Kemudian, di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi ada dua Model Desa Konservasi: di Desa Sindulang,Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang danDesa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Di sekitar Cagar Alam Kamojang, Model Desa Konservasi dikembangkan di Desa Cihawuk,Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.
Sedangkan Model Desa Konservasi di seputar Cagar Alam Tangkuban Parahu ada di Desa Sukamandi,Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Terakhir, di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, Model Desa Konservasi dibangun di Desa Jayagiri,Kecamatan Lembang,Kabupaten Bandung Barat.
Kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat dikelilingi oleh lanskap produksi, seperti hutan produksi, lahan pertanian,perkebunan, atau permukiman. Beberapa kawasan hutan lindung—yang dikelola Perhutani—juga menjadi wilayahpenyangga di beberapa kawasan konservasi.!break!
Peran lanskap produksi dalam melindungi keanekaragaman hayati akan berdampak positif bagi kelangsungan manfaatkawasan konservasi. Komponen 4 menggelar berbagai aktivitas yang mendukungpengelolaan DAS Citarum di lahan produksi secara partisipatif.Desa-desa yang berbatasan dengan kawasan konservasi di hulu DAS Citarum memang lekat dengan isu konservasi keanekaragaman hayati.
Di Cihanjawar misalnya. Sebagian warga biasa memanen rumput songket sebagai bahan baku sapu. Industri rumahan ini rupanya masih bertumpu pada pasokan songket yang diambil dari Cagar Alam Gunung Burangrang. “Juga masih ada yang membuka lahan di kawasan. Dibilang banyak nggak, tapi kalau dibiarkan, ya, bisa menular ke bagian lain di Burangrang,” tegas Iis.
Bahan baku sapu songket memang banyak terdapat di dalam kawasan Burangrang. “Yang mengambil bukan perajinnya, tetapi pemasok bahan bakunya.” Selain songket, sebagian orang merambah Burangrang untuk mencari jamur hutan, rotan dan tak jarang satwa liar. “Nah, kelompok MDK diharapkan bisa mengajak perambah insaf,” terang Iis mengingatkan kembali.
Sedangkan di Pasanggrahan, desa tetangga Cihanjawar,masih terjadi perambahan dan pembukaan hutan untuk bercocok tanam. Begitu jugaperburuan flora yang dilindungi. Sejatinya, dari catatanpolisi hutan yang bertugas di Cagar Alam Gunung Burangrang, masyarakat Pasanggrahan telah sadar ihwal pelestarian cagar alam.
Selain patroli rutin dua kali sepekan, polisi hutanbersamakepolisian dan pemerintah desa kerap mengkampayekancagar alam. Perambahan memang masih terjadi, terutama di kampung Depok RT 04 yang berbatasan langsung dengan cagar alam. Modusnya:perambah menanam sayuran di dekat perbatasanantara cagar alam dengan tanahnya.
Kasus agak berbeda terjadi di Desa Sukaluyu, di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu. Masyarakat Sukaluyu telah memahami fungsi pelestarian kawasan Gunung Tilu. Meski begitu, sebagian masyarakat masih merambah kawasan untuk lahanbudidaya—kira-kiraseluas 10 hektare. Ini terjadi karena Cagar Alam GunungTilu berbatasan dengan kawasan Perhutani yang dikelola dengan sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.Sebagian warga memandang bahwa Perhutani tidak merata dalampembagian lahan garapan. Dampaknya, masyarakat terpaksa merambah kawasan konservasi.
Sementara itu, di Desa Sugihmukti, masih di sekitar Gunung Tilu, sebagian warga masih menebang pohon untuk dijadikan arang. Pembuatan arang ini untuk memenuhi pasokan bahan bakar industri pandai besi.
Kendati pemerintah desa sudah melakukan penyadaran, agaknya aktivitas memanfaatkan hasil hutan merupakan naluri masyarakat pegunungan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Masyarakat juga menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hasil hutan, khususnya kayu dan rumput.
Begitulah. Dari dua kawasan konservasi itu saja telah menggambarkan tantangan dan isu pelestarian keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Ringkasnya, kawasan konservasi menghadapi tantangan perambahan, pembalakan liar dan perburuan flora-fauna. Dari tantangan itu, terbitlah gagasan untuk mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di sekitar cagar alam, taman wisata alam dan taman buru.