“Semua ketakutan,” kata Grunwald. “Namun, tidak ada yang berani maju dan berkata, saya takut; saya tidak menginginkan hal ini!” Tak seorang pun, katanya, menggunakan ungkapan bahasa Jerman, bersedia “dihukum dengan cara Nazi.”
Sekitar 700 orang memenuhi auditorium universitas dalam sebuah rapat kota. Di tempat itu, mereka mendengar informasi dari pejabat negara bahwa Alheimer Kaserne, pangkalan militer yang menghabiskan dana sekitar 600 miliar rupiah untuk direnovasi lalu kemudian militer memutuskan untuk menutupnya, akan menjadi Erstaufnahmeeinrichtung—tempat penampungan para pengungsi selama beberapa bulan pertama mereka di Jerman. Mereka menunggu untuk mengajukan permohonan suaka dan mendapatkan perumahan permanen. Fasilitas utama Hesse di Giessen sudah penuh sesak, kata para pejabat itu. Orang sampai terpaksa tidur di tenda di luar gedung.
Di dalam aula Rotenburg, suasana mulai resah. Siapa yang akan membiayainya? Ada yang bertanya begitu. Apakah para pengungsi diperbolehkan meninggalkan pangkalan itu? Begitu pertanyaan lainnya. Apakah mereka tidak menularkan penyakit? “Semua ketakutan,” kata Grunwald. “Namun, tidak ada yang berani maju dan berkata, saya takut; saya tidak menginginkan hal ini!” Tak seorang pun, katanya, menggunakan ungkapan bahasa Jerman, bersedia “dihukum dengan cara Nazi.”
Thomas Baader, manajer urusan kesejahteraan di tingkat nasional, mendapat panggilan dari Kementerian Urusan Sosial Hesse pada akhir Juli, yang memintanya untuk mengelola fasilitas baru bagi pengungsi. Dia tiba pada Rabu, 29 Juli. Pengungsi gelombang pertama akan tiba pada Senin. Baader menelepon Grunwald, yang mengirim dua orang pekerja, lalu datang sendiri. Bersama Baader, Grunwald menyiapkan dan membersihkan meja dan kursi di kafetaria. “Dua hari kemudian, sekitar 600 orang berkumpul di depan fasilitas tentara itu,” kata Baader.
Segalanya berlangsung serba tergesa-gesa—tetapi, prosesnya berlangsung dengan sangat lancar. Di tempat lain, prosesnya tidak semulus itu. “Tidak seorang pun yang siap, tidak di Jerman,” begitu kata Anselm Sprandel, koordinator pengungsi di Hamburg. Kota itu harus menampung 35.000 pengungsi tahun lalu—separuh dari jumlah pengungsi yang ditampung AS dari seluruh dunia. “Boleh dikatakan tidak ada tunawisma di negara kami, tidak ada begitu banyak orang tidur di udara terbuka. Namun, sekarang keadaannya mirip begitu.” Staf Sprandel menempatkan pengungsi di toko perlengkapan perbaikan rumah yang bangkrut, dalam unit bangunan bertumpuk yang terbuat dari kontainer, dan di tenda yang dilengkapi pemanas ruangan. Di Berlin, banyak pengungsi ditempatkan di ruang olahraga sekolah atau di hanggar di bandara Tempelhof. Hanya tirai plastik yang memisahkan keluarga atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Di Rotenburg, Baader mengajak saya menyusuri koridor di barak, bekas kamar yang pernah digunakan tentara dan sekarang ditempati oleh keluarga. Hesse kedatangan 7,35890 persen pengungsi, menurut rumus pembagian beban federal. Meskipun pengungsi ditetapkan dan diangkut ke fasilitas tertentu, sehari sebelum perjalanan saya, keluarga Irak yang terdiri atas enam orang berhasil menemukan sendiri markas Rotenburg. “Berita beredar dari mulut ke mulut tentang tempat penampungan yang nyaman,” kata Baader.
