Warga Eropa Baru

By , Senin, 3 Oktober 2016 | 16:30 WIB
()

Jika Anda warga Eropa, dan terutama jika Anda orang Jerman, sudah setahun ini Anda mengalami debat publik meresahkan tentang makna identitas—dan bagaimana orang yang lahir di tempat lain bisa menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Pada akhir Agustus 2015, ketegangan akibat membanjirnya arus pengungsi dari Timur Tengah telah berkembang menjadi ekstrem. Tujuh puluh satu orang didapati tewas, ditelantarkan oleh para pedagang manusia, dalam truk terkunci di Austria. Para pendukung fanatik Neo-Nazi menyerang polisi di luar tempat penampungan di Heidenau, dekat Dresden. Ketika kanselir Jerman, Angela Merkel, berkunjung ke tempat penampungan untuk menunjukkan dukungannya kepada para pengungsi, para demonstran yang geram menyambutnya dengan teriakan “Kamilah bangsa Jerman!” Merkel dimaki sebagai “pelacur,” “lonte tolol,” dan “Volksverräter”—makian di zaman Nazi yang berarti “pengkhianat bangsa.”

Lima hari kemudian, tepatnya pada 31 Agustus, Merkel menyelenggarakan konferensi pers musim panas tahunannya di Berlin. Pada saat yang hampir bersamaan, para pengungsi Suriah di Budapest berjejal-jejal memenuhi kereta api dengan tujuan Jerman. Seperti biasa, Merkel tetap tenang dan tidak goyah. Pemerintahannya, begitu katanya, memperkirakan kedatangan 800.000 orang pengungsi pada 2015 (ternyata jumlahnya melebihi satu juta orang.) Konstitusi Jerman menjamin hak suaka politik, begitu dia mengingatkan pers, dan artikel pertama Konstitusi itu menyatakan, “Martabat manusia tidak dapat diganggu gugat.” Dan, memang lebih banyak orang Jerman yang menolong para pengungsi daripada yang melemparkan batu dan cacian. “Jerman adalah negara yang kuat,” kata Merkel. “Banyak yang sudah berhasil kita capai. Kita dapat melakukan hal ini!”

Suatu hari kelak kata-kata tersebut—“Wir schaffen das!”—mungkin akan terpahat di batu nisannya. Sementara itu, para pengungsi ikut berperan membuat Jerman menjadi pentas paling mengagumkan dalam menampilkan drama kelas dunia. Selama puluhan tahun, migrasi global meningkat lebih pesat daripada pertumbuhan populasi. Pada 2015, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, dunia menampung 244 juta imigran—orang yang tinggal di negara yang bukan tanah kelahirannya. Jumlah pengungsi yang terusir dari tanah kelahiran mereka, sejumlah 21 juta orang, lebih besar daripada jumlah pengungsi di zaman mana pun sejak Perang Dunia II. Para ilmuwan memperkirakan perubahan iklim telah meningkatkan jumlah itu: kekeringan lebih sering terjadi, termasuk kenaikan air laut. Ilmuwan lain mengatakan hal itu ikut berperan dalam perang saudara Suriah, yang memicu eksodus ke Eropa saat ini.

TEMPAT BERLINDUNG DI EROPA Banyak orang melarikan diri dari negara yang dilanda perang untuk mencari kehidupan yang lebih aman. Selama puluhan tahun, mereka memasuki Eropa. Gelombang manusia ini ikut membentuk karakter Eropa modern. Tantangan terbaru berasal dari jumlah peng­ungsi yang belum pernah dialami sebelumnya, berdatangan pada 2015 dari Suriah, Afganistan, Irak, dan sejumlah negara Afrika. Peng­ungsi mencari suaka, perlindungan menurut hukum internasional yang tak boleh diusir untuk menghadapi bahaya yang justru mereka hindari.

   (MATTHEW W. CHWASTYK DAN MONICA SERRANO, STAF NGM SUMBER: UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER FOR REFUGEES; UNITED NATIONS POPULATION DIVISION; INTERNATIONAL ORGANIZATION FOR MIGRATION; MIGRATION POLICY INSTITUTE; EUROSTAT; FRONTEX)

Para pengungsi tiba di benua yang sejak Perang Dunia II telah menjadi tempat tinggal sepertiga imigran dunia. Sejumlah negara besar Eropa, yang pernah mengirim emigran ke Amerika Serikat, kini memiliki populasi yang dilahirkan di negeri asing sebanding dengan Amerika Serikat. Namun, hanya sebagian warga Eropa yang berpikiran jernih, dan lebih sedikit lagi warga Eropa yang berbicara dengan hati yang bersedia menerima kenyataan tersebut. Bahkan di AS, negara yang oleh John F. Kennedy disebut sebagai “negara kaum imigran,” imigrasi merupakan persoalan yang terus mengundang pro dan kontra—dan selalu demikian sejak dahulu. Pada 1750-an, Benjamin Franklin mencemaskan bahwa terlalu banyak orang Jerman yang mengungsi ke Pennsylvania. Katanya, mereka “berkulit hitam.”

Bahasa Jerman memiliki satu kata untuk hal yang dikhawatirkan Franklin itu: Überfremdung, atau “pengasingan berlebihan.” Ini perasaan takut bahwa negara akan menjadi sulit dikenali, karena terdapat terlalu banyak orang asing di dalamnya, berbicara dan berperilaku dengan cara yang aneh pula. Kebanyakan dari kita mungkin sekurang-kurangnya dapat membayangkan perasaan itu. Tahun lalu di Jerman, rasa takut itu ditampilkan dengan cara yang penuh kemarahan dan kebencian. Beberapa kali, berlangsung demonstrasi di malam hari dan pidato retorik berapi-api yang dilakukan oleh para orator sayap kanan. Terjadi ratusan kali serangan ke tempat penampungan pengungsi, yang sebagian besar masih kosong—meskipun beberapa hari sebelum konferensi pers Merkel, para preman mabuk melemparkan bom molotov ke kamar tidur anak di tempat penampungan dekat Hanover.

Para ilmuwan memperkirakan perubahan iklim telah meningkatkan jumlah itu: kekeringan lebih sering terjadi, termasuk kenaikan air laut. Ilmuwan lain mengatakan hal itu ikut berperan dalam perang saudara Suriah, yang memicu eksodus ke Eropa saat ini.

Meskipun begitu, yang lebih santun tetapi tidak kurang tegasnya, adalah orang-orang yang berpikiran jernih. Tiga perempat abad silam, Jerman mengirim kereta penuh orang Yahudi ke kamp konsentrasi di timur; kini, di stasiun kereta api Munich, mereka menyambut kedatangan kereta pengungsi Muslim dengan membagikan makanan, air, boneka binatang, dan senyuman.

