Menyangga Kawasan Konservasi

By , Rabu, 20 April 2016 | 17:11 WIB

Merawat dan memupuk modal sosial bagi pelestarian di desa-desa penyangga. Intervensi usaha alternatif untuk menggeser ketergantungan masyarakat pada kawasan konservasi.

Malam mengendap di Cihanjawar. Desa yang bertengger di lembah dan punggung perbukitan ini diselimuti hawa dingin. Dari lahan persawahan, suara jengkerik memecah keheningan malam. Pegunungan yang membentuk Cagar Alam Gunung Burangrang membayang lamur di batas desa.

Di saung mungil milik kepala desa, malam itu, Iis Rohati dan Taufik Faturohman menuntaskan malam.Tawa lantang Iis menyela kesunyian. Perempuan berjilbab ini berwajah tirus, suaranya serak, tawanya lepas. Dua batu mulia menghiasi jari-jemarinya.

“Kami biasa ngecamp di rumah milik Pak Lurah ini,” tutur Iis. “Kami biasa silahturahmi di tiga desa, Cihanjawar, Pasanggrahan dan Kasambang. Kalau kita saling kenal dan akrab, tidak susah untuk makan. Ada saja yang menolong dan membantu.”

Iis dan Taufik adalah dua fasilitator Komponen 4 Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC). Iis yang dari Subang mendampingi Desa Cihanjawar; sementara Taufik yang dari Bandung mendampingi Desa Pasanggrahan.

Sebagai fasilitator Komponen 4, yang mengarusutamakan keanekaragaman hayati di lanskap produksi, Iis dan Taufik punya banyak tugas: membuat laporan, memantau, bekerjasama dengan para pihak, memastikan pekerjaan rampung.Intinya, kata Iis,mendampingi dan memfasilitasi program Model Desa Konservasi.

Cihanjawar dan Pasanggrahan hanya dua desa yang menjadi Model Desa Konservasi di sekitar kawasan konservasi dalam program CWMBC. Dari tujuh kawasan konservasi di hulu Daerah Aliran Sungai Citarum, ada 12Model Desa Konservasi. Setiap desa didampingi seorang fasilitator, dengan tugas persis seperti yang diemban Iis dan Taufik.

Model Desa Konservasi adalah desa percontohan bagi desa lain dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.Tujuannya: membangun wilayahsekitar kawasan konservasi yang berwawasan lingkungan danmendukung konservasi kekayaan hayati.

Upaya konservasi di lanskap produksi mewujud dalam beberapa kegiatan. Aktivitasnya berupapengembangan Model Desa Konservasi; rehabilitasi di lanskap produksi; mendorong usaha alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan sembari mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi; dan kampanye penyadaranuntuk mendukung pengelolaan DAS Citarum yang lestari.

Salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah memfungsikan lembaga lokal, sehingga dapat meningkatkan kapasitas masyarakat agar tak bergantung pada kawasan konservasi. Pada saat yang sama, Model Desa Konservasijuga untuk menciptakan dampak positif bagi kelestarian kawasan konservasi.

Dalam konteks itulah Komponen 4 coba mengenali kawasan yang bisa dijadikan pintu masuk dalam mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati kepada para pihak.Dengan demikian, pengembangan Model Desa Konservasi mesti melibatkan pihak-pihak yang berperan dalam pengelolaan lanskap produksi dan kawasan konservasi.

Lantas, dibentuklah 12 Model Desa Konservasi. Di sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang, selain Desa Cihanjawar dan Desa Pasanggrahan, Kecamatan Bojong, MDK juga dibangun di Desa Sakambang, Kecamatan Wanayasa. Ketiga desa tersebut berada di Kabupaten Purwakarta.

Sementara itu, di seputar Cagar Alam Gunung Tilu, Model Desa Konservasidibangun diDesa Sukaluyu dan Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, lalu diDesa Mekarsari dan Desa Sugih Mukti,Kecamatan Pasir Jambu. Keempat desa itu berada di Kabupaten Bandung.

Kemudian, di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi ada dua Model Desa Konservasi: di Desa Sindulang,Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang danDesa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Di sekitar Cagar Alam Kamojang, Model Desa Konservasi dikembangkan di Desa Cihawuk,Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.

