpikir tentang balas dendam. Dendam ini akan saya balas. Untuk perbuatan mereka terhadap saya dan perbuatan mereka terhadap kami semua. Saya berjanji.”
Ungkapan yang khas Kurdi.
Dalam kunjungan terakhir saya ke Kurdistan Irak, pada Oktober, saya mencari Hussein lagi. Jenderal polisi yang menangkapnya tidak ingat namanya, dan sistem peradilan Irak tetap samar seperti biasa. Saya sempat berniat berkunjung dari rumah ke rumah di lingkungan Arab di Kirkuk, menunjukkan fotonya, tetapi rencana itu berisiko, dan juru bahasa saya memperingatkan bahwa kami dapat membahayakan orang yang berbicara dengan kami. Jadi, Hussein pun lenyap, setidaknya bagi saya. Satu lagi hantu di antara ribuan yang raib di Irak selama 10 tahun terakhir, 50 tahun terakhir.
Jauh dari garis depan, semua teman Kurdi saya semakin lelah, semakin muram. Peshmerga terus mendesak ISIS mundur di beberapa tempat, tetapi di tempat lain pasukan Irak tersaruk-saruk. Kota-kota besar seperti Mosul dan Ramadi masih membara di bawah kendali kaum militan, dan perekonomian Irak (serta perekonomian Kurdi) terbatuk-batuk, terseret turun oleh harga minyak rendah dan perang bertahun-tahun. Negara berdarah itu tampaknya tidak kunjung mendekati rekonsiliasi, dan di Kurdistan luka lama terasa perih, sementara luka baru memburuk.
Bulan itu, di beberapa kota dan desa Kurdi, unjuk rasa berkobar. Banyak yang berlangsung damai—misalnya guru sekolah, yang menuntut gaji yang tertunggak berbulan-bulan. Namun, pengunjuk rasa lain menuntut reformasi politik, dan beberapa demonstrasi ini melibatkan kekerasan, bahkan kematian. Di Slemani polisi dengan perlengkapan hitam anti huru-hara mengelilingi pasar pusat, dan unit peshmerga ditarik dari garis depan untuk menjaga ketertiban. Pada malam hari konvoi militer mengular di tengah kota.
Sharbarzheri sendiri tampak optimistis, meski suasana rusuh. Baru-baru ini dia kembali kuliah purnawaktu, dan pindah jurusan dari teknik ke kajian internasional. Dia mendapat hadiah oud baru, lebih indah daripada yang sebelumnya, dan meski dia masih menyimpan AK-47 di kamar, setengah terlupakan, terselip di antara selimut di lemari pakaian, dia tak lagi berpikir soal kembali berperang.
“Politik satu-satunya cara untuk membuat perubahan,” katanya.
Saya mungkin tertawa, karena dia tiba-tiba menjadi serius.
“Sungguh. Itu benar,” ujarnya. “Di Kurdistan, kita tidak bisa berbuat apa-apa di luar partai politik. Jadi, itulah pertarungan saya berikutnya.”
Kami sedang menyusuri Jalan Salim di Slemani. Biasanya, pada hampir setiap malam yang cerah, jalanan Slemani membeludak dengan kaum muda Kurdi, sebagian besar lelaki, yang lalu lalang dengan gembira, minum teh, bermain biliar, makan, tertawa, dan berkirim pesan singkat sampai pagi.
Sekarang anehnya, jalanan sepi. Orang mendorong gerobak berisi delima, mencari pelanggan. Terdengar decit roda, suara kucing. Tak ada kerumunan yang perlu ditembus, tak ada awan asap rokok tebal. Saya menanyakan hal itu kepada Sharbarzheri. Saya sempat menduga karena cuaca, mungkin juga karena adanya pertandingan sepak bola.
“Banyak yang sudah pergi,” katanya, dan saya mengira pergi ke rumah masing-masing.
“Bukan, ke Eropa. Mereka mengungsi. Ke Turki, lalu berusaha ke Yunani, atau tempat lain. Lalu ke Jerman. Semua orang ingin pergi.”
“Mengapa?”
“Semua orang merasa Irak sudah tawaw, sudah tamat. Dan mereka sudah tak lagi meyakini Kurdistan. Dengan adanya ISIS, dengan perekonomian yang telah payah, mereka tidak melihat peluang. Saya kenal banyak orang yang sudah pergi.”
Saya membayangkan kemah pengungsian yang penuh sesak, kekacauan di Eropa, sementara arus migran yang penuh harap mengalir masuk. Banyak orang Kurdi, jika selamat dalam perjalanan, akan bergabung dengan keluarga yang sudah tinggal di benua itu. Eksodus sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Hanya saja, sekarang semakin cepat.
“Anda sendiri?” kata saya. “Tetap di sini?”
Sharbarzheri tersenyum. “Ya. Saya orang Kurdi jenis itu. Saya tak akan pernah pergi.