“Uni Eropa adalah negara yang amat sangat rapuh,” kata Michael Roth—menteri Jerman untuk Eropa—kepada saya pada April. “Mudah-mudahan saja masyarakat menyadarinya.” Lonjakan pengungsi, disertai ketidakmampuan Jerman untuk membujuk negara Eropa lainnya agar mengikuti sikap Jerman yang menyambut hangat para pengungsi, adalah alasan utama kerapuhan itu. Seluruh dunia pun menyadari hal itu pada 23 Juni, saat Inggris, melalui referendum nasional, meninggalkan Uni Eropa. Pengungsi memang tidak secara langsung menjadi pemicu masalah—Inggris boleh dikatakan tidak pernah menerima pengungsi—tetapi jajak pendapat menunjukkan bahwa mengurangi imigrasi, baik dari dalam maupun dari luar Uni Eropa, merupakan motif utama orang memilih “Brexit”.

Hal yang terjadi di Inggris, dan semakin kuatnya sentimen anti-imigrasi di sejumlah negara lain, tidak pelak lagi telah meningkatkan risiko tentang apa yang terjadi di Jerman. Benarkah Jerman dapat meninggalkan masa lalunya yang kelam dan menjadi Willkommenskultur—masyarakat yang bersedia merangkul orang luar?

Pada pertengahan 1970-an, ketika saya masih di SMA German School of Brussels, Belgia, Volker Damm adalah guru IPS saya. Berperawakan tinggi, berambut pirang keriting serta berwajah lancip, Damm adalah salah seorang guru yang menyenangkan. Di kelas beliaulah saya pertama kali memahami Holocaust—dengan membaca keras-keras pengalaman nyata seorang saksi mata kamp konsentrasi. Lahir pada 1939, Damm baru berusia enam tahun saat perang berakhir. Ayahnya, yang juga guru, adalah pemimpin partai Nazi di desa kecil di negara bagian Hesse, tetapi waktu itu saya belum mengetahuinya.

Hampir 40 tahun kami tidak pernah berhubungan, tetapi Damm tidak sulit ditemukan; sebuah koran lokal memuat artikel tentang kerja sukarelanya demi membela korban kekejaman. Kami mulai saling bertukar kabar, dan saya baru tahu bahwa dalam masa pensiunnya, Damm juga menjadi tutor bagi pengungsi remaja, yang dalam jumlah puluhan ribu datang seorang diri ke Jerman. Damm mengajak saya ke Rotenburg an der Fulda, sebuah kota di Hess yang memiliki penduduk lebih dari 13.000 orang di dekat pusat negara, tempat beliau menjalani sebagian besar kariernya sebagai guru.

Saat musim dingin, saya dan Damm menaiki tangga kayu usang di balai kota abad ke-16 menuju ke kantor mantan mahasiswanya, Walikota Christian Grunwald. Rotenburg adalah kota yang cantik; perumahan kuno semi-kayu mengelompok di sekitar alun-alun pasar dan di sepanjang Sungai Fulda. Di luar, dentang lonceng gereja Protestan menegaskan kedatangan kami tepat pukul sembilan. Di tenggara kota, di Alheimer Kaserne, sebuah pangkalan militer yang berada di atas lembah yang landai, sebanyak 719 orang pengungsi Suriah, Afganistan, Irak, dan lain-lain mulai melakukan aktivitas.

Grunwald adalah sosok pria berusia 39 tahun, bicaranya cepat, penuh pertimbangan, berperawakan langsing dan selalu tersenyum. Sejak terpilih lima tahun yang lalu, dia berusaha mengobarkan semangat dan menggalakkan bisnis ke pertokoan kosong di kotanya. Namun, para pengungsi, yang dengan cepat dirangkulnya, bukan pihak yang menjadi sasarannya. Tatkala negara bagian Hesse mengabarinya pada awal Juli 2015 bahwa ratusan pengungsi akan tiba pada 3 Agustus, “kabar itu meledak ibarat bom,” kata Grunwald.

“Semua ketakutan,” kata Grunwald. “Namun, tidak ada yang berani maju dan berkata, saya takut; saya tidak menginginkan hal ini!” Tak seorang pun, katanya, menggunakan ungkapan bahasa Jerman, bersedia “dihukum dengan cara Nazi.”

Sekitar 700 orang memenuhi auditorium universitas dalam sebuah rapat kota. Di tempat itu, mereka mendengar informasi dari pejabat negara bahwa Alheimer Kaserne, pangkalan militer yang menghabiskan dana sekitar 600 miliar rupiah untuk direnovasi lalu kemudian militer memutuskan untuk menutupnya, akan menjadi Erstaufnahmeeinrichtung—tempat penampungan para pengungsi selama beberapa bulan pertama mereka di Jerman. Mereka menunggu untuk mengajukan permohonan suaka dan mendapatkan perumahan permanen. Fasilitas utama Hesse di Giessen sudah penuh sesak, kata para pejabat itu. Orang sampai terpaksa tidur di tenda di luar gedung.

Di dalam aula Rotenburg, suasana mulai resah. Siapa yang akan membiayainya? Ada yang bertanya begitu. Apakah para pengungsi diperbolehkan meninggalkan pangkalan itu? Begitu pertanyaan lainnya. Apakah mereka tidak menularkan penyakit? “Semua ketakutan,” kata Grunwald. “Namun, tidak ada yang berani maju dan berkata, saya takut; saya tidak menginginkan hal ini!” Tak seorang pun, katanya, menggunakan ungkapan bahasa Jerman, bersedia “dihukum dengan cara Nazi.”

Thomas Baader, manajer urusan kesejahte­raan di tingkat nasional, mendapat panggilan dari Kementerian Urusan Sosial Hesse pada akhir Juli, yang memintanya untuk mengelola fasilitas baru bagi pengungsi. Dia tiba pada Rabu, 29 Juli. Pengungsi gelombang pertama akan tiba pada Senin. Baader menelepon Grunwald, yang mengirim dua orang pekerja, lalu datang sendiri. Bersama Baader, Grunwald menyiapkan dan membersihkan meja dan kursi di kafetaria. “Dua hari kemudian, sekitar 600 orang berkumpul di depan fasilitas tentara itu,” kata Baader.