Sedangkan Model Desa Konservasi di seputar Cagar Alam Tangkuban Parahu ada di Desa Sukamandi,Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Terakhir, di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, Model Desa Konservasi dibangun di Desa Jayagiri,Kecamatan Lembang,Kabupaten Bandung Barat.

Kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat dikelilingi oleh lanskap produksi, seperti hutan produksi, lahan pertanian,perkebunan, atau permukiman. Beberapa kawasan hutan lindung—yang dikelola Perhutani—juga menjadi wilayahpenyangga di beberapa kawasan konservasi.!break!

Peran lanskap produksi dalam melindungi keanekaragaman hayati akan berdampak positif bagi kelangsungan manfaatkawasan konservasi. Komponen 4 menggelar berbagai aktivitas yang mendukungpengelolaan DAS Citarum di lahan produksi secara partisipatif.Desa-desa yang berbatasan dengan kawasan konservasi di hulu DAS Citarum memang lekat dengan isu konservasi keanekaragaman hayati.

Di Cihanjawar misalnya. Sebagian warga biasa memanen rumput songket sebagai bahan baku sapu. Industri rumahan ini rupanya masih bertumpu pada pasokan songket yang diambil dari Cagar Alam Gunung Burangrang. “Juga masih ada yang membuka lahan di kawasan. Dibilang banyak nggak, tapi kalau dibiarkan, ya, bisa menular ke bagian lain di Burangrang,” tegas Iis.

Bahan baku sapu songket memang banyak terdapat di dalam kawasan Burangrang. “Yang mengambil bukan perajinnya, tetapi pemasok bahan bakunya.” Selain songket, sebagian orang merambah Burangrang untuk mencari jamur hutan, rotan dan tak jarang satwa liar. “Nah, kelompok MDK diharapkan bisa mengajak perambah insaf,” terang Iis mengingatkan kembali.

Sedangkan di Pasanggrahan, desa tetangga Cihanjawar,masih terjadi perambahan dan pembukaan hutan untuk bercocok tanam. Begitu jugaperburuan flora yang dilindungi. Sejatinya, dari catatanpolisi hutan yang bertugas di Cagar Alam Gunung Burangrang, masyarakat Pasanggrahan telah sadar ihwal pelestarian cagar alam.

Selain patroli rutin dua kali sepekan, polisi hutanbersamakepolisian dan pemerintah desa kerap mengkampayekancagar alam. Perambahan memang masih terjadi, terutama di kampung Depok RT 04 yang berbatasan langsung dengan cagar alam. Modusnya:perambah menanam sayuran di dekat perbatasanantara cagar alam dengan tanahnya.

Kasus agak berbeda terjadi di Desa Sukaluyu, di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu. Masyarakat Sukaluyu telah memahami fungsi pelestarian kawasan Gunung Tilu. Meski begitu, sebagian masyarakat masih merambah kawasan untuk lahanbudidaya—kira-kiraseluas 10 hektare. Ini terjadi karena Cagar Alam GunungTilu berbatasan dengan kawasan Perhutani yang dikelola dengan sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.Sebagian warga memandang bahwa Perhutani tidak merata dalampembagian lahan garapan. Dampaknya, masyarakat terpaksa merambah kawasan konservasi.

Sementara itu, di Desa Sugihmukti, masih di sekitar Gunung Tilu, sebagian warga masih menebang pohon untuk dijadikan arang. Pembuatan arang ini untuk memenuhi pasokan bahan bakar industri pandai besi.

Kendati pemerintah desa sudah melakukan penyadaran, agaknya aktivitas memanfaatkan hasil hutan merupakan naluri masyarakat pegunungan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Masyarakat juga menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hasil hutan, khususnya kayu dan rumput.

Begitulah. Dari dua kawasan konservasi itu saja telah menggambarkan tantangan dan isu pelestarian keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Ringkasnya, kawasan konservasi menghadapi tantangan perambahan, pembalakan liar dan perburuan flora-fauna. Dari tantangan itu, terbitlah gagasan untuk mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di sekitar cagar alam, taman wisata alam dan taman buru.

Intervensi awal pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan untuk tokoh masyarakat yang disebut kursus kepemimpinan desa. Peserta kursus mencakup pemimpin formal dan informal. Ada kepala desa, ada Badan Perwakilan Desa, karang taruna, ibu-ibu PKK dan tokoh masyarakat.

Tujuan kursus untuk meningkatkan kepedulian dan membangun komitmen terhadap konservasi keanakeragaman hayati di desa setempat. Selain itu, juga untuk menumbuhkan forum musyawarah Model Desa Konservasi.

