Namun, pertempuran masih bergolak di luar kota itu, di desa-desa kecil yang hancur dan dihuni sebagian besar oleh orang Arab. Unit Sharbarzheri sudah diberi pelatihan kilat dan umumnya tak disertakan dalam pertempuran sungguhan. Para pemuda di unitnya berkata bahwa mereka dengan senang hati memasak, mencuci baju, melakukan apa saja bagi rekan mereka yang bertempur. Mereka melakukan hal itu dengan sungguh-sungguh—meski juga banyak yang berangan-angan dapat membuktikan diri tak hanya di ember cucian.
Seorang tentara ISIS mulai menembak ke kolong truk, menyasar kaki orang Kurdi yang menyerang. Peluru menembus betis Sharbarzheri.
Kesempatan Sharbarzheri tiba, dalam perjalanan mobil yang kacau ke suatu desa bernama Saiyid Khalaf yang terletak di barat daya Kirkuk. Unitnya maju perlahan-lahan ke arah posisi ISIS. Sharbarzheri, dengan kegirangan dan memegang senapan yang dibelinya dengan oud, bergegas maju di balik perlindungan truk lapis baja.
Seorang tentara ISIS mulai menembak ke kolong truk, menyasar kaki orang Kurdi yang menyerang. Peluru menembus betis Sharbarzheri. Dia diseret menjauh, buru-buru diangkat ke dalam ambulans, dan tak lama kemudian orang Kurdi mundur.
Setelahnya, orang tuanya menjenguknya di rumah sakit. Ibunya menangis. Ayahnya begitu marah sampai tak mampu berbicara. Mempertaruhkan segalanya, demi apa? Demi keberanian? Demi negara yang bukan negara?
Tetapi belakangan ayahnya yang bernama Mohammad, diam-diam mengakui kepada saya bahwa saat marah di rumah sakit pun, dia sangat bangga akan anaknya.
“Kami semua rela bertempur demi Kurdistan,” kata Mohammad. “Sekalipun kami tidak selalu meyakini bahwa negara ini dapat terwujud,” lanjutnya.
pada hari sharbarzheri tertembak, Sami Hussein, pemuda Arab yang bergabung dengan ISIS, berada di suatu tempat di wilayah itu. Mungkin di medan perang yang sama.
Saya bertemu dengannya beberapa bulan kemudian, pada pagi setelah dia ditangkap dalam penggerebekan polisi di Kirkuk, bersama enam orang pemuda lain. Di kompleks polisi di dekat pusat kota, Hussein dibawa ke ruang duduk sempit. Dia datang tanpa sepatu sembari bersikap merajuk. Hussein tampaknya tidak cedera. Hanya jempolnya yang berlepotan—ternoda tinta yang digunakan untuk menandatangani pengakuannya.
Detektif menanyai Hussein dari daftar pertanyaan. Mengapa kau bergabung dengan ISIS? Apakah ada banyak tentara asing di pasukan kalian? Apa yang kalian lakukan pada gadis Yazidi yang ditangkap?
Pertanyaan itu merujuk pada perlakuan brutal ISIS terhadap anggota kelompok kecil agama dan etnis Kurdi yang bukan Muslim—dan yang nasibnya di tangan para militan, telah mengejutkan dunia. Detektif menanyakan ini untuk kepentingan saya, mengingatkan si orang Amerika tentang kengerian yang harus dihadapi sendirian oleh bangsa Irak setelah ditinggalkan.
Pertanyaan itu merujuk pada perlakuan brutal ISIS terhadap anggota kelompok kecil agama dan etnis Kurdi yang bukan Muslim—dan yang nasibnya di tangan para militan, telah mengejutkan dunia.
“Tentara kami mengambil orang Yazidi dan melakukan apa saja terhadap mereka,” kata Hussein dengan datar.
Dia mengaku menyesal bergabung dengan ISIS, bahwa janji-janji tentang kejayaan dan kebenaran Islam ternyata kosong belaka.