Segalanya berlangsung serba tergesa-gesa—tetapi, prosesnya berlangsung dengan sangat lancar. Di tempat lain, prosesnya tidak semulus itu. “Tidak seorang pun yang siap, tidak di Jerman,” begitu kata Anselm Sprandel, koordinator pengungsi di Hamburg. Kota itu harus menampung 35.000 pengungsi tahun lalu—separuh dari jumlah pengungsi yang ditampung AS dari seluruh dunia. “Boleh dikatakan tidak ada tunawisma di negara kami, tidak ada begitu banyak orang tidur di udara terbuka. Namun, sekarang keadaannya mirip begitu.” Staf Sprandel menempatkan pengungsi di toko perlengkapan perbaikan rumah yang bangkrut, dalam unit bangunan bertumpuk yang terbuat dari kontainer, dan di tenda yang dilengkapi pemanas ruangan. Di Berlin, banyak pengungsi ditempatkan di ruang olahraga sekolah atau di hanggar di bandara Tempelhof. Hanya tirai plastik yang memisahkan keluarga atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Di Rotenburg, Baader mengajak saya menyusuri koridor di barak, bekas kamar yang pernah digunakan tentara dan sekarang ditempati oleh keluarga. Hesse kedatangan 7,35890 persen pengungsi, menurut rumus pembagian beban federal. Meskipun pengungsi ditetapkan dan diangkut ke fasilitas tertentu, sehari sebelum perjalanan saya, keluarga Irak yang terdiri atas enam orang berhasil menemukan sendiri markas Rotenburg. “Berita beredar dari mulut ke mulut tentang tempat penampungan yang nyaman,” kata Baader.

Pengungsi telah menjadi lambang yang sangat dikenal di jalanan Rotenburg. Kita melihat mereka berjalan tertatih-tatih ke arah pangkalan militer itu, mendorong kereta bayi dan sepeda tua. Selain kamar, papan, pakaian sumbangan, dan bantuan lain berupa pangan, mereka menerima tunjangan bulanan hingga sekitar 1,6 rupiah juta per orang dewasa dan satu juta rupiah per anak. “Uang yang mereka terima dibelanjakan di kota,” kata Frank Ziegenbein, pemilik Landhaus Silbertanne, sebuah hotel lokal. “Jika tidak, tidak akan ada bisnis yang hidup di Rotenburg”—memang ungkapan itu berlebihan, tetapi Grunwald menegaskan bahwa para pengungsi itu menciptakan iklim positif dalam perekonomian kotanya.

Namun, tetap saja ada warga Rotenburg yang tidak menyukainya, terutama di Facebook. Grunwald terus berbicara tentang kebiasaan pengungsi yang berbeda dengan kebiasaan tertib orang Jerman. Mereka membuang sampah di taman; bersepeda di trotoar.

Pengungsi telah menjadi lambang yang sangat dikenal di jalanan Rotenburg. Kita melihat mereka berjalan tertatih-tatih ke arah pangkalan militer itu, mendorong kereta bayi dan sepeda tua.

Juga masalah kebersihan kamar kecil. Banyak pengungsi, yang terbiasa menggunakan toilet jongkok seperti lazimnya di Asia, tidak menyukai toilet duduk. Grunwald naik ke kursi dan berjongkok agar saya lebih mudah membayangkan hal yang dipermasalahkan itu. Di sebuah pusat pengungsi di Hamburg, saya bertemu dengan dua orang pekerja pemelihara gedung yang membawa kursi toilet; mereka mengeluh karena kursi toilet sering pecah. Di pangkalan Rotenburg, saya melihat seorang pengungsi yang bosan dengan sukarela menyapu trotoar. Namun, semua kamar mandi dibersihkan oleh kontraktor Jerman—untuk memastikan pembersihan dilakukan dengan benar, kata Baader. Saya menyaksikan pekerja mengenakan pakaian penyelam sekali pakai yang ketat, bertutup kepala dan masker, saat membersihkan taman kanak-kanak.

Warga Jerman dan pengungsi menghadapi dua budaya yang sangat berbeda yang untuk saat ini biasanya belum dapat dijembatani dengan bahasa yang sama. “Memaklumi emosi dan jalan pikiran pihak lain—baru pada tahap permulaan,” ujar Grunwald. “Jika kami dapat lebih saling memahami persoalan tersebut, saya yakin kami dapat mencatatnya dalam sejarah.” Dulu, dia tidak terlalu menyukai Merkel, katanya, dan tidak berkeinginan untuk bertugas menyelesaikan persoalan ini. Sekarang, dia menerima tugas itu dengan sepenuh hati.

Dengan beberapa pengecualian yang sangat mencolok, layanan sipil Jerman memberi tanggapan baik. Hal yang lebih mencengangkan adalah seberapa banyak orang Jerman yang memilih untuk secara pribadi ikut membantu para pengungsi itu.

Di Duderstadt, saya berkenalan dengan seniman grafis yang kadang merangkap sebagai DJ, Olaf Knauft, yang tahun lalu mengasuh dua orang remaja Eritrea. Pada suatu hari, begitu dia menjelaskan, dia bertemu dengan seorang wanita dari karang taruna setempat yang bercerita tentang kebutuhan besar untuk mendapatkan sponsor dan rumah bagi semua anak di bawah umur yang sebatang kara. Knauft yang berusia 51, dan dua anaknya, sudah meninggalkan rumah saat mencapai usia dewasa. Sebetulnya dia agak ragu—namun, dia memutuskan untuk mencoba mengasuh pemuda Eritrea berusia 18 tahun bernama Desbele, penganut Kristen Koptik.

Hubungan keduanya terjalin dengan baik—begitu baiknya sehingga tiga minggu setelah Desbele tiba pada bulan Mei, dia bercerita pada Knauft bahwa dia punya adik berusia 16 tahun, Yoisef, yang terjebak di Libia. Desbele berhubungan dengan para penyelundup manusia. Diperlukan dana sekitar 37,5 juta rupiah untuk mendatangkan Yoisef ke Jerman. Knauft memberi Desbele dana sebesar itu. Pada bulan Juli, Knauft dan Desbele berhasil menemukan Yoisef di tepi jalan raya di luar kota Munich, tempat para penyelundup meninggalkannya.

Sekarang Knauft punya dua anak remaja. Dan, meskipun ada kalanya dia mencuci piring makan, dan menegaskan siapa pemimpin di rumah, dia tidak menyesal. Dia menyebut Desbele dan Yoisef “anak saya.” Beberapa hari sebelum saya menemuinya, muncul informasi bahwa Yoisef memiliki saudara kembar, yang dipenjara di Eritrea. Knauft membayar sekitar 22,5 juta rupiah untuk membebaskannya dari penjara dan membawanya ke Sudan, dan di situ kembaran Yoisef menunggu untuk menyeberangi Gurun Sahara. Ini sudah pasti saudara yang terakhir, kata Knauft.

