Warga Eropa Baru

By , Senin, 3 Oktober 2016 | 16:30 WIB
()

Sebagian besar orang Jerman menerima imigrasi dan Islam dari segi nalar, kata ilmuwan politik Naika Foroutan dari Institute Berlin untuk Penelitian Integrasi dan Migrasi—tetapi dari segi emosional, tidak begitu banyak. Tim Foroutan menyigi 8.270 penduduk Jerman pada 2014, sebelum terjadinya serangan teroris di Paris atau Brussels atau melonjaknya jumlah pengungsi. Ternyata hampir 40 persen berpendapat bahwa Anda bukan orang Jerman jika mengenakan jilbab. Empat puluh persen akan membatasi pembangunan masjid yang  mencolok. Lebih dari 60 persen akan melarang khitan, ritual penting dalam agama Islam dan Yahudi. Hal yang terakhir, sekitar 40 persen orang memiliki pendapat bahwa untuk menjadi orang Jerman, Anda harus bisa berbahasa Jerman tanpa aksen.

Bahkan sebelum terjadinya serangan teroris, sebelum terjadinya serangkaian insiden aneh di luar stasiun kereta api Cologne pada malam tahun baru, ketika para imigran, lebih dari setengahnya dari Afrika Utara, melecehkan dan menganiaya ratusan perempuan, banyak orang Jerman yang memandang pemeluk Islam sebagai ancaman. Perasaan itu telah memicu kebangkitan hak politik. “Saya tidak percaya massa seperti itu dapat berintegrasi,” kata Björn Höcke dari Alternative für Deutschland (AfD), partai populis yang setelah pemilihan umum Maret yang lalu sekarang memiliki perwakilan di setengah dari lembaga legislatif negara bagian di Jerman.  Höcke memimpin delegasi di negara bagian Thuringia di sebelah timur. Imigrasi, menurut pendapatnya, telah menggerogoti “komunitas yang saling percaya” yang pernah ada di Jerman. AfD, adalah “peluang damai terakhir untuk negara kita.”

Höcke menakutkan dan menyebalkan di mata sejumlah besar orang Jerman. “Ya ampun!” Damm berseru, saat saya mengatakan bahwa saya akan menemuinya. Jika melihat sosoknya, Höcke adalah orang pintar dan tenang; beberapa tahun yang lalu, dia guru sejarah. Namun, ketika dia berhasil mengobarkan nasionalisme dalam demonstrasi AfD di Erfurt, ketika dia memimpin kerumunan orang di alun-alun gereja untuk meneriakkan “Wir sind das Volk—Kita Bangsa Jerman,” yang maksudnya bangsa Jerman yang oleh Merkel hendak “dihapus” melalui imigrasi—hal itu mengingatkan banyak orang Jerman akan Nazi. “Sportpalast 1943,” kata Christian Grunwald, mengacu pada pidato terkenal yang dilakukan oleh Joseph Goebbels.

“Saya tidak menginginkan hal itu,” katanya dengan santai. “Kami harus melestarikan jati diri kami.” Steinbach menjelaskan ancaman itu dengan lelucon.

Namun, banyak orang Jerman yang merasakan setidaknya sejumlah kerisauan yang dirasakan Höcke—dan serentetan serangan oleh pengungsi pada musim panas ini semakin mengobarkannya. Dalam pemilihan county di Hesse pada Maret yang lalu, satu dari delapan pemilih Rotenburg memilih AfD; dalam pemilihan legislatif negara bagian di Saxony-Anhalt minggu berikutnya, angkanya mencapai satu dari empat. Akan sulit menghukum begitu banyak orang dengan peraturan Nazi. Apa yang mereka takutkan?

Singkatnya: Parallelgesellschaften, atau “masyarakat paralel.” “Bagian kota yang membuat kita tidak akan tahu bahwa kita berada di Jerman,” begitu kata Höcke. Istilah itu begitu menakutkan di kalangan orang Jerman moderat. Bagi orang Amerika, mungkin memunculkan gambaran yang lebih halus—Chinatown atau Little Italy. Mengapa orang Jerman tidak bisa memandang kaum imigran sekarang, dengan semangat yang sama? Saya mengajukan pertanyaan itu kepada Erika Steinbach, yang, meskipun pernah berstatus pengungsi, telah menjadi kritikus kontroversial kebijakan Merkel.

