Kini, perlahan ada perubahan di tingkat kelompok MDK Cihanjawar. Untuk memenuhi pasokan bahan baku sapu, anggota kelompokkini menanam songket di lahan produksi. Ini untuk mencegah pemasok mencari songket di kawasan cagar alam. “Bahan bakunya sekarang ditanam di kebun masing-masing. Sebenarnya songket banyak tumbuh di sekitar desa,hanya saja, harus beli. Kalau mencari di kawasan Burangrangpan gratis. Selain itu, gagang sapu sekarang dibuat dari bambu, bukan rotan yang biasa diambil dari kawasan.”
Sebagian anggota MDK Cihanjawar memilih menggeluti pembuatan gula aren.“Lantaran sejumlah orang masih mengambil aren dari kawasan, usaha alternatifnya pembuatan gula aren untuk mengurangi tekanan terhadap Cagar Alam Gunung Burangrang. Kalau tidak, makin banyak orang yang mengambil aren di kawasan.”
Aren, papar Iis, mampu menyerap air dengan bagus. Tapi kalau sudah produktif, aren ditebang oleh pemiliknya untuk diambil tepungnya—ini semacam memanen tepung di batang sagu. “Lantas, kelompok membeli pohon aren milik warga dengan sistem bagi hasil. Ada beberapa ratus pohon aren masyarakat yang dibeli dan tidak boleh ditebang,” ungkap Iis.
Siang itu, Syarif Hidayat memasuki kandang ayamMDK Cihanjawar. Kandang yang berdiri di atas empang itu berselimut terpal biru. Ayam-ayam sebesar kepalan tangan menghambur ke sana-sini. Suaranya riuh-rendah. Kandang kelompok ini berkapasitas 800 ekor ayam, papar Syarif, “Tapi untuk saat ini kita isi 600 ekor.”
Anak-anak ayam ini baru berusia 24 hari, dan akan dipanen setelah 70 hari. Tak jarang, belum sampai 70 hari, rumah-rumah makan telah memesan ayam ternakan MDK Cihanjawar. “Kadang belum sampai 70 hari sudah dipesan. Penjualannya, per kilogram ayam Rp34 sampai Rp35 ribu. Atau dijual per ekor, yang akhirnya harganya sama saja.”
Sejak merintis usaha ternak, Syarif dan kelompoknya telah tiga kali panen. Bibit ayam atau DOC dibeli dengan sistem kemitraan dari Sukabumi, Jawa Barat. Harga satu ekor bibit Rp6.000.Penjualan hasil panen pun telah bermitra dengan rumah makan dan para penjual ayam di pasar-pasar sekitar. “Kita memang belum memasok restoran secara penuh, karena ayamnya belum banyak,”ungkap Arif yang juga ketua MDK Cihanjawar
Peternakan ayam kampung ini sebagai bentuk usaha alternatif bagi kelompok MDK Cihanjawar. Syarif menuturkan, perkembangan ternak ayam kampung itu telah menular ke sejumlah warga. Sebagian warga yang tertarik telah berdiskusi dengan pemerintah desa. “Alhamdulillah sudah banyak yang ingin mengembangkan ternak ayam. Hanya saja kendalanya modal awal.” Dan, dari hari ke hari, makin banyak warga yang datang untuk melakukan studi banding beternak ayam kampung.
“Alhamdulillah ada untungnya, kira-kira Rp5.000 per ekor, dan kita sudah bikin kandang baru, tapi belum diisi,” terang ayah satu anak ini. Kandang baru itu terletak di lembah desa yang dikelilingi persawahan.Sejauh ini memang belum ada pembagian keuntungan.“Memang ada yang mengerjakan sendiri, empat orang, yang juga anggotakelompok. Sekarang kandang ada dua. Nantinya akan kita bicarakan soal pembagian keuntungan.”
Penentuan usaha alternatif itu hasil diskusi bersama anggota kelompok dan Balai Besar KSDA Jawa Barat. “Kita melihat potensi desa, lalu kita memilih gula aren dan sapu songket. Dan baru pada tahun 2014, kita buka peternakan ayam kampung.”
Hasil usaha sapu songket dan gula aren, tuturnya, memang belum terlalu menggembirakan. Dulu bahan sapu songket diambil dari kawasan, ujar Syarif, “Tapi setelah ada MDK, rumput ditanam di kawasan produksi. Kini gagang sapu yang dari rotan juga diganti dengan kayu dan bambu.”!break!
Untuk merintis peternakan ayam, Syarif bersama anggota yang lain lantas menjalani pelatihanbeternak ayam di Sukabumi. “Kita diajak ke Sukabumi, mencari ilmubeternak selama dua hari. Kemudian, baru bikin kandang dengan bekal ilmu dari Sukabumi. Hasil ternak angkatan pertama dan kedua lancar. Tidak susah, karena kita sudah biasa dengan ayam broiler.”
Usaha alternatif juga dikembangkan di Pasanggrahan. Di sana, Ketua MDK Pasanggrahan Mamat Rahmat bersama kelompoknya mengembangkan pembibitan berbagai jenis pohon. “Saat pertama kali, kita menyemaikan sengon, manggis, cengkeh dan suren. Alhamdulillah, sengon sudah habis, sementara cengkeh masih ada sekitar 5.000 bibit. Dan kita menggulirkan terus persemaian ini,” ungkap Mamat.