“Minimal, peserta suspim bisa memimpin dirinya sendiri, bisa mengambil kesimpulan, dan keputusan. Misalnya saja, sekarang tradisi gotong royong mulai pudar. Dari situ, kursus kepemimpinan melatih bagaimana idealnya menjadi pemimpin, agar yang bekerja bukan hanya ‘jari telunjuknya’ saja,” jelas Iis.

Forum kursus kepemimpinan ini sebagai langkah awal untuk menjangkau partisipasi masyarakat desa. Dari para peserta kursus, lantas dilahirkan kelompok Model Desa Konservasi. Fasilitator hanya mendampingi dan memfasilitasi pembentukan kelompok. Harapannya, kelompok terbentuk sebagai wujud musyawarah dan mufakat forum kursus kepemimpinan.  

Kelompok Model Desa Konservasi ini diharapkan berisi orang-orang yang bisa mempengaruhi warga lain. Bersama kepala desa, forum lantas memilih orang-orang yang sesuai dengan kebutuhan untuk upaya mengarus-utamakan konservasi di lanskap produksi. Hasil akhirnya: menentukan anggota kelompok yang terdiri 30 orang sebagai perwakilan dari berbagai pihak yang ada di desa.

Iis menambahkan bahwa dari 30 anggota kelompok itu, setidaknya bisa menjadi ‘virus’ positif bagi warga yang lain. “Setidaknya yang 30 orang ini bisa mengkampanyekan agar perambah tidak lagi masuk ke hutan.”

Kelompok itu sekaligus menjadi sasaran bagi penguatan kapasitas masyarakat Model Desa Konservasi. Untuk mengurangi ketergantungan warga terhadap kawasan konservasi dilakukan pelatihan kewirausahaan, pertanian organik, pembuatan kompos dan persemaian.

Hakikat pelatihan wirausaha untuk memberikan kesadaran bagi anggota kelompok agar mampu berwirausaha secara tangguh. Kewirausahaan juga untuk melecut para anggota Model Desa Konservasi bisa memilih dan memiliki usaha alternatif.!break!

“Bantuan kewirusahaan kelompok itu untuk usaha alternatif, agar masyarakat tidak lagi masuk ke hutan,” Iis memaparkan. “Kita berharap ada satu atau lebih anggota kelompok yang bisa mengajak insaf para warga yang masih suka masuk Burangrang.”

Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi, Komponen 4 mengajak kelompok MDK melirik usaha alternatif. Dari seluruh kegiatan kelompok, semuanya diniatkan untuk meningkatkan kapasitas kelompok Model Desa Konservasi.

Para anggota kelompok di desa-desa dengan lembaga Model Desa Konservasimenjalani berbagai forum musyawarah dan curah pendapat. “Diskusi kelompok atau FGD untuk menguatkan kelompok tentang apa yang akan dilakukan MDK dan menggali potensi desa,” terang Iis.

Selama ini, lanjut Iis, masyarakat berpandangan bahwa modal selalu berbentuk uang. “Padahal banyak potensi desa dan sumber daya manusia yang masih terpendam.” Program Model Desa Konservasi telah menggugah kesadaran kelompok dalam memahami modal sosial dan lingkungan yang ada di desanya.

Kini, perlahan ada perubahan di tingkat kelompok MDK Cihanjawar. Untuk memenuhi pasokan bahan baku sapu, anggota kelompokkini menanam songket di lahan produksi. Ini untuk mencegah pemasok mencari songket di kawasan cagar alam. “Bahan bakunya sekarang ditanam di kebun masing-masing. Sebenarnya songket banyak tumbuh di sekitar desa,hanya saja, harus beli. Kalau mencari di kawasan Burangrangpan gratis. Selain itu, gagang sapu sekarang dibuat dari bambu, bukan rotan yang biasa diambil dari kawasan.”

Sebagian anggota MDK Cihanjawar memilih menggeluti pembuatan gula aren.“Lantaran sejumlah orang masih mengambil aren dari kawasan, usaha alternatifnya pembuatan gula aren untuk mengurangi tekanan terhadap Cagar Alam Gunung Burangrang. Kalau tidak, makin banyak orang yang mengambil aren di kawasan.”

