Jika Anda warga Eropa, dan terutama jika Anda orang Jerman, sudah setahun ini Anda mengalami debat publik meresahkan tentang makna identitas—dan bagaimana orang yang lahir di tempat lain bisa menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Pada akhir Agustus 2015, ketegangan akibat membanjirnya arus pengungsi dari Timur Tengah telah berkembang menjadi ekstrem. Tujuh puluh satu orang didapati tewas, ditelantarkan oleh para pedagang manusia, dalam truk terkunci di Austria. Para pendukung fanatik Neo-Nazi menyerang polisi di luar tempat penampungan di Heidenau, dekat Dresden. Ketika kanselir Jerman, Angela Merkel, berkunjung ke tempat penampungan untuk menunjukkan dukungannya kepada para pengungsi, para demonstran yang geram menyambutnya dengan teriakan “Kamilah bangsa Jerman!” Merkel dimaki sebagai “pelacur,” “lonte tolol,” dan “Volksverräter”—makian di zaman Nazi yang berarti “pengkhianat bangsa.”
Lima hari kemudian, tepatnya pada 31 Agustus, Merkel menyelenggarakan konferensi pers musim panas tahunannya di Berlin. Pada saat yang hampir bersamaan, para pengungsi Suriah di Budapest berjejal-jejal memenuhi kereta api dengan tujuan Jerman. Seperti biasa, Merkel tetap tenang dan tidak goyah. Pemerintahannya, begitu katanya, memperkirakan kedatangan 800.000 orang pengungsi pada 2015 (ternyata jumlahnya melebihi satu juta orang.) Konstitusi Jerman menjamin hak suaka politik, begitu dia mengingatkan pers, dan artikel pertama Konstitusi itu menyatakan, “Martabat manusia tidak dapat diganggu gugat.” Dan, memang lebih banyak orang Jerman yang menolong para pengungsi daripada yang melemparkan batu dan cacian. “Jerman adalah negara yang kuat,” kata Merkel. “Banyak yang sudah berhasil kita capai. Kita dapat melakukan hal ini!”
Suatu hari kelak kata-kata tersebut—“Wir schaffen das!”—mungkin akan terpahat di batu nisannya. Sementara itu, para pengungsi ikut berperan membuat Jerman menjadi pentas paling mengagumkan dalam menampilkan drama kelas dunia. Selama puluhan tahun, migrasi global meningkat lebih pesat daripada pertumbuhan populasi. Pada 2015, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, dunia menampung 244 juta imigran—orang yang tinggal di negara yang bukan tanah kelahirannya. Jumlah pengungsi yang terusir dari tanah kelahiran mereka, sejumlah 21 juta orang, lebih besar daripada jumlah pengungsi di zaman mana pun sejak Perang Dunia II. Para ilmuwan memperkirakan perubahan iklim telah meningkatkan jumlah itu: kekeringan lebih sering terjadi, termasuk kenaikan air laut. Ilmuwan lain mengatakan hal itu ikut berperan dalam perang saudara Suriah, yang memicu eksodus ke Eropa saat ini.
Para pengungsi tiba di benua yang sejak Perang Dunia II telah menjadi tempat tinggal sepertiga imigran dunia. Sejumlah negara besar Eropa, yang pernah mengirim emigran ke Amerika Serikat, kini memiliki populasi yang dilahirkan di negeri asing sebanding dengan Amerika Serikat. Namun, hanya sebagian warga Eropa yang berpikiran jernih, dan lebih sedikit lagi warga Eropa yang berbicara dengan hati yang bersedia menerima kenyataan tersebut. Bahkan di AS, negara yang oleh John F. Kennedy disebut sebagai “negara kaum imigran,” imigrasi merupakan persoalan yang terus mengundang pro dan kontra—dan selalu demikian sejak dahulu. Pada 1750-an, Benjamin Franklin mencemaskan bahwa terlalu banyak orang Jerman yang mengungsi ke Pennsylvania. Katanya, mereka “berkulit hitam.”
Bahasa Jerman memiliki satu kata untuk hal yang dikhawatirkan Franklin itu: Überfremdung, atau “pengasingan berlebihan.” Ini perasaan takut bahwa negara akan menjadi sulit dikenali, karena terdapat terlalu banyak orang asing di dalamnya, berbicara dan berperilaku dengan cara yang aneh pula. Kebanyakan dari kita mungkin sekurang-kurangnya dapat membayangkan perasaan itu. Tahun lalu di Jerman, rasa takut itu ditampilkan dengan cara yang penuh kemarahan dan kebencian. Beberapa kali, berlangsung demonstrasi di malam hari dan pidato retorik berapi-api yang dilakukan oleh para orator sayap kanan. Terjadi ratusan kali serangan ke tempat penampungan pengungsi, yang sebagian besar masih kosong—meskipun beberapa hari sebelum konferensi pers Merkel, para preman mabuk melemparkan bom molotov ke kamar tidur anak di tempat penampungan dekat Hanover.
