Program pekerja tamu ditutup pada 1973, saat embargo minyak Arab memicu resesi. Namun, sekarang hampir tiga juta orang keturunan Turki tinggal di Jerman. Hanya separuhnya yang berstatus warga negara Jerman. Beberapa orang menanjak kariernya dan menjadi terkenal—seperti Cem Özdemir, salah seorang pemimpin Partai Hijau. Namun, yang menarik tentang obrolan saya dengan orang awam Turki adalah perasaan tak menentu yang selalu mereka rasakan tentang Jerman.
Pada umumnya, kaum pria datang sendiri dan bekerja di pabrik atau konstruksi. Mereka tinggal beramai-ramai dalam satu kamar di barak atau asrama. Pada awalnya, kedua belah pihak tidak mengira bahwa mereka akan menetap—mereka disebut Gastarbeiter, pekerja tamu.
“Menjadi ‘tamu’ di suatu negara selama puluhan tahun—itu tidak benar,” kata Ayşe Kose Küçük, pekerja sosial di Kreuzberg, lingkungan perumahan di dekat Berlin yang dihuni oleh banyak orang Turki. Dia tiba di Berlin saat berusia 11 tahun dan sudah tinggal di negara tersebut selama 36 tahun. Sampai sekarang dia masih merasa tidak diterima, dan begitu juga anak-anaknya. “Anak-anak saya, yang tidak pernah saya ajari, ‘Kamu orang Turki,’ sudah mulai berkata, ‘Kita orang Turki,’ setelah kelas empat,” katanya. “Karena mereka dikucilkan. Hal itu membuat hati saya terluka.” Padahal, Kreuzberg adalah kampung halaman yang dicintainya.
“Kami datang sebagai pekerja, dan sebagai pekerja, kami berintegrasi, tetapi tidak sebagai tetangga dan sesama warga negara,” kata Ahmet Sözen, 44, yang lahir di Berlin. Dia tidak dapat sepenuhnya berintegrasi, begitu dia menjelaskan, ke dalam kelompok yang tidak bersedia menerima ayahnya. Sebaliknya, di Bebra, semua orang saling kenal, dan orang Turki menyelenggarakan festival budaya tahunan di alun-alun, kata Fatih Evren; integrasi sudah berhasil. Namun, tetap saja, meskipun dia dilahirkan dan dibesarkan di Jerman dan punya banyak teman orang Jerman, dia ingin dikuburkan di Turki.
Merasa sepenuhnya diterima di Jerman bukan perkara mudah, bahkan juga untuk sebagian orang Jerman. Kakek dan nenek Christian Grunwald dari pihak ibu adalah pengungsi—etnis Jerman dari Serbia utara yang tiba di Rotenburg setelah perang usai. Ibunya mengobrol dengan saya saat siang hari di Alheimer Kaserne. Kami berada di pos penjaga tua, dikelilingi oleh sel penjara yang dipenuhi pakaian sumbangan; Gisela Grunwald (ibu Christian) mengelola kegiatan Palang Merah yang memasok pakaian. Neneknya sekarang berada di panti jompo, kata Christian. Leluhurnya orang Jerman, dia tinggal di Rotenburg selama 65 tahun, cucunya wali kota yang populer—tetapi tetap saja, kata Gisela, suatu hari belum lama ini ada “seseorang menghampiri saya dan berkata, ‘Anda bukan orang Jerman.’ ”Tampaknya aksennya yang khas Serbia masih belum hilang sepenuhnya.
Jerman belajar dari pengalaman dengan orang Turki dan imigran lainnya. Selama 16 tahun terakhir ini, Jerman telah melonggarkan hukum mengenai kewarganegaraan. Sebelum tahun 2000, pada umumnya Anda harus berdarah Jerman—setidaknya ibu atau ayah Anda berdarah Jerman—untuk bisa menjadi warga negara Jerman. Sekarang, jika Anda sudah menjadi penduduk yang sah selama delapan tahun atau ibu atau ayah Anda orang Jerman, Anda bisa menjadi warga negara.