Pengungsi telah menjadi lambang yang sangat dikenal di jalanan Rotenburg. Kita melihat mereka berjalan tertatih-tatih ke arah pangkalan militer itu, mendorong kereta bayi dan sepeda tua. Selain kamar, papan, pakaian sumbangan, dan bantuan lain berupa pangan, mereka menerima tunjangan bulanan hingga sekitar 1,6 rupiah juta per orang dewasa dan satu juta rupiah per anak. “Uang yang mereka terima dibelanjakan di kota,” kata Frank Ziegenbein, pemilik Landhaus Silbertanne, sebuah hotel lokal. “Jika tidak, tidak akan ada bisnis yang hidup di Rotenburg”—memang ungkapan itu berlebihan, tetapi Grunwald menegaskan bahwa para pengungsi itu menciptakan iklim positif dalam perekonomian kotanya.
Namun, tetap saja ada warga Rotenburg yang tidak menyukainya, terutama di Facebook. Grunwald terus berbicara tentang kebiasaan pengungsi yang berbeda dengan kebiasaan tertib orang Jerman. Mereka membuang sampah di taman; bersepeda di trotoar.
Pengungsi telah menjadi lambang yang sangat dikenal di jalanan Rotenburg. Kita melihat mereka berjalan tertatih-tatih ke arah pangkalan militer itu, mendorong kereta bayi dan sepeda tua.
Juga masalah kebersihan kamar kecil. Banyak pengungsi, yang terbiasa menggunakan toilet jongkok seperti lazimnya di Asia, tidak menyukai toilet duduk. Grunwald naik ke kursi dan berjongkok agar saya lebih mudah membayangkan hal yang dipermasalahkan itu. Di sebuah pusat pengungsi di Hamburg, saya bertemu dengan dua orang pekerja pemelihara gedung yang membawa kursi toilet; mereka mengeluh karena kursi toilet sering pecah. Di pangkalan Rotenburg, saya melihat seorang pengungsi yang bosan dengan sukarela menyapu trotoar. Namun, semua kamar mandi dibersihkan oleh kontraktor Jerman—untuk memastikan pembersihan dilakukan dengan benar, kata Baader. Saya menyaksikan pekerja mengenakan pakaian penyelam sekali pakai yang ketat, bertutup kepala dan masker, saat membersihkan taman kanak-kanak.
Warga Jerman dan pengungsi menghadapi dua budaya yang sangat berbeda yang untuk saat ini biasanya belum dapat dijembatani dengan bahasa yang sama. “Memaklumi emosi dan jalan pikiran pihak lain—baru pada tahap permulaan,” ujar Grunwald. “Jika kami dapat lebih saling memahami persoalan tersebut, saya yakin kami dapat mencatatnya dalam sejarah.” Dulu, dia tidak terlalu menyukai Merkel, katanya, dan tidak berkeinginan untuk bertugas menyelesaikan persoalan ini. Sekarang, dia menerima tugas itu dengan sepenuh hati.
Dengan beberapa pengecualian yang sangat mencolok, layanan sipil Jerman memberi tanggapan baik. Hal yang lebih mencengangkan adalah seberapa banyak orang Jerman yang memilih untuk secara pribadi ikut membantu para pengungsi itu.
Di Duderstadt, saya berkenalan dengan seniman grafis yang kadang merangkap sebagai DJ, Olaf Knauft, yang tahun lalu mengasuh dua orang remaja Eritrea. Pada suatu hari, begitu dia menjelaskan, dia bertemu dengan seorang wanita dari karang taruna setempat yang bercerita tentang kebutuhan besar untuk mendapatkan sponsor dan rumah bagi semua anak di bawah umur yang sebatang kara. Knauft yang berusia 51, dan dua anaknya, sudah meninggalkan rumah saat mencapai usia dewasa. Sebetulnya dia agak ragu—namun, dia memutuskan untuk mencoba mengasuh pemuda Eritrea berusia 18 tahun bernama Desbele, penganut Kristen Koptik.
Hubungan keduanya terjalin dengan baik—begitu baiknya sehingga tiga minggu setelah Desbele tiba pada bulan Mei, dia bercerita pada Knauft bahwa dia punya adik berusia 16 tahun, Yoisef, yang terjebak di Libia. Desbele berhubungan dengan para penyelundup manusia. Diperlukan dana sekitar 37,5 juta rupiah untuk mendatangkan Yoisef ke Jerman. Knauft memberi Desbele dana sebesar itu. Pada bulan Juli, Knauft dan Desbele berhasil menemukan Yoisef di tepi jalan raya di luar kota Munich, tempat para penyelundup meninggalkannya.