Warga Eropa Baru

By , Senin, 3 Oktober 2016 | 16:30 WIB
()

Sekarang Knauft punya dua anak remaja. Dan, meskipun ada kalanya dia mencuci piring makan, dan menegaskan siapa pemimpin di rumah, dia tidak menyesal. Dia menyebut Desbele dan Yoisef “anak saya.” Beberapa hari sebelum saya menemuinya, muncul informasi bahwa Yoisef memiliki saudara kembar, yang dipenjara di Eritrea. Knauft membayar sekitar 22,5 juta rupiah untuk membebaskannya dari penjara dan membawanya ke Sudan, dan di situ kembaran Yoisef menunggu untuk menyeberangi Gurun Sahara. Ini sudah pasti saudara yang terakhir, kata Knauft.

“Memaklumi emosi dan jalan pikiran pihak lain—baru pada tahap permulaan,” ujar Grunwald. “Jika kami dapat lebih saling memahami persoalan tersebut, saya yakin kami dapat mencatatnya dalam sejarah.”

Saya dan Kauft sedang duduk bersama Karin Schulte, pensiunan guru yang menjadi tutor untuk Desbele dan Yoisef di Jerman, tiga kali seminggu, tanpa dibayar. Kedua remaja itu bersekolah di sekolah kejuruan, di kelas khusus bagi imigran, dan sepulang sekolah keduanya belajar di dapur Karin. Karin menyuguhi mereka kopi dan kue kering—kebiasaan orang Jerman. Setelah bimbang selama beberapa waktu, Karin berkata bahwa di Jerman, tidak lazim menyeruput kopi sambil bersuara dengan keras. Yoisef mengakui bahwa menurut neneknya, kebiasaan minum kopi seperti itu juga tidak lazim di Eritrea.

Di Rotenburg, sekelompok pensiunan guru dari Jakob-Grimm-Schule, tempat Damm mengajar selama puluhan tahun, menyelenggarakan Kursus bahasa Jerman di Erstaufnahmeeinrichtung. Pada suatu pagi, selama beberapa jam saya mengobrol di situ dengan Gottfried Wackerbarth. Karena populasi di pangkalan militer itu berubah setiap satu atau dua bulan, Wackerbarth tidak tahu siapa yang akan diajarnya hari itu. Dari begitu banyak orang yang diajarnya, lima pria Afgan berusia 12-35 tahun menyimak dengan tekun. Wackerbarth mengajarkan alfabet dengan menggunakan gambar—B untuk Banane, E untuk Elefant, dst.

Di sebelah saya duduk Sariel, 35. Dengan cepat tampak jelas bahwa Sariel buta huruf, bahkan juga dalam bahasa Dari. Para pemuda lain di kelas itu maju lebih cepat dalam menyelesaikan soal jika dibandingkan dengannya. Saat saya melihatnya menuliskan huruf demi huruf, seperti pada gambar; saat saya membayangkan harus mempelajari coretan buram bahasa Dari yang ditulis salah seorang pemuda di papan tulis. Saya merasa lelah untuk Sariel—bukan karena perjalanan panjang yang ditempuhnya dari Afganistan, tetapi karena perjalanan panjang yang harus dihadapinya di masa depan.

Di kelas ini, murid mulai mengenal sekelumit budaya Jerman—dan pergaulan pertama de­ngan orang Jerman yang bersimpati pada mereka. “Saat berpapasan dengan mereka di kota, mereka menyapa, ‘Halo, Pak Guru!’ dan gembira sekali bahwa saya mengenali mereka,” kata Wackerbarth. Pada suatu siang di Rotenburg saya berkenalan dengan pria Suriah ber­usia 43 tahun yang sudah dua tahun bermukim di Jerman dan sudah menyelesaikan kursus bahasa Jerman selama enam bulan. Sambil duduk di ruang tamunya, kami bercakap-cakap dan terpaksa dibantu juru bahasa Arab. Pria Suriah itu mengakui, usia membuat dirinya tak cocok lagi untuk menjadi murid.

Ahmad, katakanlah begitu namanya—seperti pengungsi lain, dia takut bahwa jika dia mengungkapkan nama aslinya, kerabatnya di Suriah akan menghadapi masalah—dulu bekerja sebagai tukang listrik di Damaskus. Mesir, negara pertama yang didatangi keluarganya untuk menyelamatkan diri, membuat mereka merasa tidak diinginkan. Jerman memberi mereka suaka, kesejahteraan, dan apartemen di pusat kota Rotenburg. Dia sangat berterima kasih. Namun, setelah dua tahun, dia masih menganggur, dan hal itu terasa sangat berat.

