Aurangzeb adalah seorang Muslim puritan, sementara Zeb-un-Nisa memiliki kecenderungan pada keyakinan Sufi. Masalah ideologi ada di antara keduanya, tetapi tampaknya tidak mempengaruhi kemitraan mereka dalam memimpin pemerintahan.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, terjadi peristiwa yang akan membuat ayah dan anak ini berseteru.
Sebagai seorang puritan, Aurangzeb melarang musik, tarian, minuman keras, nyanyian dan puisi. Ketidaksukaannya pada puisi diketahui oleh para abdi dalemnya, oleh karena itu ia sangat kejam terhadap para penyair.
Tersembunyi dari ayahnya, Zeb-un-Nisa tidak hanya menulis puisi tapi juga ikut serta dalam kompetisi puisi bawah tanah rahasia. Puisi-puisinya merupakan cara baginya untuk merefleksikan keyakinannya, banyak dari puisinya yang memuji sufisme.
Para sejarawan, percaya bahwa salah satu pengaruh puitisnya adalah putra mahkota dan pamannya, Dara Shikoh. Ia sendiri adalah seorang penyair dengan kecenderungan Sufi yang kuat.
Zeb-un-Nisa lebih banyak mengidentifikasi diri dengan pamannya dan tumbuh lebih dekat secara spiritual dengan ajaran Sufi.
Bertunangan dengan putra pamannya, Sulieman Shikoh, membuat ikatan yang lebih kuat antara paman dan keponakannya. Bahkan bibinya, Jahanara, memiliki pengaruh besar pada keponakannya. Sang bibi menulis buku-buku tentang para wali Sufi dan menjadi panutan bagi Zeb-un-Nisa.
Setelah kekalahan Dara di tangan saudaranya, Zeb-un-Nisa menyaksikan kematian bukan hanya tunangannya tetapi juga pamannya yang tercinta.
Keretakan mulai terbentuk dalam hubungannya dengan ayahnya, menyebabkan ia mempertanyakan cara ayahnya memerintah di masa depan.
Pukulan lain bagi Aurangzeb datang pada tahun 1666, ketika ia menangkap Shivaji; seorang musuh yang telah menyebabkan masalah bagi kaisar. Shivaji ditempatkan di bawah tahanan rumah, meskipun dengan segala keamanan yang ada, ia dan putranya dapat melarikan diri.
Ketika pelarian tersebut diselidiki, yang mengejutkan Aurangzeb, Zeb-un-Nisa telah mengatur pelarian tersebut. Dikhianati, hubungan Aurangzeb dengan putrinya menjadi tegang.
Pukulan terakhir terjadi pada tahun 1681, ketika putra Aurangzeb, Muhammad Akbar memberontak terhadap ayahnya.