Aren, papar Iis, mampu menyerap air dengan bagus. Tapi kalau sudah produktif, aren ditebang oleh pemiliknya untuk diambil tepungnya—ini semacam memanen tepung di batang sagu. “Lantas, kelompok membeli pohon aren milik warga dengan sistem bagi hasil. Ada beberapa ratus pohon aren masyarakat yang dibeli dan tidak boleh ditebang,” ungkap Iis.

Siang itu, Syarif Hidayat memasuki kandang ayamMDK Cihanjawar. Kandang yang berdiri di atas empang itu berselimut terpal biru. Ayam-ayam sebesar kepalan tangan menghambur ke sana-sini. Suaranya riuh-rendah. Kandang kelompok ini berkapasitas 800 ekor ayam, papar Syarif, “Tapi untuk saat ini kita isi 600 ekor.”

Anak-anak ayam ini baru berusia 24 hari, dan akan dipanen setelah 70 hari. Tak jarang, belum sampai 70 hari, rumah-rumah makan telah memesan ayam ternakan MDK Cihanjawar. “Kadang belum sampai 70 hari sudah dipesan. Penjualannya, per kilogram ayam Rp34 sampai Rp35 ribu. Atau dijual per ekor, yang akhirnya harganya sama saja.”

Sejak merintis usaha ternak, Syarif dan kelompoknya telah tiga kali panen. Bibit ayam atau DOC dibeli dengan sistem kemitraan dari Sukabumi, Jawa Barat. Harga satu ekor bibit Rp6.000.Penjualan hasil panen pun telah bermitra dengan rumah makan dan para penjual ayam di pasar-pasar sekitar. “Kita memang belum memasok restoran secara penuh, karena ayamnya belum banyak,”ungkap Arif yang juga ketua MDK Cihanjawar

Peternakan ayam kampung ini sebagai bentuk usaha alternatif bagi kelompok MDK Cihanjawar. Syarif menuturkan, perkembangan ternak ayam kampung itu telah menular ke sejumlah warga. Sebagian warga yang tertarik telah berdiskusi dengan pemerintah desa. “Alhamdulillah sudah banyak yang ingin mengembangkan ternak ayam. Hanya saja kendalanya modal awal.” Dan, dari hari ke hari, makin banyak warga yang datang untuk melakukan studi banding beternak ayam kampung.

“Alhamdulillah ada untungnya, kira-kira Rp5.000 per ekor, dan kita sudah bikin kandang baru, tapi belum diisi,” terang ayah satu anak ini. Kandang baru itu terletak di lembah desa yang dikelilingi persawahan.Sejauh ini memang belum ada pembagian keuntungan.“Memang ada yang mengerjakan sendiri, empat orang, yang juga anggotakelompok. Sekarang kandang ada dua. Nantinya akan kita bicarakan soal pembagian keuntungan.”

Penentuan usaha alternatif itu hasil diskusi bersama anggota kelompok dan Balai Besar KSDA Jawa Barat. “Kita melihat potensi desa, lalu kita memilih gula aren dan sapu songket. Dan baru pada tahun 2014, kita buka peternakan ayam kampung.”

Hasil usaha sapu songket dan gula aren, tuturnya, memang belum terlalu menggembirakan. Dulu bahan sapu songket diambil dari kawasan, ujar Syarif, “Tapi setelah ada MDK, rumput ditanam di kawasan produksi. Kini gagang sapu yang dari rotan juga diganti dengan kayu dan bambu.”!break!

Untuk merintis peternakan ayam, Syarif bersama anggota yang lain lantas menjalani pelatihanbeternak ayam di Sukabumi. “Kita diajak ke Sukabumi, mencari ilmubeternak selama dua hari. Kemudian, baru bikin kandang dengan bekal ilmu dari Sukabumi. Hasil ternak angkatan pertama dan kedua lancar. Tidak susah, karena kita sudah biasa dengan ayam broiler.”

Usaha alternatif juga dikembangkan di Pasanggrahan. Di sana, Ketua MDK Pasanggrahan Mamat Rahmat bersama kelompoknya mengembangkan pembibitan berbagai jenis pohon. “Saat pertama kali, kita menyemaikan sengon, manggis, cengkeh dan suren. Alhamdulillah, sengon sudah habis, sementara cengkeh masih ada sekitar 5.000 bibit. Dan kita menggulirkan terus persemaian ini,” ungkap Mamat.

