“Mereka bukan Muslim,” katanya, beringsut di kursi, menatap lantai.
Hussein anak yang bingung, lelah dan bertelanjang kaki. Tak lama kemudian si komandan polisi, jenderal Kurdi, mengantar saya ke taman kecil. Di sana tangkapan lain dari penggerebekan malam itu berlutut. Mata mereka ditutup, tangan diborgol.
“Bagaimana nasib mereka?” tanya saya kepada jenderal.
“Dimasukkan ke penjara,” katanya samar. “Setelah itu, bukan keputusan saya.”
Ada desas-desus, yang gigih, bahwa orang Kurdi dan Arab sering menghukum mati tawanan ISIS mereka. Saya menanyakan hal itu kepada juru bahasa saya.
“Bagaimana nasib anak itu nanti?”
“Dia akan dihukum mati, tentu saja.”
“Dari mana Anda tahu?”
“Mengapa Anda peduli, Bung? Dia ISIS.”
Sebenarnya, saya memikirkan ibu Hussein, yang bertanya-tanya apakah dia akan bertemu kembali dengan anaknya.
selama beberapa minggu, saya berusaha untuk mengikuti jejak Hussein. Saya bertanya kepada polisi, komandan peshmerga, politikus, pengacara, bahkan perdana menteri Kurdistan. Tidak ada yang dapat—atau bersedia—memberikan petunjuk.
Untuk beberapa lama, saya terobsesi dengan kasus Hussein. Kisah Hussein memuat semua masalah yang dihadapi Kurdistan, Irak, Timur Tengah. Persoalan membangun dan menjadi bangsa yang selayaknya, memperoleh dukungan tetangga, dan menjaga agar orang-orang mereka sendiri siapa pun itu, tidak tergelincir, berbalik, dan melawan sesama mereka.