Namun, para pengungsi itu tiba di negara yang masih meraba-raba untuk memperoleh identitas baru—”’kami’, Jerman yang baru,’ begitu Presiden Joachim Gauck menyebutnya dalam pidato 2014. “Kami” yang lebih inklusif itu, kata Foroutan, adalah bagian dari Jerman yang ingin menjadi negara modern: terbuka kepada dunia dan terbuka menerima perubahan. Namun, banyak imigran Muslim yang tidak benar-benar terbuka dan modern. Sekitar 30 persen dari mereka, menurut survei 2013, adalah kaum fundamentalis: Mereka percaya bahwa Islam harus kembali ke akarnya, ke abad ketujuh, dan bahwa hukum Islam harus didahulukan daripada hukum sekuler. Di Masjid Mevlana di Kreuzberg, saya berkenalan dengan seorang guru muda berjanggut, Serkan Özalpay, yang berbicara, sebagaimana Muslim lainnya, tentang sikap bermusuhan yang diterimanya dari orang Jerman. Lalu, Özalpay membuat saya tercengang dengan berbicara seperti AfD. “Para pengungsi tidak seharusnya berada di sini,” katanya. “Muslim tidak seharusnya berada di negara ini.” Dia menganjurkan umatnya untuk kembali ke Turki, jika mereka bisa, bahwa terlalu sulit untuk hidup sesuai dengan ajaran Quran di Jerman.
Salah satu ajaran yang menyebabkan pria tradisional Muslim berkonflik dengan orang Jerman, yang konstitusinya menjamin hak-hak yang sama bagi perempuan, adalah aturan yang melarang lelaki berjabat tangan dengan kaum perempuan. Ajaran lainnya adalah tidak adanya toleransi terhadap kaum homoseksual. Di sebuah studio di Neukölln, sehari setelah saya berkenalan dengan Özalpay, saya berjabat tangan dengan seorang Muslim yang lain lagi pandangannya—seorang DJ lesbian yang sangat vokal bernama İpek İpekçioğlu. Dia dibesarkan di Berlin yang menurut Özalpay tidak bertuhan, dan İpek menyukai kota itu.
“Ini adalah waktu yang menggairahkan di Jerman,” katanya, ketika kami kembali membicarakan pengungsi. “Memang saya kagum oleh kemauan luar biasa orang Jerman untuk membantu. Dan kemauan itu benar-benar masih belum surut.”
Namun, İpek tidak selalu merasa begitu. Setelah lulus dari SMA, katanya, bahasa Jermannya masih jelek dan dia tidak memiliki ikatan emosional dengan negara itu. Dia bekerja sebagai pengasuh anak di London, tidak tahu kapan dapat kembali ke Jerman. Pada suatu hari, secara kebetulan dia mengambil buku puisi Goethe dari rak buku.
Judulnya West-Eastern Divan, dan dalam buku itu, sang penyair terkenal—yang juga terkenal melalui buku Weltoffenheit, sikapnya yang bersedia menerima dunia—memuji-muji Islam. Semua puisinya sangat mengesankan bagi İpekçioğlu. “Bukan main,” dia masih ingat yang dipikirkannya saat itu, “ini benar-benar bahasa yang indah.” Dia kembali ke Berlin. Sekarang, ada kalanya dia berbicara di mancanegara mewakili Goethe Institut—mewakili Jerman baru.
Jerman masa lalu, kata İpekçioğlu, memiliki hal-hal bagus—misalnya Goethe—tetapi, masih “kesulitan untuk mengatakan, saya bersedia membuka diri dan menerima perubahan.” Dia sedang di panggung di Leipzig, memutar musik Anatolian (musik Turki). Seorang pria datang menghampirinya dan memintanya memutar lagu “Jerman”. Namun, dia justru semakin gencar memutar lagu-lagu etnis itu.
Dia ingin pria itu—dan seluruh Jerman—menangkap pesan yang disampaikannya: “Kami hadir di sini. Kami tidak akan pergi. Kami akan membentuk kota ini agar sesuai dengan kehidupan kami.”