Areal pembibitan kelompok terbentang di lembah yang dikelilingi perbukitan. Hari itu, sejumlah pemuda mengangkuti bibit cengkeh dengan pikulan. Dua pembeli memilih bibit cengkeh, yang lalu dibawa ke tepian jalan.

Di saung pembibitan, anggota kelompok sedang menyantap nasi liwet. Nasi putih, lauk-pauk dan sayuran tersaji di lembar-lembar daun pisang.

“Kita memang menyemaikan bibit, lalu dijual. Sekarang ini sedang memindahkan bibit cengkeh daribekong atau polibag kecil ke yang besar. Sekarang juga ada yang beli cengkeh untuk ditanam di Ciwidey, sekitar 500 bibit,” urai Mamat tentang terus bergulirnya usaha pembibitan.

Selain pembibitan, MDK Pasanggrahan juga mengembangkan usaha gula aren. “Alhamdulillah usaha gula aren juga berkembang.Pada awalnya, beranggotakan 15 orang, sekarang menjadi 21 orang.”

Kelompok memenuhi kebutuhan peranti pembuatan gula aren.“Terus terang saja, ada bantuan dan penjelasan tentang manfaat hutan dalam MDK. Otomatis perajin gula aren, yang dulu mencari bahan bakar di hutan, menjadi mengerti,” jelas Mamat.

Awalnya, kayu bakar diambil dari hutan. “Sekarang dari kebun-kebun masyarakat. Pada tahun 2013, kita merehabilitasi lahan produksi dengan 5.000 bibit sengon. Kita sebagai anggota MDK berpartisipasi menyumbang 4.000 bibit. Jadinya 9.000 bibit sengon yang ditanam.”

Baik di Pasanggrahan maupun Cihanjawar memang dilakukan rehabilitasi di lahan-lahan produksi. Berdasarkan hasil studi, wilayah di luar kawasan konservasi memang terdapat lahan kritis. Hal itu tejadi karena pola pengelolaan lahan yang tidak bijaksana, sehingga menimbulkan kerusakan dan bencana bagi ekosistem dan manusia.

Dengan begitu, dibutuhkan upaya penanggulangan untuk mengurangi lahan kritis dengan rehabilitasi. Agar rehabilitasi berhasil dan mengungkit ekonomi setempat, Komponen 4 melibatkan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.

Penanaman dilakukan di lahan kritis dekat kawasan, ujar Maman, “dan bibit juga diberikan kepada perajin aren dan orang yang punya kebun di dekatCagar Alam Gunung Burangrang.”

Selain tanaman keras, rehabilitasi juga menanam 9.000 pohon yang bermanfaat ganda, seperti manggis dan cengkeh. “Jumlah bibit yang diterima perajin aren tergantung luas tanahnya.  Ada yang 100, dan sampai 400 bibit,” ungkap Mamat.

Kini, dalam wawasan Mamat, sekitar80 persen pembuat gula aren tidak lagi mengambil kayu bakar dari hutan Burangrang. “Alhamdulillah lumayan sukses.Sekarang juga telah berkembang simpan pinjam. Ya, kalau cuma perlu biaya Rp2,5 juta saja, kelompok sudah bisa memenuhinya. Perajin lalu mencicil pinjaman dari hasil gula aren.”

Usaha Alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap keanekaragaman hayati dilakukan di tujuh kawasan konservasi. Bentuknya macam-macam. Selain produksi gula aren, ternak ayam, ada juga ternak kelinci, budidaya bunga hebras. Intinya, wujud usaha alternatif tersebut sebagai hasil curah pendapat setiap kelompok Model Desa Konservasi.

Mari kunjungi Model Desa Konservasi di Sindulang, yang terletak tidak jauh dari Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Di desa ini, kelompok menjalankan budidaya bunga anggrek. Setakat ini, budidaya anggrek berjalan baik, lantaran Sindulang memang dikenal sebagai penghasil anggrek. Tak mengherankan, Sindulang telah memiliki bekal ketrampilan dan pasar. Anggota kelompok juga memilih usaha kursus menjahit. Kursus ini terus berkembang, yang lulusannya mampu mengembangkan usaha mandiri.

Demikian pula aktivitas kelompok Model Desa Konservasi di Desa Sugihmukti. Kelompok di salah satu desa di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu ini mengembangkan pengelolaan sampah komunal, pembibitan dan ternak kelinci. Pengelolaan sampah komunal itu terus bergulir, dengan mendaur ulang barang bekas menjadi kerajinan tangan dan produk baru.