Kemudian, menurut undang-undang yang disahkan pada 2005, pemerintah Jerman sekarang memberikan kursus integrasi—minimal 600 jam pelajaran tentang bahasa dan 60 jam tentang kehidupan orang Jerman—kepada orang yang sudah mendapat atau mungkin akan mendapat suaka. Bahkan saat BAMF mempekerjakan ribuan karyawan baru untuk memproses ratusan ribu aplikasi suaka yang belum tuntas, diperlukan dana lebih dari 75 triliun rupiah tahun ini untuk berbagai program integrasi. Badan itu memperkirakan akan ada 546.000 orang yang mengikuti kursus tersebut pada 2016.
Di dunia politik Jerman, sekarang ada kesepakatan bahwa negara itu memerlukan imigran. Angka kematian melebihi angka kelahiran di Jerman, selisihnya mencapai hampir 200.000 per tahun, dan angka ini terus bertambah. Tanpa imigrasi, populasi akan menciut. Lembaga Kependudukan dan Pembangunan Berlin, sebuah lembaga pakar, memperkirakan bahwa untuk menjaga agar populasi usia-kerja—kelompok penduduk yang membiayai pensiunan yang sudah tua—tetap konstan, Jerman akan membutuhkan imigrasi sekitar setengah juta orang per tahun sampai tahun 2050.
Namun, kebanyakan pengungsi bukanlah buruh terlatih yang dibutuhkan negara—atau yang siap memasuki program magang Jerman. Diperkirakan lebih dari 15 persen pengungsi masih buta huruf. Banyak pengungsi lainnya yang pendidikannya tidak memenuhi standar pendidikan Jerman.
Di sebuah sekolah kejuruan di Bad Hersfeld, saya mengunjungi empat kelas imigran yang diberi waktu dua tahun untuk mendapatkan keterampilan bahasa dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk ijazah kelas 10, yang kemudian dapat melanjutkan dengan magang. Kebanyakan sudah terlalu tua untuk duduk di kelas 10. Di salah satu kelas saya mengenali Mustafa, pemuda Afganistan berusia 17 tahun yang berwajah sedih. Saya berkenalan dengannya sehari sebelumnya di rumah untuk anak-anak pengungsi, tempat Damm mengajar. Mustafa bercerita pada saya tentang betapa senangnya dia berada di Jerman, bukan hanya karena dia aman sekarang, tetapi juga karena dia dapat bersekolah.
Kebanyakan imigran di sekolah Bad Hersfeld, kata direktur Dirk Beulshausen, “memandangnya sebagai anugerah bahwa mereka boleh belajar. Banyak siswa Jerman memandang sekolah sebagai kewajiban, dan kewajiban pastilah tidak menyenangkan.” Ada batasnya juga hal yang dapat dicapai melalui semangat. Salah seorang pekerja sosial di situ, Joanna Metz, menduga sekitar separuh imigran dalam program itu mungkin tidak akan berhasil meraih ijazah. “Masalahnya, terlalu banyak pelajaran yang harus diselesaikan,” katanya. “Pada dasarnya, mereka butuh 48 jam sehari.”
Lebih dari 60 persen akan melarang khitan, ritual penting dalam agama Islam dan Yahudi. Hal yang terakhir, sekitar 40 persen orang memiliki pendapat bahwa untuk menjadi orang Jerman, Anda harus bisa berbahasa Jerman tanpa aksen.
Pengungsi yang masih cukup muda untuk bisa dengan cepat menyesuaikan diri, seperti anak-anak Ahmad, kemungkinan akan menjadi unsur positif bagi perekonomian Jerman. Bagi populasi pengungsi secara keseluruhan, masih terlalu dini untuk meramalkan apa yang akan terjadi kelak. Badan Buruh Federal memperkirakan, 50 persen dari para pengungsi akan tetap menganggur setelah tinggal selama lima tahun, kemudian turun menjadi 25 persen setelah 12 tahun.
Namun, alasan untuk menerima mereka adalah alasan kemanusiaan, bukan ekonomi. Sebagian besar masyarakat masih belum yakin. Jumlah orang yang bersedia melemparkan bom molotov ke tempat penampungan pengungsi atau melontarkan kata-kata kotor kepada kanselir, jumlahnya hanya sedikit jika dibandingkan dengan orang Jerman yang cinta akan kedamaian dan pada umumnya tidak suka berbicara. Padahal di dalam hati, mereka tidak ingin begitu banyak imigran di Jerman, terutama imigran Muslim.