“Memaklumi emosi dan jalan pikiran pihak lain—baru pada tahap permulaan,” ujar Grunwald. “Jika kami dapat lebih saling memahami persoalan tersebut, saya yakin kami dapat mencatatnya dalam sejarah.”

Saya dan Kauft sedang duduk bersama Karin Schulte, pensiunan guru yang menjadi tutor untuk Desbele dan Yoisef di Jerman, tiga kali seminggu, tanpa dibayar. Kedua remaja itu bersekolah di sekolah kejuruan, di kelas khusus bagi imigran, dan sepulang sekolah keduanya belajar di dapur Karin. Karin menyuguhi mereka kopi dan kue kering—kebiasaan orang Jerman. Setelah bimbang selama beberapa waktu, Karin berkata bahwa di Jerman, tidak lazim menyeruput kopi sambil bersuara dengan keras. Yoisef mengakui bahwa menurut neneknya, kebiasaan minum kopi seperti itu juga tidak lazim di Eritrea.

Di Rotenburg, sekelompok pensiunan guru dari Jakob-Grimm-Schule, tempat Damm mengajar selama puluhan tahun, menyelenggarakan Kursus bahasa Jerman di Erstaufnahmeeinrichtung. Pada suatu pagi, selama beberapa jam saya mengobrol di situ dengan Gottfried Wackerbarth. Karena populasi di pangkalan militer itu berubah setiap satu atau dua bulan, Wackerbarth tidak tahu siapa yang akan diajarnya hari itu. Dari begitu banyak orang yang diajarnya, lima pria Afgan berusia 12-35 tahun menyimak dengan tekun. Wackerbarth mengajarkan alfabet dengan menggunakan gambar—B untuk Banane, E untuk Elefant, dst.

Di sebelah saya duduk Sariel, 35. Dengan cepat tampak jelas bahwa Sariel buta huruf, bahkan juga dalam bahasa Dari. Para pemuda lain di kelas itu maju lebih cepat dalam menyelesaikan soal jika dibandingkan dengannya. Saat saya melihatnya menuliskan huruf demi huruf, seperti pada gambar; saat saya membayangkan harus mempelajari coretan buram bahasa Dari yang ditulis salah seorang pemuda di papan tulis. Saya merasa lelah untuk Sariel—bukan karena perjalanan panjang yang ditempuhnya dari Afganistan, tetapi karena perjalanan panjang yang harus dihadapinya di masa depan.

Di kelas ini, murid mulai mengenal sekelumit budaya Jerman—dan pergaulan pertama de­ngan orang Jerman yang bersimpati pada mereka. “Saat berpapasan dengan mereka di kota, mereka menyapa, ‘Halo, Pak Guru!’ dan gembira sekali bahwa saya mengenali mereka,” kata Wackerbarth. Pada suatu siang di Rotenburg saya berkenalan dengan pria Suriah ber­usia 43 tahun yang sudah dua tahun bermukim di Jerman dan sudah menyelesaikan kursus bahasa Jerman selama enam bulan. Sambil duduk di ruang tamunya, kami bercakap-cakap dan terpaksa dibantu juru bahasa Arab. Pria Suriah itu mengakui, usia membuat dirinya tak cocok lagi untuk menjadi murid.

Ahmad, katakanlah begitu namanya—seperti pengungsi lain, dia takut bahwa jika dia mengungkapkan nama aslinya, kerabatnya di Suriah akan menghadapi masalah—dulu bekerja sebagai tukang listrik di Damaskus. Mesir, negara pertama yang didatangi keluarganya untuk menyelamatkan diri, membuat mereka merasa tidak diinginkan. Jerman memberi mereka suaka, kesejahteraan, dan apartemen di pusat kota Rotenburg. Dia sangat berterima kasih. Namun, setelah dua tahun, dia masih menganggur, dan hal itu terasa sangat berat.

“Saya hanya keluar rumah saat belanja ke toko swalayan dan mengantar anak ke sekolah,” katanya. “Karena saya pasti malu kalau ada yang bertanya apa pekerjaan saya. Saya sering sekali menyapu di depan pintu rumah agar ada yang saya kerjakan.” Dia bertanya kepada saya apakah ada panti jompo di dekat tempat tinggalnya yang bersedia menerimanya menjadi tukang bersih-bersih tanpa harus digaji.

Saya merasa lelah untuk Sariel—bukan karena perjalanan panjang yang ditempuhnya dari Afganistan, tetapi karena perjalanan panjang yang harus dihadapinya di masa depan.

Tiga anak Ahmad mendengarkan obrolan kami. Mereka berusia 16, 14, dan delapan tahun. Sudah satu setengah tahun mereka bersekolah di sekolah Jerman; dua anak yang tertua bersekolah di Jakob-Grimm-Schule. Bahasa Jerman mereka lancar. Anak yang tertua mengenakan baju kaos putih ketat bertuliskan “Paris” dalam bahasa Prancis dan Arab—sebagai tanda solidaritas kepada para korban serangan November 2015, katanya. Dia ingin menjadi penata rambut dan sedang magang di sebuah salon. Anak yang berusia 14 tahun ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi; kata gurunya, dia lebih pandai menulis daripada kebanyakan orang Jerman. Dia penyerang tengah dalam tim sepak bola.

Sejak Perang Dunia II, Jerman sudah menerima sekitar 50 juta imigran. Satu di antara delapan orang di Jerman sekarang dilahirkan di negara lain. Namun, tetap saja, saat Angela Merkel mengatakan di depan umum pada 1 Juni 2015, bahwa Jerman adalah Einwanderungsland— “negara imigrasi”—koran Frankfurter Allgemeine menyebut pernyataan itu “bersejarah.” Selama puluhan tahun, partai Merkel, Christian Democratic Union (CDU) menolak deskripsi itu. “Kami menyangkal kenyataan bahwa negara kami adalah negara imigrasi,” kata Martin Lauterbach, yang mengelola program integrasi di Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi, yang lebih dikenal akronimnya dalam bahasa Jerman, BAMF.

Imigran pertama berasal dari etnis Jerman, sekitar 12 juta orang. Mereka terusir dari Eropa Timur saat perang berakhir dan tiba di negara miskin. Baik orang Jerman ataupun bangsa lain, mereka tidak diinginkan. Erika Steinbach, perwakilan CDU di parlemen nasional Jerman dari Frankfurt, menceritakan pelariannya dari kawasan yang sekarang bernama Polandia bersama ibu dan adik bayinya, tiba di sebuah peternakan. “Peternaknya berkata kepada ibu saya, ketika Ibu memerlukan susu untuk adik, ‘Kalian semua lebih busuk daripada kecoak,’” kata Steinbach. “Jarang ada sambutan hangat.”