Sementara itu, sampah organik yang berasal dari kotoran sapi dan sampah domestik dimanfaatkan sebagai kompos. Sampah domestik itu dikumpulkan dari rumah-rumah dengan kendaraan roda tiga, bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. Hanya saja, tak semua usaha di Sugihmukti berjalan sesuai harapan. Usaha beras online misalnya, menghadapi tantangan banyaknya pembeli yang menunggak pembayaran.

            Rintisan usaha alternatif juga menyentuh desa-desa lain yang ada lembaga Model Desa Konservasi. Hakikat beragam usaha ekonomi itu untuk mengajak kelompok membuka peluang pekerjaan tanpa dampak negatif terhadap kawasan konservasi yang tercakup dalam CWMBC. Perlahan tapi pasti, keberhasilan kelompok-kelompok MDK diharapkan menggugah minat warga yang lain untuk tidak merambah dan membuka kawasan konservasi.!break!

Seluruh ikhtiar tersebut untuk memberikan model atau contohdalam pembangunan wilayah di sekitar kawasan konservasi yang menopanghulu DAS Citarum. Lantaran berada dalam wilayah administratif, masa depan pembangunan lanskap produksi mau tak mau mesti menggandeng pemerintah daerah.

Apapun gagasan pemerintah daerah, dalam membangun wilayah sekitar kawasan konservasi mesti berwawasan lingkungan. Ada tiga aspek penting dalam membangunwilayah desa di sekitar kawasan konservasi.

Pertama, aspek lingkungan. Masyarakat sekitar kawasan diharapkan mampu menyangga hutan konservasi dari berbagai gangguan;merawat habitat hidupan liar; sertadapat menambah daerahresapan air.Kedua:aspek sosial, yang menyangkut peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, sehingga bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasankonservasi. Ketiga, aspek ekonomi: meningkatkan pendapatan masyarakatdan mengalirnya investasi ke perdesaan.

Tentunya gerak maju desa konservasimesti didukung oleh semua pemangkukepentingan terkait, baik pengelola kawasan maupun pemerintah daerah. Di masa datang, pemerintah daerah akan berperan penting dalam membangun desa-desa konservasi ini.

Menyadari hal itu, program Komponen 4 CWMBC menggelar lokakarya desa untuk menghasilkan masterplan atau rencana induk desa. Rencana induk ini awalnya disusun oleh anggota MDK, lantas dilakukan konsultasi publik. Lokakarya di tiap-tiap desa dihadiri tokoh masyarakat, penyuluh kehutanan, pertanian, peternakan di tingkat kecamatan.

Lokakarya desa ini untukmengintegrasikan rencana indukModel Desa Konservasi kedalam dokumen Rencana Jangka Menengah Desa. Pada kesempatan ini, kepala desa, camat dan BBKSDA menandatangani dokumen rencana induk. Penandatanganan secara simbolis ini menunjukkan dokumen itu telah menjadi milik desa, dan akan menjadi rujukan bagi kegiatan masyarakat, dengan anggota MDK sebagai motor penggeraknya.

Berbekal rencana induk desa, Komponen 4 CWMBC berupaya menautkan program Model Desa Konservasi dengan pemerintah kabupaten. Sejak awal mula, pada 2013, program CWMBC telah menggelar lokakarya MDK di tingkat Provinsi Jawa Barat.

Mengusung tema “Integrasi Pengelolaan Hulu DAS Citarum melalui Program Model Desa Konservasi”, lokakarya untuk memaparkan masterplan setiap desa, yang lantas dipadukan dengan program pembangunan kabupaten maupun provinsi. Dengan paparan dan integrasi program itu, pemerintah daerah, utamanyaBadan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa, diharapkanmemberikan dukungan penuh terhadap MDK.

Forum lokakarya juga merupakan tahapan dari desain pengembangan MDK yang mengacu rancangan Balai Besar KSDA Jawa Barat. Rancangan tersebut telah disetujui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Desain ini merupakan lokus pemberdayaan masyarakat yang bersinergi dengan pihak-pihak lain untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan penanganan gangguan kawasan konservasi melalui pendekatan sosial.

Kendati masih memerlukan aksi nyata, dinas-dinas terkait di tingkat kabupaten telah mendukung masterplan desa konservasi. Dalam kegiatan ini, kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa juga mengesahkan masterplan desa.

