Kehidupan di Era Kekaisaran Tiongkok, Samakah dengan Zaman Modern?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 16 Februari 2023 | 15:00 WIB
Bagi sebagian besar dunia barat, Tiongkok selalu menjadi misteri. Seperti apa kehidupan di era Kekaisaran Tiongkok? (Thomas Allom)

Nationalgeographic.co.id—Bagi sebagian besar dunia barat, Tiongkok selalu menjadi misteri. Di era Kekaisaran Tiongkok, mata pencaharian mayoritas penduduk adalah Bertani. Mereka tinggal di komunitas kecil dan bekerja di lahan keluarga. Kehidupan di masa itu keras, bahkan pendidikan hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja. Seperti apa kehidupan di era Kekaisaran Tiongkok?

Ajaran Konfusius mendominasi masyarakat Tionghoa

Filsuf Cina Konfusius menetapkan ajaran yang menjadi dasar masyarakat di Tiongkok. “Ini termasuk struktur keluarga dan peran masing-masing anggotanya,” tulis Lary Holzwarth di laman History Collection.

Konfusius menekankan moralitas individu dan otoritas, yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Anak harus tunduk kepada orang tua, khususnya ayah. Konsep berbakti diarahkan kepada laki-laki tertua dalam sebuah rumah tangga, yang merupakan otoritas tertinggi. Jika sang ayah tidak ada, putra sulung memainkan peran utama.

Hal ini secara alami membuat peran wanita tunduk, ibu dituntut untuk menuruti keinginan anak laki-laki mereka, haruskah laki-laki tertua mendukung mereka, dan anak perempuan tidak lebih dari harta benda.

Peran laki-laki untuk memerintah diperluas hingga kepala dinasti yang berkuasa. “Penghormatan terhadap otoritas laki-laki adalah landasan di mana hukum dan kebiasaan orang Tionghoa dibangun,” tambah Holzwarth.

Pedagang berada di bagian terbawah dari kelas sosial

Di Tiongkok kuno dan awal dinasti, kelas sosial didefinisikan dengan jelas. Meski petani melakukan pekerjaan kasar, mereka cukup dipandang. Pasalnya, petani menghasilkan produk yang dibutuhkan.

Lain halnya dengan kelas pedagang yang menempati bagian bawah piramida masyarakat. Pedagang tidak menghasilkan apa-apa dan hanya bertindak sebagai perantara untuk mendapatkan keuntungan.

Karena pekerjaan sebagian besar bersifat turun-temurun, anak pedagang kemungkinan besar akan ditakdirkan untuk hidup di kelas bawah. Kecuali ia cukup beruntung untuk mendapatkan posisi pegawai negeri.

Karena status sosial mereka yang rendah, para pedagang tidak diperbolehkan naik kereta dan tidak diperbolehkan memakai sutra.

Anggota kelas pedagang tidak diperbolehkan menikah di luar kelas mereka. Namun putri pedagang bisa menjadi selir dari kelas atas.

Munculnya neo-Konfusianisme selama dinasti Song membatasi hak perempuan

Sejak permulaan Dinasti Song (960 – 1269 M) hak-hak perempuan dalam masyarakat Tionghoa semakin dibatasi.

Kesucian menjadi kebajikan yang dikhotbahkan oleh para filsuf laki-laki terhadap perempuan. Di masa ini, adalah hal yang tabu bagi seorang janda untuk menikah lagi. Ia harus setia kepada mendiang suaminya. Diyakini bahwa seorang janda miskin lebih baik mati dalam kemiskinan daripada menikah lagi dan mengkhianati mendiang suaminya.

Juga tabu bagi perempuan untuk membicarakan laki-laki atau urusan laki-laki setiap kali mereka berada di luar rumah.

Filsuf terkemuka dinasti mengembangkan keyakinan bahwa wanita lebih rendah dari pria dalam segala hal. Perempuan menjadi bagian dalam (yin) dan laki-laki menjadi bagian luar (yang). Berdasarkan keyakinan ini, perempuan harus selalu berada di dalam rumah, tidak keluar kecuali dengan ayah atau suami.

Perempuan setelah menikah

Kebanyakan pernikahan diatur oleh orang tua. Orang tua menyewa mak comblang profesional untuk membuat pengaturan yang sesuai.

Anak perempuan dianggap sudah cukup umur untuk dinikahi ketika mereka berusia awal hingga pertengahan remaja. Sementara laki-laki muda biasanya dua kali lebih tua dari calon pengantin mereka.

Istri yang baru menikah tinggal di rumah sang suami, di mana orang tua suaminya juga tinggal. Ia harus tunduk kepada suami dan orang tuanya. Intinya hubungannya dengan orang tuanya sendiri sudah berakhir.