Bahkan, keadaannya lebih buruk bagi orang Turki. Pada 1950-an dan 1960-an, saat perekonomian melejit, Jerman Barat memerlukan pekerja. Mula-mula, pekerja direkrut dari Italia, lalu Yunani dan Spanyol, tetapi dalam jumlah yang lebih besar dari Turki. Pada umumnya, kaum pria datang sendiri dan bekerja di pabrik atau konstruksi. Mereka tinggal beramai-ramai dalam satu kamar di barak atau asrama. Pada awalnya, kedua belah pihak tidak mengira bahwa mereka akan menetap—mereka disebut Gastarbeiter, pekerja tamu. Mereka biasanya pulang dulu ke Turki setelah satu atau dua tahun bekerja. “Tamu” lain menggantikan mereka.

Itulah gagasan awalnya, tetapi realitas menyebabkan keadaan berubah. Perusahaan tidak ingin kehilangan pekerja yang sudah mereka latih. Pekerja yang kesepian mendatangkan keluarga mereka. Ayah Fatih Evren mendatangkan istri dan tiga anaknya—dan kemudian Fatih lahir di Jerman. “Setelah beberapa lama, Ayah menetap,” kata Fatih. “Menghasilkan uang banyak di Jerman memang menyenangkan.” Di Bebra, kota pekerja yang jaraknya delapan kilometer dari Rotenburg, Evren sekarang bekerja sebagai sekretaris masjid dan pusat komunitas Islam Turki yang dibangun ayah dan rekan-rekannya pada 1983.

Program pekerja tamu ditutup pada 1973, saat embargo minyak Arab memicu resesi. Namun, sekarang hampir tiga juta orang keturunan Turki tinggal di Jerman. Hanya separuhnya yang berstatus warga negara Jerman. Beberapa orang menanjak kariernya dan menjadi terkenal—seperti Cem Özdemir, salah seorang pemimpin Partai Hijau. Namun, yang menarik tentang obrolan saya dengan orang awam Turki adalah perasaan tak menentu yang selalu mereka rasakan tentang Jerman.

Pada umumnya, kaum pria datang sendiri dan bekerja di pabrik atau konstruksi. Mereka tinggal beramai-ramai dalam satu kamar di barak atau asrama. Pada awalnya, kedua belah pihak tidak mengira bahwa mereka akan menetap—mereka disebut Gastarbeiter, pekerja tamu.

“Menjadi ‘tamu’ di suatu negara selama puluhan tahun—itu tidak benar,” kata Ayşe Kose Küçük, pekerja sosial di Kreuzberg, lingkungan perumahan di dekat Berlin yang dihuni oleh banyak orang Turki. Dia tiba di Berlin saat berusia 11 tahun dan sudah tinggal di negara tersebut selama 36 tahun. Sampai sekarang dia masih merasa tidak diterima, dan begitu juga anak-anaknya. “Anak-anak saya, yang tidak pernah saya ajari, ‘Kamu orang Turki,’ sudah mulai berkata, ‘Kita orang Turki,’ setelah kelas empat,” katanya. “Karena mereka dikucilkan. Hal itu membuat hati saya terluka.” Padahal, Kreuzberg adalah kampung halaman yang dicintainya.

“Kami datang sebagai pekerja, dan sebagai pekerja, kami berintegrasi, tetapi tidak sebagai tetangga dan sesama warga negara,” kata Ahmet Sözen, 44, yang lahir di Berlin. Dia tidak dapat sepenuhnya berintegrasi, begitu dia menjelaskan, ke dalam kelompok yang tidak bersedia menerima ayahnya. Sebaliknya, di Bebra, semua orang saling kenal, dan orang Turki menyelenggarakan festival budaya tahunan di alun-alun, kata Fatih Evren; integrasi sudah berhasil. Namun, tetap saja, meskipun dia dilahirkan dan dibesarkan di Jerman dan punya banyak teman orang Jerman, dia ingin dikuburkan di Turki.

Merasa sepenuhnya diterima di Jerman bukan perkara mudah, bahkan juga untuk sebagian orang Jerman. Kakek dan nenek Christian Grunwald dari pihak ibu adalah pengungsi—etnis Jerman dari Serbia utara yang tiba di Rotenburg setelah perang usai. Ibunya mengobrol dengan saya saat siang hari di Alheimer Kaserne. Kami berada di pos penjaga tua, dikelilingi oleh sel penjara yang dipenuhi pakaian sumbangan; Gisela Grunwald (ibu Christian) mengelola kegiatan Palang Merah yang memasok pakaian. Neneknya sekarang berada di panti jompo, kata Christian. Leluhurnya orang Jerman, dia tinggal di Rotenburg selama 65 tahun, cucunya wali kota yang populer—tetapi tetap saja, kata Gisela, suatu hari belum lama ini ada “seseorang menghampiri saya dan berkata, ‘Anda bukan orang Jerman.’ ”Tampaknya aksennya yang khas Serbia masih belum hilang sepenuhnya.

Jerman belajar dari pengalaman dengan orang Turki dan imigran lainnya. Selama 16 tahun terakhir ini, Jerman telah melonggarkan hukum mengenai kewarganegaraan. Sebelum tahun 2000, pada umumnya Anda harus berdarah Jerman—setidaknya ibu atau ayah Anda berdarah Jerman—untuk bisa menjadi warga negara Jerman. Sekarang, jika Anda sudah menjadi penduduk yang sah selama delapan tahun atau ibu atau ayah Anda orang Jerman, Anda bisa menjadi warga negara.

Kemudian, menurut undang-undang yang disahkan pada 2005, pemerintah Jerman sekarang memberikan kursus integrasi—minimal 600 jam pelajaran tentang bahasa dan 60 jam tentang kehidupan orang Jerman—kepada orang yang sudah mendapat atau mungkin akan mendapat suaka. Bahkan saat BAMF mempekerjakan ribuan karyawan baru untuk memproses ratusan ribu aplikasi suaka yang belum tuntas, diperlukan dana lebih dari 75 triliun rupiah tahun ini untuk berbagai program integrasi. Badan itu memperkirakan akan ada 546.000 orang yang mengikuti kursus tersebut pada 2016.