“Saya tidak menginginkan hal itu,” katanya dengan santai. “Kami harus melestarikan jati diri kami.” Steinbach menjelaskan ancaman itu dengan lelucon. Sekretarisnya di Berlin pernah digerayangi di stasiun kereta api oleh seorang pria yang “dapat dipastikan” adalah pengungsi. Anak penata rambutnya di Frankfurt adalah salah satu dari hanya dua orang Jerman asli di kelas sekolah dasar. Seorang staf CDU di situ mengatakan bahwa geng imigran berjalan menyusuri jalanan utama perbelanjaan dan dengan sengaja bersendawa ke wajah orang lain. “Ya ampun,” kata Steinbach. “Mau dibawa ke mana negara ini?”

Ketika berbicara dengannya, saya telah berkenalan dengan beberapa wajah baru Jerman. Ada Ahmad, yang rajin menyapu di depan pintu rumahnya di Rotenburg. Ada dua anak laki-laki di tempat penampungan di Berlin, yang terus menangis sampai tertidur ketika tidak dapat menghubungi ibu mereka di Damaskus, kata Mohamad, sang ayah. Ada Sharif, yang melihat Jerman sebagai kesempatan terakhir; anak-anaknya tidak bersekolah lagi sejak perang mulai pada 2011.

Lalu, di sebuah pusat kebugaran di Berlin ada seorang wanita berwajah lonjong berusia 20 tahun, jelas sedang hamil, mengenakan jilbab putih. Dia menangis—karena merindukan keluarganya di Suriah, karena begitu baiknya orang Jerman, tetapi juga betapa takutnya dia ketika pada suatu malam sekelompok orang Jerman yang sedang marah-marah berkumpul di jalan di luar rumahnya. Kalau saja bisa, katanya, dia akan berkata kepada orang-orang Jerman itu bahwa dia tidak bermaksud mengambil atau mengubah apa pun.

Kebencian itu mengerikan, tetapi saya bisa memaklumi ketakutan yang dirasakan oleh banyak orang Jerman. Bahkan Ahmad pun bisa memakluminya. “Orang Jerman berhak mencemaskan negara mereka,” katanya. “Jerman sudah terbiasa aman dan tertib. Orang takut hal itu akan berubah.” Namun, pertemuan dengannya dan dengan orang lainnya telah memengaruhi saya. Saya bertanya kepada Steinbach apakah dia punya kontak pribadi dengan para pengungsi.

“Tidak,” katanya.

sikap bermusuhan terhadap kaum imigran di Jerman paling kuat di kawasan yang justru paling sedikit jumlah imigrannya, di bekas sejumlah negara bagian di Jerman Timur. Mereka tetap miskin dibandingkan dengan penduduk Jerman Barat. Kesenjangan yang semakin melebar antara orang kaya dan miskin di negara ini secara keseluruhan juga dapat menggalakkan sentimen anti-imigran—padahal tidak ada alasan kuat untuk mencemaskan pengungsi, kata Naika Foroutan. Perekonomian Jerman kuat, angka pengangguran rendah, dan pemerintah mendapatkan surplus 19,4 miliar euro tahun lalu. Jerman mampu mengintegrasikan pengungsi sekaligus berinvestasi dalam infrastruktur yang menguntungkan semua orang Jerman. “Ini bukan kepanikan ekonomi,” kata Foroutan. “Ini kepanikan budaya.”

Foroutan, 44, yang ibunya orang Jerman dan ayahnya pengungsi dari Iran, menggantungkan harapan pada bidang pendidikan. “Kita dapat mendidik orang untuk memandang integrasi sebagai hal yang sudah jelas dengan sendirinya” katanya—sama seperti Jerman yang telah berusaha, dengan tidak terlalu berhasil, untuk membasmi anti Semitisme. Sejak Perang Dunia II, generasi dibesarkan dengan belajar dari televisi dan dari sekolah, tentang hal-hal yang dilakukan Nazi. Survei Foroutan menunjukkan bahwa perubahan yang sama sedang berlangsung sehubungan dengan kaum imigran. Kaum muda Jerman jauh lebih mungkin bersedia menerima khitan dan masjid.