Seiring berjalannya waktu, Zeb-un-Nisa mulai menulis dengan nama pena Makhfi yang berarti "yang tersembunyi". Kumpulan puisinya yang berjudul Diwan-i-Makhfi, berisi sekitar 5.000 bait.
Ia juga diakui menulis buku-buku lain, seperti Monis-ul-Roh, Zeb-ul Monsha'at (kumpulan surat-surat) dan Zeb-ul-Tafasir.
Tulisan-tulisannya telah dilestarikan untuk dinikmati oleh generasi mendatang; tulisan-tulisan tersebut merupakan jendela ke dalam pikiran penyair wanita.
Zeb-un-Nisa mewarisi kecintaan terhadap tasawuf dari bibinya, Jahanara dan Paman Dara Shikoh, kita tidak tahu sejauh mana pengaruh mereka terhadap sang putri.
Namun, puisinya menunjukkan kecintaannya pada sufisme. Aurangzeb, di sisi lain, tidak bersimpati pada keyakinan Sufi, oleh karena itu, kita dapat memahami bahwa keluarga Zeb-un-Nisa memiliki andil pada keyakinan dan pemikirannya.
Terlepas dari semua pendidikan dan pengetahuan yang ia dapatkan selama bertahun-tahun, hal itu tidak mengubah fakta bahwa Zeb-un-Nisa terkungkung dalam kehidupan di dalam harem.
Ia menyumbangkan uang untuk memungkinkan para cendekiawan, penyair, dan seniman pemula untuk mengeluarkan karya mereka dengan mudah. Dalam upaya ini ia juga mempromosikan pendidikan dan memberikan penghargaan.
Zeb-un-Nisa akan memberikan hibah kepada para cendekiawan yang akan menghasilkan banyak salinan dari para penulis terkenal.
Bahkan membentuk sebuah departemen yang terdiri dari para penulis dan kaligrafer, yang akan mengerjakan berbagai terjemahan dan membuat karya orisinal.
Zeb-un-Nisa di dalam Harem
Zeb-un-Nisa adalah anak kesayangan ayahnya, namun ia tetap harus mematuhi peraturan Harem; seperti menjalankan tradisi Purdah dan tinggal di dalam tembok Zanana (Harem).