Di dunia politik Jerman, sekarang ada kesepakatan bahwa negara itu memerlukan imigran. Angka kematian melebihi angka kelahiran di Jerman, selisihnya mencapai hampir 200.000 per tahun, dan angka ini terus bertambah. Tanpa imigrasi, populasi akan menciut. Lembaga Kependudukan dan Pembangunan Berlin, sebuah lembaga pakar, memperkirakan bahwa untuk menjaga agar populasi usia-kerja—kelompok penduduk yang membiayai pensiunan yang sudah tua—tetap konstan, Jerman akan membutuhkan imigrasi sekitar setengah juta orang per tahun sampai tahun 2050.

Namun, kebanyakan pengungsi bukanlah buruh terlatih yang dibutuhkan negara—atau yang siap memasuki program magang Jerman. Diperkirakan lebih dari 15 persen pengungsi masih buta huruf. Banyak pengungsi lainnya yang pendidikannya tidak memenuhi standar pendidikan Jerman.

Di sebuah sekolah kejuruan di Bad Hersfeld, saya mengunjungi empat kelas imigran yang diberi waktu dua tahun untuk mendapatkan keterampilan bahasa dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk ijazah kelas 10, yang kemudian dapat melanjutkan dengan magang. Kebanyakan sudah terlalu tua untuk duduk di kelas 10. Di salah satu kelas saya mengenali Mustafa, pemuda Afganistan berusia 17 tahun yang berwajah sedih. Saya berkenalan dengannya sehari sebelumnya di rumah untuk anak-anak pengungsi, tempat Damm mengajar. Mustafa bercerita pada saya tentang betapa senangnya dia berada di Jerman, bukan hanya karena dia aman sekarang, tetapi juga karena dia dapat bersekolah.

Kebanyakan imigran di sekolah Bad Hersfeld, kata direktur Dirk Beulshausen, “memandangnya sebagai anugerah bahwa mereka boleh belajar. Banyak siswa Jerman memandang sekolah sebagai kewajiban, dan kewajiban pastilah tidak menyenangkan.” Ada batasnya juga hal yang dapat dicapai melalui semangat. Salah seorang pekerja sosial di situ, Joanna Metz, menduga sekitar separuh imigran dalam program itu mungkin tidak akan berhasil meraih ijazah. “Masalahnya, terlalu banyak pelajaran yang harus diselesaikan,” katanya. “Pada dasarnya, mereka butuh 48 jam sehari.”

Lebih dari 60 persen akan melarang khitan, ritual penting dalam agama Islam dan Yahudi. Hal yang terakhir, sekitar 40 persen orang memiliki pendapat bahwa untuk menjadi orang Jerman, Anda harus bisa berbahasa Jerman tanpa aksen.

Pengungsi yang masih cukup muda untuk bisa dengan cepat menyesuaikan diri, seperti anak-anak Ahmad, kemungkinan akan menjadi unsur positif bagi perekonomian Jerman. Bagi populasi pengungsi secara keseluruhan, masih terlalu dini untuk meramalkan apa yang akan terjadi kelak. Badan Buruh Federal memperkirakan, 50 persen dari para pengungsi akan tetap menganggur setelah tinggal selama lima tahun, kemudian turun menjadi 25 persen setelah 12 tahun.

Namun, alasan untuk menerima mereka adalah alasan kemanusiaan, bukan ekonomi. Sebagian besar masyarakat masih belum yakin. Jumlah orang yang bersedia melemparkan bom molotov ke tempat penampungan pengungsi atau melontarkan kata-kata kotor kepada kanselir, jumlahnya hanya sedikit jika dibandingkan dengan orang Jerman yang cinta akan kedamaian dan pada umumnya tidak suka berbicara. Padahal di dalam hati, mereka tidak ingin begitu banyak imigran di Jerman, terutama imigran Muslim.

Sebagian besar orang Jerman menerima imigrasi dan Islam dari segi nalar, kata ilmuwan politik Naika Foroutan dari Institute Berlin untuk Penelitian Integrasi dan Migrasi—tetapi dari segi emosional, tidak begitu banyak. Tim Foroutan menyigi 8.270 penduduk Jerman pada 2014, sebelum terjadinya serangan teroris di Paris atau Brussels atau melonjaknya jumlah pengungsi. Ternyata hampir 40 persen berpendapat bahwa Anda bukan orang Jerman jika mengenakan jilbab. Empat puluh persen akan membatasi pembangunan masjid yang  mencolok. Lebih dari 60 persen akan melarang khitan, ritual penting dalam agama Islam dan Yahudi. Hal yang terakhir, sekitar 40 persen orang memiliki pendapat bahwa untuk menjadi orang Jerman, Anda harus bisa berbahasa Jerman tanpa aksen.

Bahkan sebelum terjadinya serangan teroris, sebelum terjadinya serangkaian insiden aneh di luar stasiun kereta api Cologne pada malam tahun baru, ketika para imigran, lebih dari setengahnya dari Afrika Utara, melecehkan dan menganiaya ratusan perempuan, banyak orang Jerman yang memandang pemeluk Islam sebagai ancaman. Perasaan itu telah memicu kebangkitan hak politik. “Saya tidak percaya massa seperti itu dapat berintegrasi,” kata Björn Höcke dari Alternative für Deutschland (AfD), partai populis yang setelah pemilihan umum Maret yang lalu sekarang memiliki perwakilan di setengah dari lembaga legislatif negara bagian di Jerman.  Höcke memimpin delegasi di negara bagian Thuringia di sebelah timur. Imigrasi, menurut pendapatnya, telah menggerogoti “komunitas yang saling percaya” yang pernah ada di Jerman. AfD, adalah “peluang damai terakhir untuk negara kita.”

Höcke menakutkan dan menyebalkan di mata sejumlah besar orang Jerman. “Ya ampun!” Damm berseru, saat saya mengatakan bahwa saya akan menemuinya. Jika melihat sosoknya, Höcke adalah orang pintar dan tenang; beberapa tahun yang lalu, dia guru sejarah. Namun, ketika dia berhasil mengobarkan nasionalisme dalam demonstrasi AfD di Erfurt, ketika dia memimpin kerumunan orang di alun-alun gereja untuk meneriakkan “Wir sind das Volk—Kita Bangsa Jerman,” yang maksudnya bangsa Jerman yang oleh Merkel hendak “dihapus” melalui imigrasi—hal itu mengingatkan banyak orang Jerman akan Nazi. “Sportpalast 1943,” kata Christian Grunwald, mengacu pada pidato terkenal yang dilakukan oleh Joseph Goebbels.

“Saya tidak menginginkan hal itu,” katanya dengan santai. “Kami harus melestarikan jati diri kami.” Steinbach menjelaskan ancaman itu dengan lelucon.