Para ilmuwan memperkirakan perubahan iklim telah meningkatkan jumlah itu: kekeringan lebih sering terjadi, termasuk kenaikan air laut. Ilmuwan lain mengatakan hal itu ikut berperan dalam perang saudara Suriah, yang memicu eksodus ke Eropa saat ini.
Meskipun begitu, yang lebih santun tetapi tidak kurang tegasnya, adalah orang-orang yang berpikiran jernih. Tiga perempat abad silam, Jerman mengirim kereta penuh orang Yahudi ke kamp konsentrasi di timur; kini, di stasiun kereta api Munich, mereka menyambut kedatangan kereta pengungsi Muslim dengan membagikan makanan, air, boneka binatang, dan senyuman.
“Uni Eropa adalah negara yang amat sangat rapuh,” kata Michael Roth—menteri Jerman untuk Eropa—kepada saya pada April. “Mudah-mudahan saja masyarakat menyadarinya.” Lonjakan pengungsi, disertai ketidakmampuan Jerman untuk membujuk negara Eropa lainnya agar mengikuti sikap Jerman yang menyambut hangat para pengungsi, adalah alasan utama kerapuhan itu. Seluruh dunia pun menyadari hal itu pada 23 Juni, saat Inggris, melalui referendum nasional, meninggalkan Uni Eropa. Pengungsi memang tidak secara langsung menjadi pemicu masalah—Inggris boleh dikatakan tidak pernah menerima pengungsi—tetapi jajak pendapat menunjukkan bahwa mengurangi imigrasi, baik dari dalam maupun dari luar Uni Eropa, merupakan motif utama orang memilih “Brexit”.
Hal yang terjadi di Inggris, dan semakin kuatnya sentimen anti-imigrasi di sejumlah negara lain, tidak pelak lagi telah meningkatkan risiko tentang apa yang terjadi di Jerman. Benarkah Jerman dapat meninggalkan masa lalunya yang kelam dan menjadi Willkommenskultur—masyarakat yang bersedia merangkul orang luar?
Pada pertengahan 1970-an, ketika saya masih di SMA German School of Brussels, Belgia, Volker Damm adalah guru IPS saya. Berperawakan tinggi, berambut pirang keriting serta berwajah lancip, Damm adalah salah seorang guru yang menyenangkan. Di kelas beliaulah saya pertama kali memahami Holocaust—dengan membaca keras-keras pengalaman nyata seorang saksi mata kamp konsentrasi. Lahir pada 1939, Damm baru berusia enam tahun saat perang berakhir. Ayahnya, yang juga guru, adalah pemimpin partai Nazi di desa kecil di negara bagian Hesse, tetapi waktu itu saya belum mengetahuinya.
Hampir 40 tahun kami tidak pernah berhubungan, tetapi Damm tidak sulit ditemukan; sebuah koran lokal memuat artikel tentang kerja sukarelanya demi membela korban kekejaman. Kami mulai saling bertukar kabar, dan saya baru tahu bahwa dalam masa pensiunnya, Damm juga menjadi tutor bagi pengungsi remaja, yang dalam jumlah puluhan ribu datang seorang diri ke Jerman. Damm mengajak saya ke Rotenburg an der Fulda, sebuah kota di Hess yang memiliki penduduk lebih dari 13.000 orang di dekat pusat negara, tempat beliau menjalani sebagian besar kariernya sebagai guru.
Saat musim dingin, saya dan Damm menaiki tangga kayu usang di balai kota abad ke-16 menuju ke kantor mantan mahasiswanya, Walikota Christian Grunwald. Rotenburg adalah kota yang cantik; perumahan kuno semi-kayu mengelompok di sekitar alun-alun pasar dan di sepanjang Sungai Fulda. Di luar, dentang lonceng gereja Protestan menegaskan kedatangan kami tepat pukul sembilan. Di tenggara kota, di Alheimer Kaserne, sebuah pangkalan militer yang berada di atas lembah yang landai, sebanyak 719 orang pengungsi Suriah, Afganistan, Irak, dan lain-lain mulai melakukan aktivitas.
Grunwald adalah sosok pria berusia 39 tahun, bicaranya cepat, penuh pertimbangan, berperawakan langsing dan selalu tersenyum. Sejak terpilih lima tahun yang lalu, dia berusaha mengobarkan semangat dan menggalakkan bisnis ke pertokoan kosong di kotanya. Namun, para pengungsi, yang dengan cepat dirangkulnya, bukan pihak yang menjadi sasarannya. Tatkala negara bagian Hesse mengabarinya pada awal Juli 2015 bahwa ratusan pengungsi akan tiba pada 3 Agustus, “kabar itu meledak ibarat bom,” kata Grunwald.