Dengan demikian, bermula dari tingkat desa dengan kegiatan MDK, pengarusutamaan konservasi akan berlanjutke tingkat kabupaten danprovinsi. Selain kesadaran dan perubahan perilaku yang lebih sadar konservasi, upaya Komponen 4 juga diukur dari adanya rencana-rencana formal di tingkat desa hingga provinsi untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan melindungi lanskap produksi yang penting bagi kenakeragaman hayati dan fungsi DAS. Rencana-rencana itu mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) desa, kabupaten, dan provinsi.

Berbekal kegiatan dan hasil MDK, mulai akhir 2014 dilakukan berbagai forum pertemuan untuk mengintegrasikan konservasi ke dalam RPJM desa, kabupaten dan provinsi. Upaya untuk merintis hal tersebut dilakukan secara intensif dengan Badan Pemberdayaan masyarakat dan pemerintah Desa (BPMPD) di kabupaten dan provinsi.

Selama pendampingan Model Desa Konservasi, dari2013 sampai 2015, salah satu tantangannyaadalah akses pasar bagi produk-produk usaha alternatif. Untuk itu,Komponen 4 mengembangkan jaringan dan forum kemitraan usaha dengan para pihak bagi kelompok MDK.

Dalam rangka itu, pada 2015, Komponen 4 melakukan pendampingan bagi pengembangan forum kemitraan untuk kelompok MDK Cihanjawar dan Pasanggrahan. Upaya ini sebagai bagian dari strategi pengakhiran atau exit strategy program, lantaran tahun 2015 merupakan batas akhir proyek CWMBC. Dengan melebarkan sayap jaringan, diharapkan kelompok MDK mampu mandiri dan bermitra dengan para pihak.

Sebagai acuan bergerak, kelompok MDK dibekali panduan pengembangan jaringan usaha. Pengembangan kemitraan ini terdiri dari tahap persiapan, inisiasi,pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Dalam tahap persiapan, kelompok memetakan potensi mitra dan menyusun rencana pengembangan kemitraan. Sebagai tahap awal, calon mitra diprioritaskan pada dinas-dinas di Kabupaten Purwakarta, yang diharapkan dapat membantu mencapai tujuan program Model Desa Konservasi.

Berdasarkan hasil pemetaan mitra, terdapat sejumlah instansi kabupaten menjadi prioritas, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Dinas Perdagangan, Dinas Kehutanan, dan Dinas Koperasi.

Kedua kelompok MDK telah beraudiensi ke dinas-dinas itu,bersama fasilitator desa dan tenaga ahli Komponen 4. Selain itu, kelompok juga berencana beraudiensi ke bupati Purwakarta.

“Kita sudah panen ayam tiga kali dan ingin berkembang. Sekarang ini rukun tetangga yang lain juga ingin membuat kandang baru. Akhirnya, kita berkunjung ke dinas-dinas terkait di Kabupaten Purwakarta. Kita ingin menunjukkan ada usaha yang telah dirintis oleh BBKSDA, dan sekarang saatnya pemerintah daerah untuk mengambil bagian,” jelas Iis. “Alhamdulillah, dinas mengusulkan untuk membuat surat dari desa untuk dinas-dinas agar tersambung dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah.”

Iis memaparkan, setelah program selesai, bantuan usaha alternatif MDK akan didukung oleh pemerintah daerah setempat. “Kita sudah membawa kelompok MDK ke dinas-dinas untuk menginformasikan berbagai usaha dan pemberdayaan masyarakat. Kelompok sudah ke Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian. Jadi tidak mubazir ada MDK di sini. Pemerintah daerah juga berterima kasih.”

Sejak awal program CWMBC, untuk pengembangan MDK, Balai Besar KSDA Jawa Barat menjalin kesepahaman (MoU) dengan empat pemerintahan kabupaten: Sumedang, Bandung Barat, Subang, dan Purwakarta. Inti kesepahaman: pengembangan model desa konservasi akan dikawal selama 5 tahun. Selama kurun itu, diharapkan desa telah mampu mandiri.Untuk tiga tahun pertama, Balai Besar akan mengawal MDK dengan dukunag dana CWMBC, dan dua tahun sisanya bakal dilanjutkan oleh pemerintah daerahdengan anggaran APBD.