Namun, banyak orang Jerman yang merasakan setidaknya sejumlah kerisauan yang dirasakan Höcke—dan serentetan serangan oleh pengungsi pada musim panas ini semakin mengobarkannya. Dalam pemilihan county di Hesse pada Maret yang lalu, satu dari delapan pemilih Rotenburg memilih AfD; dalam pemilihan legislatif negara bagian di Saxony-Anhalt minggu berikutnya, angkanya mencapai satu dari empat. Akan sulit menghukum begitu banyak orang dengan peraturan Nazi. Apa yang mereka takutkan?

Singkatnya: Parallelgesellschaften, atau “masyarakat paralel.” “Bagian kota yang membuat kita tidak akan tahu bahwa kita berada di Jerman,” begitu kata Höcke. Istilah itu begitu menakutkan di kalangan orang Jerman moderat. Bagi orang Amerika, mungkin memunculkan gambaran yang lebih halus—Chinatown atau Little Italy. Mengapa orang Jerman tidak bisa memandang kaum imigran sekarang, dengan semangat yang sama? Saya mengajukan pertanyaan itu kepada Erika Steinbach, yang, meskipun pernah berstatus pengungsi, telah menjadi kritikus kontroversial kebijakan Merkel.

“Saya tidak menginginkan hal itu,” katanya dengan santai. “Kami harus melestarikan jati diri kami.” Steinbach menjelaskan ancaman itu dengan lelucon. Sekretarisnya di Berlin pernah digerayangi di stasiun kereta api oleh seorang pria yang “dapat dipastikan” adalah pengungsi. Anak penata rambutnya di Frankfurt adalah salah satu dari hanya dua orang Jerman asli di kelas sekolah dasar. Seorang staf CDU di situ mengatakan bahwa geng imigran berjalan menyusuri jalanan utama perbelanjaan dan dengan sengaja bersendawa ke wajah orang lain. “Ya ampun,” kata Steinbach. “Mau dibawa ke mana negara ini?”

Ketika berbicara dengannya, saya telah berkenalan dengan beberapa wajah baru Jerman. Ada Ahmad, yang rajin menyapu di depan pintu rumahnya di Rotenburg. Ada dua anak laki-laki di tempat penampungan di Berlin, yang terus menangis sampai tertidur ketika tidak dapat menghubungi ibu mereka di Damaskus, kata Mohamad, sang ayah. Ada Sharif, yang melihat Jerman sebagai kesempatan terakhir; anak-anaknya tidak bersekolah lagi sejak perang mulai pada 2011.

Lalu, di sebuah pusat kebugaran di Berlin ada seorang wanita berwajah lonjong berusia 20 tahun, jelas sedang hamil, mengenakan jilbab putih. Dia menangis—karena merindukan keluarganya di Suriah, karena begitu baiknya orang Jerman, tetapi juga betapa takutnya dia ketika pada suatu malam sekelompok orang Jerman yang sedang marah-marah berkumpul di jalan di luar rumahnya. Kalau saja bisa, katanya, dia akan berkata kepada orang-orang Jerman itu bahwa dia tidak bermaksud mengambil atau mengubah apa pun.

Kebencian itu mengerikan, tetapi saya bisa memaklumi ketakutan yang dirasakan oleh banyak orang Jerman. Bahkan Ahmad pun bisa memakluminya. “Orang Jerman berhak mencemaskan negara mereka,” katanya. “Jerman sudah terbiasa aman dan tertib. Orang takut hal itu akan berubah.” Namun, pertemuan dengannya dan dengan orang lainnya telah memengaruhi saya. Saya bertanya kepada Steinbach apakah dia punya kontak pribadi dengan para pengungsi.

“Tidak,” katanya.

sikap bermusuhan terhadap kaum imigran di Jerman paling kuat di kawasan yang justru paling sedikit jumlah imigrannya, di bekas sejumlah negara bagian di Jerman Timur. Mereka tetap miskin dibandingkan dengan penduduk Jerman Barat. Kesenjangan yang semakin melebar antara orang kaya dan miskin di negara ini secara keseluruhan juga dapat menggalakkan sentimen anti-imigran—padahal tidak ada alasan kuat untuk mencemaskan pengungsi, kata Naika Foroutan. Perekonomian Jerman kuat, angka pengangguran rendah, dan pemerintah mendapatkan surplus 19,4 miliar euro tahun lalu. Jerman mampu mengintegrasikan pengungsi sekaligus berinvestasi dalam infrastruktur yang menguntungkan semua orang Jerman. “Ini bukan kepanikan ekonomi,” kata Foroutan. “Ini kepanikan budaya.”

Foroutan, 44, yang ibunya orang Jerman dan ayahnya pengungsi dari Iran, menggantungkan harapan pada bidang pendidikan. “Kita dapat mendidik orang untuk memandang integrasi sebagai hal yang sudah jelas dengan sendirinya” katanya—sama seperti Jerman yang telah berusaha, dengan tidak terlalu berhasil, untuk membasmi anti Semitisme. Sejak Perang Dunia II, generasi dibesarkan dengan belajar dari televisi dan dari sekolah, tentang hal-hal yang dilakukan Nazi. Survei Foroutan menunjukkan bahwa perubahan yang sama sedang berlangsung sehubungan dengan kaum imigran. Kaum muda Jerman jauh lebih mungkin bersedia menerima khitan dan masjid.

Namun, para pengungsi itu tiba di negara yang masih meraba-raba untuk memperoleh identitas baru—”’kami’, Jerman yang baru,’ begitu Presiden Joachim Gauck menyebutnya dalam pidato 2014. “Kami” yang lebih inklusif itu, kata Foroutan, adalah bagian dari Jerman yang ingin menjadi negara modern: terbuka kepada dunia dan terbuka menerima perubahan. Namun, banyak imigran Muslim yang tidak benar-benar terbuka dan modern. Sekitar 30 persen dari mereka, menurut survei 2013, adalah kaum fundamentalis: Mereka percaya bahwa Islam harus kembali ke akarnya, ke abad ketujuh, dan bahwa hukum Islam harus didahulukan daripada hukum sekuler. Di Masjid Mevlana di Kreuzberg, saya berkenalan dengan seorang guru muda berjanggut, Serkan Özalpay, yang berbicara, sebagaimana Muslim lainnya, tentang sikap bermusuhan yang diterimanya dari orang Jerman. Lalu, Özalpay membuat saya tercengang dengan berbicara seperti AfD. “Para pengungsi tidak seharusnya berada di sini,” katanya. “Muslim tidak seharusnya berada di negara ini.” Dia menganjurkan umatnya untuk kembali ke Turki, jika mereka bisa, bahwa terlalu sulit untuk hidup sesuai dengan ajaran Quran di Jerman.