Istri yang baru menikah tinggal di rumah sang suami, di mana orang tua suaminya juga tinggal. Ia harus tunduk kepada suami dan orang tuanya. Intinya hubungannya dengan orang tuanya sendiri sudah berakhir. (Immanuel Giel)

Dalam masyarakat Tiongkok yang miskin, kesetiaan dalam perkawinan dianggap penting. Di kalangan kaya, suami yang tidak setia masih bisa ditoleransi bahkan seringkali ia diharapkan untuk tidak setia.

Wanita yang menikah dan anak-anaknya dianggap sebagai properti, dimiliki oleh suami dan ayah. Sejak hari pernikahannya dan seterusnya, perannya adalah melayani suaminya dan membesarkan anak-anak. Selain itu, yang terpenting adalah menunjukkan rasa hormatnya kepada pria senior di rumah tempat dia tinggal.

Seorang istri juga harus mematuhi keinginan dan arahan yang dia terima dari suami dan ibu mertuanya.

Hanya anak laki-laki yang mendapatkan pendidikan

Hanya anak laki-laki dari warga kaya yang diberikan pendidikan dalam bentuk apa pun. Pendidikan terutama adalah pengajaran filosofi dan tulisan-tulisan Konfusius, yang sebagian besar berfungsi sebagai dasar hukum Tiongkok. Kaligrafi adalah keterampilan lain yang diajarkan di sekolah.

Kombinasi ketiganya memungkinkan siswa kaya memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk memasuki pegawai negeri birokrasi pemerintah, yaitu melalui ujian tertulis.

Sekitar tahun 200 Sebelum Masehi masyarakat Tionghoa mulai menganut pendidikan yang lebih luas. Dengan perluasan kesempatan pendidikan, putra rakyat jelata dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan pegawai negeri.

Mereka yang cukup beruntung untuk lulus ujian membantu menciptakan struktur pemerintahan, sains, dan seni.

Perubahan hak wanita selama Dinasti Tang

Selama Dinasti Tang peran wanita dalam masyarakat Tionghoa berubah dalam banyak hal. Secara hukum seorang laki-laki hanya boleh memiliki satu istri pada satu waktu dan istri tidak boleh dijual sebagai budak. Tetapi dalam praktiknya baik istri maupun anak perempuan dijual ke rumah bordil.

Selain itu, di bawah hukum, pria dapat mempertahankan istri dan selir sebanyak yang dimungkinkan oleh keuangannya.

Gadis-gadis muda yang dijual sebagai selir dilatih di beberapa bidang, seperti membaca puisi dan mengembangkan keterampilan percakapan.

Karena wanita penghibur dituntut untuk berbicara dengan cerdas dengan pelanggan, membawakan lagu, dan membaca puisi, pendidikan wanita menjadi bisnis yang bagus.

Selama Dinasti Tang, gadis-gadis muda melihat peluang terbuka. Wanita muda mengembangkan keterampilan menenun, dianggap sebagai bentuk seni sekaligus bisnis. Wanita menjadi seniman jalanan dan pendongeng, menceritakan kisah mereka dengan memerankannya.

Perempuan mulai bekerja sebagai asisten pejabat pemerintah, menjabat sebagai sekretaris dalam birokrasi.

Jenis hukuman yang berbeda bagi perempuan

Untuk wanita yang melakukan kejahatan yang sama dengan pria, mereka mendapatkan jenis hukuman yang berbeda.

Semuanya merupakan bentuk penyiksaan. Meski perempuan dapat dijatuhi hukuman mati, mereka biasanya tidak tunduk pada eksekusi dan penghinaan di depan umum. Ketika perempuan dijatuhi hukuman mati, mereka diharuskan bunuh diri secara paksa. Dengan cara itu orang Tionghoa menghindari tabu masyarakat untuk membunuh seorang wanita. Mengapa tabu? Itu bukan karena wanita dianggap suci, tetapi karena semua wanita adalah milik seseorang. “Bahkan seorang janda adalah milik mendiang suaminya,” ujar Holzwarth.

Bentuk hukuman paling ringan bagi perempuan pelanggar adalah dipaksa menggiling biji-bijian. Karena menggiling biji-bijian dengan tangan, itu adalah kerja keras.

Pelanggaran yang lebih serius menyebabkan jari tangan individu ditekan di antara papan kayu untuk menimbulkan rasa sakit. Keempat adalah pemukulan di punggung dengan menggunakan batangan kayu yang berat, dengan jumlah pukulan yang ditentukan oleh hakim.

Menghindari hukuman pengadilan dengan membayar

Semua hukuman yang ditentukan dalam masyarakat Tiongkok kuno dapat dihindari melalui pembayaran biaya ke pengadilan.

Pembayarannya berupa uang tunai dalam bentuk koin tembaga. Bahkan hukuman mati bisa dihindari dengan membayar denda tembaga. Jumlah denda yang dikenakan untuk menghindari hukuman fisik dan hukuman mati bervariasi untuk setiap kejahatan. Jadi di Tiongkok kuno, penjahat kaya lolos dari pengadilan.

