Dua Tahun Pagebluk, Virus Corona dan Evolusinya yang Belum Berakhir

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 16 Maret 2022 | 13:00 WIB
Virus corona telah dua tahun menjangkit sebagai pagebluk COVID-19. Tetapi, evolusinya terus berjalan dan penyebarannya melebar ke spesies lain. (NIAID/FLICKR)

Nationalgeographic.co.id—"[Pandemi] ini bagaikan gempa bumi—Anda tahu gempa akan terjadi, tetapi biasanya tidak terlalu dipikirkan," kata Raul Andino, peneliti di University of California, AS, kepada National Geographic.

Sudah 30 tahun dia mempelajari virus RNA, kelompok yang termasuk penyebab COVID-19, tetapi dia tak pernah membayangkannya menjadi pagebluk yang terjadi di seluruh dunia selama hidupnya.

Jenis virus ini telah dipelajari sejak lama dan para ilmuwan sebenarnya sudah menduga akan menyerang manusia. Tetapi, terkait entah kapan dan bagaimana fatalnya belum diketahui sebelumnya. "Besar dan implikasinya masih sulit dipahami," lanjut Andino.

Awal penemuan merebaknya oleh para ilmuwan di Wuhan, Tiongkok, yang mengakibatkan sentimen politik dan kecurigaan awam sebagai konspirasi.

Sementara, seperti yang diwartakan National Geographic Indonesia Februari 2021, para ilmuwan memperkirakan penyebaran virus yang bersifat zoonosis ini ke manusia terjadi akibat interaksi manusia dengan hewan liar. Pembakaran hutan dan perubahan iklim memicu hewan seperti kelelawar yang merupakan pembawa virus, terpaksa keluar dari habitatnya dan lebih dekat ke manusia.

Tak hanya itu, sebetulnya para ahli telah sejak lama lewat berbagai penelitian, telah memperingatkan pagebluk yang bisa terjadi kapan saja, akibat perluasan pemukiman ke kawasan alam liar.

Tahun 2008, sebuah makalah di jurnal Nature pun telah mengungkapkan akan adanya penyakit menular yang berasal dari satwa liar yang telah meningkat secara signifikan antara tahun 1940 dan 2004. Tetapi masih bisa disangka bahwa virus coronalah yang menjadi malapetaka di abad ke-21.

Virus-virus lain telah mewabah sebelum COVID-19 muncul, mulai dari SARS di tahun 2002 hingga 2004 di 29 negara, MERS tahun 2019 di 37 negara. Sedangkan virus corona datang dengan cara yang lebih keras dan menyebar cepat dari sebelumnya.

Ibarat penyuntingan makalah, virus memperbaiki salah ketik dalam gennya. Tetapi kesalahan tetap ada yang lolos dan menjadi mutasi hingga varian baru. (NIAID-RML)

Serangan virus SARS-CoV-2 akibatnya ditetapkan sebagai pagebluk di dunia oleh WHO pada 11 Maret 2020, dua tahun yang lalu. Hingga kini, diperkirakan hampir 500 juta orang di hampir 200 negara telah terinfeksi dan merenggut enam juta jiwa, serta masalahnya belum tuntas sampai di hari ini.

Ketika virus ini merebak sampai saat ini, para ilmuwan terkesima. Virus ini begitu cepat berevolusi setelah keluar dan masuk ke spesies lain (hewan ke manusia, lalu bisa ke hewan lagi). Evolusinya yang begitu cepat dengan mempelajari daya tahan tubuh dan bahkan dampaknya pada kita. Akibatnya, ada banyak orang yang harus berjuang melawan virus ini untuk melanjutkan hidup.

Virus corona bisa tersebar dan sulit dibendung karena dapat menular walau tanpa memiliki gejala. "Di satu sisi, SARS-CoV-2 telah menemukan cara penyebaran [dengan cepat] dan juga menyebabkan penyakit," ujar Andino. "Ini skenario terburuk yang bukan main."