Salah satu ajaran yang menyebabkan pria tradisional Muslim berkonflik dengan orang Jerman, yang konstitusinya menjamin hak-hak yang sama bagi perempuan, adalah aturan yang melarang lelaki berjabat tangan dengan kaum perempuan. Ajaran lainnya adalah tidak adanya toleransi terhadap kaum homoseksual. Di sebuah studio di Neukölln, sehari setelah saya berkenalan dengan Özalpay, saya berjabat tangan dengan seorang Muslim yang lain lagi pandangannya—seorang DJ lesbian yang sangat vokal bernama İpek İpekçioğlu. Dia dibesarkan di Berlin yang menurut Özalpay tidak bertuhan, dan İpek menyukai kota itu.

“Ini adalah waktu yang menggairahkan di Jerman,” katanya, ketika kami kembali membicarakan pengungsi. “Memang saya kagum oleh kemauan luar biasa orang Jerman untuk membantu. Dan kemauan itu benar-benar masih belum surut.”

Namun, İpek tidak selalu merasa begitu. Setelah lulus dari SMA, katanya, bahasa Jermannya masih jelek dan dia tidak memiliki ikatan emosional dengan negara itu. Dia bekerja sebagai pengasuh anak di London, tidak tahu kapan dapat kembali ke Jerman. Pada suatu hari, secara kebetulan dia mengambil buku puisi Goethe dari rak buku.

Judulnya West-Eastern Divan, dan dalam buku itu, sang penyair terkenal—yang juga terkenal melalui buku Weltoffenheit, sikapnya yang bersedia menerima dunia—memuji-muji Islam. Semua puisinya sangat mengesankan bagi İpekçioğlu. “Bukan main,” dia masih ingat yang dipikirkannya saat itu, “ini benar-benar bahasa yang indah.” Dia kembali ke Berlin. Sekarang, ada kalanya dia berbicara di mancanegara mewakili Goethe Institut—mewakili Jerman baru.

Jerman masa lalu, kata İpekçioğlu, memiliki hal-hal bagus—misalnya Goethe—tetapi, masih “kesulitan untuk mengatakan, saya bersedia membuka diri dan menerima perubahan.” Dia sedang di panggung di Leipzig, memutar musik Anatolian (musik Turki). Seorang pria datang menghampirinya dan memintanya memutar lagu “Jerman”. Namun, dia justru semakin gencar memutar lagu-lagu etnis itu.

Dia ingin pria itu—dan seluruh Jerman—menangkap pesan yang disampaikannya: “Kami hadir di sini. Kami tidak akan pergi. Kami akan membentuk kota ini agar sesuai dengan kehidupan kami.”

Takut akan kehadiran orang lain pasti dirasakan oleh semua orang,” kata İpekçioğlu. “Bukan hanya orang Jerman.” Namun, orang-orang Jerman memendam rasa takut yang sangat mencekam. Akibatnya, banyak di antara mereka yang masih merasakan pengaruhnya: takut pada diri sendiri.

“Andaikan saya sudah cukup dewasa saat itu, pasti saya sudah masuk SS,” Damm berkata. “Saya hanya berharap saya tidak menjadi penjaga kamp.”

“Keadaannya genting,” Gerd Rosenkranz mengungkapkan. Ia adalah seorang analis politik di Berlin, yang berbicara tentang perubahan politik secara mendadak yang mendukung hak politik orang Jerman. “Kami masih tetap bisa terperosok. Dan kemudian kembali lagi ke masa lalu.”

Pada 9 November 1938, ketika Kristallnacht, atau Malam Jendela Kaca Pecah, mulai menyebar ke seluruh Jerman, kerusuhan sudah melanda Rotenburg dan Bebra. Massa memecahkan jendela dan menghancurkan rumah orang Yahudi dua malam sebelumnya. Goebbels sendiri memuji wilayah itu, kata Heinrich Nuhn, mantan guru sejarah. Nuhn merawat sebuah museum kecil yang didedikasikan untuk orang-orang Yahudi Rotenburg yang hilang, di sebuah rumah di Sungai Fulda yang di masa lalu merupakan mikvah—ritual mandi—kaum wanita.

Pada suatu sore, saya dan Damm mengunjungi balai kota Bebra untuk menemui Uli Rathmann, 56, pria yang mengepalai program taman kanak-kanak dan karang taruna di kota itu. Rathmann dibesarkan di sebuah desa di dekatnya, dan belum pernah melihat imigran—”masyarakat paralel,” begitu dia menyebutnya sekarang. Setelah menjadi pekerja sosial di Bebra, dia mulai bekerja dengan imigran sepanjang waktu. Sekarang, seandainya Bebra menjadi 90 persen asing, baginya tidak jadi soal.

Rathmann mengajak saya ke jendela untuk melihat ke bawah menunjuk ke plakat perunggu yang mencantumkan daftar nama 82 orang Yahudi dari Bebra yang tewas di kamp konsentrasi. Sebuah plakat kecil memperingati sinagog yang sudah tidak ada.

“Ini adalah waktu yang menggairahkan di Jerman,” katanya, ketika kami kembali membicarakan pengungsi. “Memang saya kagum oleh kemauan luar biasa orang Jerman untuk membantu. Dan kemauan itu benar-benar masih belum surut.”

Damm, yang semula mendengarkan obrolan kami tanpa menimpali, langsung menyela. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya ...” Dia berhenti, meminta maaf. Saya memandang mantan guru saya itu; matanya berkaca-kaca. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya,” dia melanjutkan, “saya bisa mengatakan bahwa saya bangga pada Jerman.”

Saya berpaling kembali pada Rathmann. Matanya juga berkaca-kaca. Kami berbicara tentang betapa sulitnya bagi orang Jerman untuk merasakan kebanggaan nasional yang sehat. Hal yang melampaui kebanggaan memenangi pertandingan sepak bola Piala Dunia, tetapi tanpa merasa pongah dan berbahaya. Mungkin, kata Rathmann, orang Jerman dapat merasa “bangga bahwa kami membantu para pengungsi.” Mungkin kebanggaan berasal dari “demokrasi yang bergelora,” dari perasaan bahwa “inilah negara saya, saya akan berjuang keras dan ikut berpartisipasi sepenuhnya.” Dia kembali ke komputernya untuk mencari nomor telepon seseorang yang menurutnya perlu saya ajak bicara, seorang pria yang membantunya membangun gedung karang taruna yang baru. Pria yang dimaksudkannya adalah Fatih Evren, yang berada di masjid.