Hussein hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang berbondong-bondong bergabung dengan ISIS. Banyak tentara ISIS di Irak adalah warga Irak yang adalah hasil perekrutan atau wajib militer dari wilayah yang dikuasai ISIS. Sebagian besar orang Arab Sunni, meski ada juga pemuda Kurdi yang bergabung.
Di kota Qeladize, di Kurdistan, seorang lelaki bernama Salah Rashid bercerita tentang saudara iparnya yang berusia 18 tahun, Hemin, yang bergabung dengan ISIS pada 2014. Pemuda itu sempat luntang-lantung, tak berhasil mendapat pekerjaan yang mapan. Perlahan-lahan dia menjadi radikal akibat seorang imam setempat, orang Kurdi juga, yang berkhotbah tentang jihad, mati syahid, dan surga.
Hemin dan beberapa orang lain mengikuti khotbah lelaki itu ke Suriah, berharap mereka dapat melawan pasukan diktator Bashar Al-Assad. Namun, tak lama kemudian pimpinan ISIS memerintahkan Hemin dan teman-temannya kembali ke Irak untuk melawan bangsa mereka sendiri.
Rashid melacak pergerakan iparnya melalui telepon dan Facebook. Ia pun meyakini bahwa Hemin tak bahagia. Pemuda itu bergabung de-ng-an ISIS bukan untuk melawan orang Kurdi, dan tampaknya dia tak lagi meyakini propaganda ISIS. Hemin tewas pada Oktober 2014 di kota Sinjar, yang jatuh ke tangan ISIS (dan direbut kembali oleh pasukan peshmerga akhir 2015). Rashid diberi tahu bahwa Hemin gugur dalam pertempuran, tetapi dia tidak percaya.
“Kami menduga dia hendak keluar dari Daesh,” katanya. Daesh adalah julukan Arab untuk ISIS. “Soalnya, di Sinjar tidak ada pertempuran pada hari dia meninggal. Menurut saya, dia ingin pulang, jadi mereka pun membunuhnya.”
Rashid memohon kepada komandan ISIS agar menyerahkan jenazah Hemin kepadanya. Mereka menolak, jadi keluarganya hanya dapat menekuri beberapa foto terakhir di Facebook yang menampilkan pemuda yang gempal dan bingung, mengenakan seragam loreng pinjaman.
“Hemin masih anak-anak,” kata Rashid. “Banyak pemuda bergabung dengan Daesh bukan karena mereka ekstremis, tetapi karena belum menemukan jati diri. Saya menyalahkan diri karena tidak menjaganya dengan baik. Entah apa yang akan terjadi padanya sekarang.”
Rashid berbicara soal akhirat. Dia meyakinkan saya, di sana Hemin tak akan menemukan surga.
Dalam perjalanan mobil kembali ke Slemani, saya memikirkan Sami Hussein. Paling bagus, dia dikurung di sel di suatu tempat. Mungkin menghitung hari-hari terakhir hidupnya.
Minggu berikutnya saya menunjukkan foto Hussein yang saya ambil kepada Botan Sharbarzheri. Dia mengambil iPhone saya dan menatap relawan ISIS tersebut.
“Saya benci dia,” kata Sharbarzheri. “Dia membuat saya berpikir tentang balas dendam. Dendam ini akan saya balas. Untuk perbuatan mereka terhadap saya dan perbuatan mereka terhadap kami semua. Saya berjanji.”
Ungkapan yang khas Kurdi.
Dalam kunjungan terakhir saya ke Kurdistan Irak, pada Oktober, saya mencari Hussein lagi. Jenderal polisi yang menangkapnya tidak ingat namanya, dan sistem peradilan Irak tetap samar seperti biasa. Saya sempat berniat berkunjung dari rumah ke rumah di lingkungan Arab di Kirkuk, menunjukkan fotonya, tetapi rencana itu berisiko, dan juru bahasa saya memperingatkan bahwa kami dapat membahayakan orang yang berbicara dengan kami. Jadi, Hussein pun lenyap, setidaknya bagi saya. Satu lagi hantu di antara ribuan yang raib di Irak selama 10 tahun terakhir, 50 tahun terakhir.