Berkembangnya varian

Awalnya para ilmuwan tidak menyangka SARS-CoV-2 bisa bermutasi dalam membentuk varian. Sebelumnya, diperkirakan virus corona hanya bisa bermutasi pada tingkat yang lebih rendah dari virus RNA lainnya, seperti influenza dan HIV. Virus ini memiliki protein yang bisa bisa mengoreksi kesalahan di dalam strukturnya ke dalam materi genetik untuk bereplikasi.

  

Baca Juga: WHO Tambahkan Dua Obat Baru Sebagai Saran Perawatan Pasien COVID-19

Baca Juga: Indra Penciuman Hilang Saat COVID-19, Tanda Ada Penyusutan Materi Otak

Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan

   

Amin Soebandrio dari Lembaga Molekuler Eijkman sebelumnya juga menjelaskan, bahwa kemampuan protein ini ibarat sebagai editor penulisan. Sebelum disebarkan sebagai tulisan yang layak dibaca publik, agar mencegah typo, 'editor' akan mengoreksi agar tidak terjadi kesalahan.

"Itulah mengapa kami mengira [SARS-CoV-2] tidak akan berkembang pesat, kata Ravindra Gupta, ahli mikrobiologi klinis di University of Cambridge di National Geographic.

Fakta di lapangannya justru berbandingan terbalik ketika varian alfa pertama kali diidentifikasi pada November 2020 yang membuat Gupta dan ilmuwan lainnya tercengang. Varian ini memiliki 23 mutasi yang membuatnya berbeda dari strain SARS-CoV-2 yang asli. Rupanya ada kesalahan yang lolos 'koreksi' dalam strukturnya ketika hendak bereplikasi.

Tim BPBD DIY bersama beberapa organisasi masyarakat seperti MCCC melakukan dekontaminasi di kota Yogyakarta pada 22 Juni 2021. (MDMC)

Dengan set mutasi ini, varian alfa 50 persen lebih mudah menular dari virus aslinya. Lalu berkembanglah varian lain dan lebih cepat menular seperti beta, delta, dan omicron, yang dijadikan varian yang harus diperhatikan (VOC) oleh WHO.

"Begitu mudahnya kemampuan [SARS-CoV-2] untuk menghasilkan solusi dan cara baru untuk berdapatasi dan menyebar—sangat mengejutkan," lanjut Andino.

Gupta mengungkapkan, alasan mengapa virus corona bisa begitu cepat berevolusi dibanding virus lainnya. Virus itu berevolusi untuk jangka waktu yang lama di tubuh orang-orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan. Dia bersama tim melakukan melaporkan temuannya di jurnal Nature Februari 2021.

"Bahwa virus mengubah biologinya secapat ini dalam sejarah evolusinya adalah penemuan besar," ujar Gupta.

   

Baca Juga: Varian Baru Virus Corona dengan 46 Mutasi Teridentifikasi di Prancis

Baca Juga: Virus Corona Bisa Berdampak Terhadap Kepekaan Pancaindera Kita

Baca Juga: Gejalanya Sama dengan COVID-19, Apakah Flu Rusia dari Virus yang Sama?

     

Sebenarnya, lanjut Gupta, virus lain seperti influenza juga mengalami mutasi pada individu dengan gangguan kekebalan, tetapi hal itu "sangat jarang" dan hanya "mengifeksi dalam kisaran yang sempit." Virus corona justru mampu menginfeksi banyak area tubuh yang berbeda, sehingga membuat efek yang lebih rumit untuk diuraikan para ilmuwan.

Namun, ilmuwan juga khawatir dengan kemampuan virus corona yang kini menjangkau populasi di luar manusia, hewan.

Hal ini membuat para ahli memprediksikan pagebluk masih panjang. Akibatnya, berkembang pula penelitian untuk mengidentifikasi mamalia seperti primata, rusa, paus, lumba-lumba, dan hewan peliharaan. Sebab, terang para peneliti di jurnal PNAS pada Agustus 2020, mamalia punya kesamaan dalam reseptor dengan manusia.

Meski demikian, ilmuwan lain menyarankan agar terus menaruh perhatian pada penyebaran SARS-CoV-2 antarmanusia. Penyebaran ini dinilai berdampak lebih besar karena bisa berdampak pada penularan dari manusia ke hewan.