Takut akan kehadiran orang lain pasti dirasakan oleh semua orang,” kata İpekçioğlu. “Bukan hanya orang Jerman.” Namun, orang-orang Jerman memendam rasa takut yang sangat mencekam. Akibatnya, banyak di antara mereka yang masih merasakan pengaruhnya: takut pada diri sendiri.
“Andaikan saya sudah cukup dewasa saat itu, pasti saya sudah masuk SS,” Damm berkata. “Saya hanya berharap saya tidak menjadi penjaga kamp.”
“Keadaannya genting,” Gerd Rosenkranz mengungkapkan. Ia adalah seorang analis politik di Berlin, yang berbicara tentang perubahan politik secara mendadak yang mendukung hak politik orang Jerman. “Kami masih tetap bisa terperosok. Dan kemudian kembali lagi ke masa lalu.”
Pada 9 November 1938, ketika Kristallnacht, atau Malam Jendela Kaca Pecah, mulai menyebar ke seluruh Jerman, kerusuhan sudah melanda Rotenburg dan Bebra. Massa memecahkan jendela dan menghancurkan rumah orang Yahudi dua malam sebelumnya. Goebbels sendiri memuji wilayah itu, kata Heinrich Nuhn, mantan guru sejarah. Nuhn merawat sebuah museum kecil yang didedikasikan untuk orang-orang Yahudi Rotenburg yang hilang, di sebuah rumah di Sungai Fulda yang di masa lalu merupakan mikvah—ritual mandi—kaum wanita.
Pada suatu sore, saya dan Damm mengunjungi balai kota Bebra untuk menemui Uli Rathmann, 56, pria yang mengepalai program taman kanak-kanak dan karang taruna di kota itu. Rathmann dibesarkan di sebuah desa di dekatnya, dan belum pernah melihat imigran—”masyarakat paralel,” begitu dia menyebutnya sekarang. Setelah menjadi pekerja sosial di Bebra, dia mulai bekerja dengan imigran sepanjang waktu. Sekarang, seandainya Bebra menjadi 90 persen asing, baginya tidak jadi soal.
Rathmann mengajak saya ke jendela untuk melihat ke bawah menunjuk ke plakat perunggu yang mencantumkan daftar nama 82 orang Yahudi dari Bebra yang tewas di kamp konsentrasi. Sebuah plakat kecil memperingati sinagog yang sudah tidak ada.
“Ini adalah waktu yang menggairahkan di Jerman,” katanya, ketika kami kembali membicarakan pengungsi. “Memang saya kagum oleh kemauan luar biasa orang Jerman untuk membantu. Dan kemauan itu benar-benar masih belum surut.”
Damm, yang semula mendengarkan obrolan kami tanpa menimpali, langsung menyela. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya ...” Dia berhenti, meminta maaf. Saya memandang mantan guru saya itu; matanya berkaca-kaca. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya,” dia melanjutkan, “saya bisa mengatakan bahwa saya bangga pada Jerman.”
Saya berpaling kembali pada Rathmann. Matanya juga berkaca-kaca. Kami berbicara tentang betapa sulitnya bagi orang Jerman untuk merasakan kebanggaan nasional yang sehat. Hal yang melampaui kebanggaan memenangi pertandingan sepak bola Piala Dunia, tetapi tanpa merasa pongah dan berbahaya. Mungkin, kata Rathmann, orang Jerman dapat merasa “bangga bahwa kami membantu para pengungsi.” Mungkin kebanggaan berasal dari “demokrasi yang bergelora,” dari perasaan bahwa “inilah negara saya, saya akan berjuang keras dan ikut berpartisipasi sepenuhnya.” Dia kembali ke komputernya untuk mencari nomor telepon seseorang yang menurutnya perlu saya ajak bicara, seorang pria yang membantunya membangun gedung karang taruna yang baru. Pria yang dimaksudkannya adalah Fatih Evren, yang berada di masjid.