“Saya hanya keluar rumah saat belanja ke toko swalayan dan mengantar anak ke sekolah,” katanya. “Karena saya pasti malu kalau ada yang bertanya apa pekerjaan saya. Saya sering sekali menyapu di depan pintu rumah agar ada yang saya kerjakan.” Dia bertanya kepada saya apakah ada panti jompo di dekat tempat tinggalnya yang bersedia menerimanya menjadi tukang bersih-bersih tanpa harus digaji.

Saya merasa lelah untuk Sariel—bukan karena perjalanan panjang yang ditempuhnya dari Afganistan, tetapi karena perjalanan panjang yang harus dihadapinya di masa depan.

Tiga anak Ahmad mendengarkan obrolan kami. Mereka berusia 16, 14, dan delapan tahun. Sudah satu setengah tahun mereka bersekolah di sekolah Jerman; dua anak yang tertua bersekolah di Jakob-Grimm-Schule. Bahasa Jerman mereka lancar. Anak yang tertua mengenakan baju kaos putih ketat bertuliskan “Paris” dalam bahasa Prancis dan Arab—sebagai tanda solidaritas kepada para korban serangan November 2015, katanya. Dia ingin menjadi penata rambut dan sedang magang di sebuah salon. Anak yang berusia 14 tahun ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi; kata gurunya, dia lebih pandai menulis daripada kebanyakan orang Jerman. Dia penyerang tengah dalam tim sepak bola.

Sejak Perang Dunia II, Jerman sudah menerima sekitar 50 juta imigran. Satu di antara delapan orang di Jerman sekarang dilahirkan di negara lain. Namun, tetap saja, saat Angela Merkel mengatakan di depan umum pada 1 Juni 2015, bahwa Jerman adalah Einwanderungsland— “negara imigrasi”—koran Frankfurter Allgemeine menyebut pernyataan itu “bersejarah.” Selama puluhan tahun, partai Merkel, Christian Democratic Union (CDU) menolak deskripsi itu. “Kami menyangkal kenyataan bahwa negara kami adalah negara imigrasi,” kata Martin Lauterbach, yang mengelola program integrasi di Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi, yang lebih dikenal akronimnya dalam bahasa Jerman, BAMF.

Imigran pertama berasal dari etnis Jerman, sekitar 12 juta orang. Mereka terusir dari Eropa Timur saat perang berakhir dan tiba di negara miskin. Baik orang Jerman ataupun bangsa lain, mereka tidak diinginkan. Erika Steinbach, perwakilan CDU di parlemen nasional Jerman dari Frankfurt, menceritakan pelariannya dari kawasan yang sekarang bernama Polandia bersama ibu dan adik bayinya, tiba di sebuah peternakan. “Peternaknya berkata kepada ibu saya, ketika Ibu memerlukan susu untuk adik, ‘Kalian semua lebih busuk daripada kecoak,’” kata Steinbach. “Jarang ada sambutan hangat.”

Bahkan, keadaannya lebih buruk bagi orang Turki. Pada 1950-an dan 1960-an, saat perekonomian melejit, Jerman Barat memerlukan pekerja. Mula-mula, pekerja direkrut dari Italia, lalu Yunani dan Spanyol, tetapi dalam jumlah yang lebih besar dari Turki. Pada umumnya, kaum pria datang sendiri dan bekerja di pabrik atau konstruksi. Mereka tinggal beramai-ramai dalam satu kamar di barak atau asrama. Pada awalnya, kedua belah pihak tidak mengira bahwa mereka akan menetap—mereka disebut Gastarbeiter, pekerja tamu. Mereka biasanya pulang dulu ke Turki setelah satu atau dua tahun bekerja. “Tamu” lain menggantikan mereka.

Itulah gagasan awalnya, tetapi realitas menyebabkan keadaan berubah. Perusahaan tidak ingin kehilangan pekerja yang sudah mereka latih. Pekerja yang kesepian mendatangkan keluarga mereka. Ayah Fatih Evren mendatangkan istri dan tiga anaknya—dan kemudian Fatih lahir di Jerman. “Setelah beberapa lama, Ayah menetap,” kata Fatih. “Menghasilkan uang banyak di Jerman memang menyenangkan.” Di Bebra, kota pekerja yang jaraknya delapan kilometer dari Rotenburg, Evren sekarang bekerja sebagai sekretaris masjid dan pusat komunitas Islam Turki yang dibangun ayah dan rekan-rekannya pada 1983.