Kerja paksa untuk membangun infrastruktur di Kekaisaran Tiongkok

Kaisar Tiongkok membangun infrastruktur besar untuk memperkuat dan menyatukan kekaisaran. Ini termasuk bendungan dan kanal, jalan dan jembatan, irigasi, benteng yang termasuk Tembok Besar Tiongkok.

Mereka juga membangun istana kekaisaran dan kuil untuk berbagai dewa, taman dan kebun, serta tempat peristirahatan. Semua konstruksi dilakukan dengan kerja paksa, beberapa oleh tawanan budak dan tawanan perang.

Semua konstruksi dilakukan dengan kerja paksa, beberapa oleh tawanan budak dan tawanan perang. Salah satu contoh yang terkenal adalah Tembok Besar Tiongkok. (JLB1988)

Sisanya adalah wajib militer dari kelas bawah. Petani, sebagai kelas terbesar masyarakat Tionghoa, adalah yang paling sering wajib militer untuk kerja paksa. Mereka dibayar dengan koin atau ransum makanan.

Pekerjaan di semua proyek berlangsung lama dan sulit dan seringkali berbahaya bagi para pekerja. Bekerja di proyek pemerintah seringkali merupakan hukuman mati pasalnya pekerja mendapatkan makanan yang buruk dan kondisi kerja berbahaya. Tidak hanya itu, pekerja juga mendapatkan pelecehan melalui pemukulan yang memakan korban.

Tingkat kematian anak perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki

Dalam semua kebudayaan kuno, peluang untuk bertahan hidup hingga masa dewasa sangat sulit. Penyakit seperti campak, gondongan, cacar, demam berdarah, tifus, atau korela merenggut nyawa anak-anak. Flu adalah penyebab umum kematian, begitu pula infeksi dari luka yang tidak dirawat dengan baik.

“Gizi buruk, yang selalu menjadi momok bagi orang miskin, menyebabkan kesehatan yang buruk dan kematian dini,” Holzwarth menambahkan. Nilai anak perempuan dalam kebudayaan Tionghoa juga berkontribusi pada tingginya tingkat kematian anak perempuan.  

Karena anak perempuan dianggap kurang berharga dan sering dianggap beban, mereka dapat dibuang dengan cara dibunuh. “Di masa itu, bayi perempuan bisa ditenggelamkan setelah lahir,” kata Holzwarth. Praktik itu diterima dan dimaafkan dalam masyarakat di semua tingkatan.

Seringkali bayi perempuan ditinggalkan begitu saja di tempat terpencil di luar desa atau komunitas tempat ia baru saja dilahirkan.

Merananya kehidupan budak

Perbudakan adalah praktik yang tersebar luas di Tiongkok. Anak-anak yang tidak diinginkan biasanya dijual ke keluarga kaya sebagai budak.

Laki-laki yang dijual sebagai budak dapat dijadikan kasim. Beberapa budak adalah tawanan musuh atau tawanan perang. Para budak bekerja baik di ladang di bawah tangan tuan maupun di rumah dan bisnis orang kaya.

Ketika berada di sebuah rumah, budak dikenakan disiplin yang keras. Mereka bisa mendapatkan eksekusi singkat untuk pelanggaran seperti memasuki ruangan tanpa izin atau tidak menjawab panggilan dengan cepat.

Baca Juga: Lima Kaisar Tiongkok Terburuk yang Mengakhiri Kejayaan Dinasti

Baca Juga: Kisah Kaisar Tiongkok Fu Sheng, Tiran Bermata Satu nan Kejam

Baca Juga: Yuan, Kaisar Tiongkok Buat Kerajaannya Hancur Akibat Terlalu Baik

Baca Juga: Sejarah Panjang Tembok Besar Tiongkok, Siapa Kaisar yang Membangunnya? 

Budak tidak memiliki hak, tidak ada perlindungan hukum, dan tidak ada status sosial. Di sisi lain, jumlah budak yang dimiliki seseorang menunjukkan status sosialnya.

Selama sejarah Tiongkok kuno yang paling awal tercatat, para budak mengikuti majikan mereka ke alam baka. Di sana mereka dipercaya untuk melanjutkan pelayanannya. Mengikuti upacara pemakaman tuannya, para budaknya dikubur hidup-hidup, begitu pula para selirnya.

Selama dinasti Tiongkok, misalnya Dinasti Ming, ada upaya untuk mengontrol dan membatasi perbudakan. Namun perbudakan masih terus dipraktikkan di Cina dengan relatif terbuka hingga Perang Dunia Kedua. Bahkan ada laporan tentang perbudakan yang dipraktikkan di pasar gelap pada akhir abad ke-20.

Itulah sebagian gambaran kehidupan masyarakat Tionghoa di zaman Kekaisaran Tiongkok.