Jauh dari garis depan, semua teman Kurdi saya semakin lelah, semakin muram. Peshmerga terus mendesak ISIS mundur di beberapa tempat, tetapi di tempat lain pasukan Irak tersaruk-saruk. Kota-kota besar seperti Mosul dan Ramadi masih membara di bawah kendali kaum militan, dan perekonomian Irak (serta perekonomian Kurdi) terbatuk-batuk, terseret turun oleh harga minyak rendah dan perang bertahun-tahun. Negara berdarah itu tampaknya tidak kunjung mendekati rekonsiliasi, dan di Kurdistan luka lama terasa perih, sementara luka baru memburuk.
Bulan itu, di beberapa kota dan desa Kurdi, unjuk rasa berkobar. Banyak yang berlangsung damai—misalnya guru sekolah, yang menuntut gaji yang tertunggak berbulan-bulan. Namun, pengunjuk rasa lain menuntut reformasi politik, dan beberapa demonstrasi ini melibatkan kekerasan, bahkan kematian. Di Slemani polisi dengan perlengkapan hitam anti huru-hara mengelilingi pasar pusat, dan unit peshmerga ditarik dari garis depan untuk menjaga ketertiban. Pada malam hari konvoi militer mengular di tengah kota.
Sharbarzheri sendiri tampak optimistis, meski suasana rusuh. Baru-baru ini dia kembali kuliah purnawaktu, dan pindah jurusan dari teknik ke kajian internasional. Dia mendapat hadiah oud baru, lebih indah daripada yang sebelumnya, dan meski dia masih menyimpan AK-47 di kamar, setengah terlupakan, terselip di antara selimut di lemari pakaian, dia tak lagi berpikir soal kembali berperang.
“Politik satu-satunya cara untuk membuat perubahan,” katanya.
Saya mungkin tertawa, karena dia tiba-tiba menjadi serius.
“Sungguh. Itu benar,” ujarnya. “Di Kurdistan, kita tidak bisa berbuat apa-apa di luar partai politik. Jadi, itulah pertarungan saya berikutnya.”
Kami sedang menyusuri Jalan Salim di Slemani. Biasanya, pada hampir setiap malam yang cerah, jalanan Slemani membeludak dengan kaum muda Kurdi, sebagian besar lelaki, yang lalu lalang dengan gembira, minum teh, bermain biliar, makan, tertawa, dan berkirim pesan singkat sampai pagi.
Sekarang anehnya, jalanan sepi. Orang mendorong gerobak berisi delima, mencari pelanggan. Terdengar decit roda, suara kucing. Tak ada kerumunan yang perlu ditembus, tak ada awan asap rokok tebal. Saya menanyakan hal itu kepada Sharbarzheri. Saya sempat menduga karena cuaca, mungkin juga karena adanya pertandingan sepak bola.
“Banyak yang sudah pergi,” katanya, dan saya mengira pergi ke rumah masing-masing.
“Bukan, ke Eropa. Mereka mengungsi. Ke Turki, lalu berusaha ke Yunani, atau tempat lain. Lalu ke Jerman. Semua orang ingin pergi.”
“Mengapa?”
“Semua orang merasa Irak sudah tawaw, sudah tamat. Dan mereka sudah tak lagi meyakini Kurdistan. Dengan adanya ISIS, dengan perekonomian yang telah payah, mereka tidak melihat peluang. Saya kenal banyak orang yang sudah pergi.”
Saya membayangkan kemah pengungsian yang penuh sesak, kekacauan di Eropa, sementara arus migran yang penuh harap mengalir masuk. Banyak orang Kurdi, jika selamat dalam perjalanan, akan bergabung dengan keluarga yang sudah tinggal di benua itu. Eksodus sudah dimulai bertahun-tahun lalu. Hanya saja, sekarang semakin cepat.
“Anda sendiri?” kata saya. “Tetap di sini?”
Sharbarzheri tersenyum. “Ya. Saya orang Kurdi jenis itu. Saya tak akan pernah pergi.