Zeb-un-Nisa: Penyair Mughal, Pemberontakan, dan Kisah Cinta Tragis

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 3 April 2023 | 11:00 WIB
Zeb-un-Nisa adalah Putri Mughal dan penyair pemberontak yang mengakhiri hari-harinya di penjara taman berlapis emas. (Public Domain)

Duduk sendirian di tamannya yang tenang, membacakan bait-bait puisi dan menunggu saat-saat terakhirnya tiba. Beginilah Putri Zeb-un-Nisa menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya.

Zeb-un-Nisa berarti "permata di antara para wanita", dan ia benar-benar pantas mendapatkan gelar tersebut. Zeb-un-Nisa adalah permata di harem Mughal, ia adalah seorang anak yang sangat cermelang, yang tumbuh menjadi seorang administrator dan cendekiawan.

Sayang, hidupnya dipenuhi dengan kemalangan. Khususnya ketika ia dipenjara karena mendorong saudara laki-lakinya untuk memberontak melawan ayah mereka.

Ia adalah seorang penyair yang brilian, cendekiawan, dan ikon kewanitaan. Namun akhir hidupnya adalah sesuatu yang tidak dapat diduga oleh siapa pun.

Awal Kehidupan Zeb-un-Nisa

Pada tanggal 15 Februari 1639, Putri Zeb-un-Nisa lahir. Ia adalah putri sulung Pangeran Muhi al-Din Muhammad (calon Kaisar Aurangzeb) dan istri pertama sekaligus permaisuri utamanya, Dilras Banu Begum.

Kelahirannya merupakan peristiwa yang membahagiakan bagi kedua orang tuanya, dan Shah Jahan juga merayakan kelahiran sang putri. Sejak awal, kehidupan Zeb-un-Nisa tampak penuh dengan janji dan kebahagiaan.

Zeb-un-Nissa dalam lukisan cat air karya Abanindranath Tagore sekitar 1921. (Public Domain)

Terlahir di keluarga Muslim, berarti anak-anak akan mulai belajar membaca Al-Quran sejak usia dini. Yang menggembirakan ayahnya, pada tahun 1646, Zeb-un-Nisa menjadi seorang Hafiza pada usia tujuh tahun.

Karena sangat gembira dengan pencapaian putrinya, Pangeran Aurangzeb merayakan pencapaian putrinya dengan mengadakan pesta besar, menyumbangkan 30.000 mohur kepada orang miskin dan memberlakukan hari libur selama dua hari untuk menghormatinya.

Terkesan dengan prestasi cucunya, Kaisar Shah Jahan menikahkan Zeb-un-Nisa dengan Suliman Shikoh, putra Dara Shikoh. Sayangnya, hari-hari bahagia itu harus berakhir ketika pada tahun 1657, Shah Jahan jatuh sakit.

Dari tahun 1657-1659, Zeb-un-Nisa menjadi saksi dari perang suksesi. Pada usia 20 tahun, ia terasing dari kakek dan bibinya, Jahanara, sementara paman-pamannya dan putra-putra mereka dihukum mati. Karena tidak adanya sumber, kita tidak tahu seperti apa reaksi Zeb-un-Nisa saat itu.