Pada tahun 85 Masehi, suku Dacia menyeberangi Sungai Danube dan menyerang perbatasan utara, membunuh seorang komandan Romawi. Empat tahun kemudian, tentara Romawi memenangkan kemenangan penting lainnya di Tapae; namun, Domitian terpaksa dengan enggan melakukan gencatan senjata dengan Raja Decebalus.
Pada tahun 92 Masehi, suku Sarmatia menyeberangi Danube dan menyerang perbatasan Romawi, sebuah perang yang akan berlangsung hingga setelah kematian kaisar. Meskipun hasil dari pencapaian militernya bermacam-macam, Domitian berhasil mendapatkan rasa hormat dari tentara ketika ia menjadi kaisar pertama sejak Augustus yang memberikan mereka kenaikan gaji.
Kaisar yang Paranoid dan Rumit
Pada masa keemasan Romawi, Domitian berkuasa sebagai Kaisar dari tahun 81 hingga 96 Masehi. Awalnya bukan sosok yang kejam, namun laporan Suetonius dalam "The Twelve Caesars" dan Cassius Dio dalam "Roman History" menggambarkan transformasi Domitian menjadi penguasa yang kejam karena keserakahan dan ketakutan akan pembunuhan.
Kepribadiannya yang berani dan mudah marah, ditambah sikapnya yang licik dan tertutup, hanya menambah citra negatif yang melekat padanya. Kesombongan yang berlebihan, terutama terkait dengan kebotakannya, semakin memperparah situasi. Ketika tekanan memerintah meningkat, paranoia menguasai pikirannya, mendorongnya untuk memperketat pajak Yahudi dan menyita harta senator serta warga Romawi yang kaya.
Paranoia Domitian tidak hanya berdampak pada kebijakan publik, tetapi juga merasuki kehidupan pribadinya, terutama terhadap Domitia Logina, istrinya. Tuduhan zina yang diajukan kepadanya—yang oleh beberapa sumber dianggap pantas—hampir mengakhiri hidup Domitia.
Sebelumnya, Domitia telah menikah dengan senator Aelius Lamia, namun dipaksa bercerai untuk menjadi istri Domitian. Dalam sebuah periode, Domitian meninggalkan Domitia demi Julia, keponakannya, sebelum akhirnya kembali ke pelukan istrinya atas desakan orang lain.
Kepribadian Domitian semakin rumit ketika dia menganggap dirinya sebagai penguasa absolut, dengan gelar "dominus et deus" atau "tuan dan dewa". Ia bahkan mengganti nama bulan September dan Oktober dengan Germanicus dan Domitianus.
Senat, yang sebelumnya memiliki kekuatan politik, hampir kehilangan seluruh kekuasaannya karena paranoia Domitian. Eksekusi senator dan pejabat kekaisaran atas pelanggaran sepele menjadi hal yang umum. Rasa cemburu yang mendalam membuatnya memerintahkan eksekusi Sullustius Lucullus, gubernur Britannia, dan memanggil kembali Agricola, jenderal yang populer di Britania, karena popularitasnya yang mengancam posisi Domitian.
Akhir Kehidupan yang Tragis
Paranoia Domitian berujung pada tindakan ekstrem, termasuk penggunaan informan dan interogasi yang brutal. Galeri tempat ia berjalan sehari-hari dilapisi batu bulan yang mengkilap untuk mencerminkan segala yang ada di belakangnya. Eksekusi terhadap Flavius Clemons, suami keponakan lainnya, atas tuduhan ateisme menunjukkan ketakutan Domitian terhadap pemberontakan.
Hingga akhirnya, konspirasi untuk mengakhiri hidup Domitian benar-benar terjadi berulang kali, termasuk pada September 87 Masehi ketika beberapa senator yang terlibat konspirasi dieksekusi, dan pada tahun 89 Masehi ketika terjadi pemberontakan oleh Lucius Antonius Saturninus.
Jika kedua konspirasi tersebut berhasil dipadamkan, tidak demikian dengan konspirasi terakhir terhadap Domitian, yang diduga mendapat persetujuan dari Domitia, berhasil membawa kematian sang kaisar.
Semuanya berawal ketika Stephanus, anggota staf kekaisaran yang dituduh melakukan penggelapan, menawarkan bantuannya. Dengan pura-pura cedera dan menyembunyikan belati di balutan lengan, Stephanus mendekati Domitian dan menusuknya di selangkangan.
Dalam pergumulan yang terjadi, Domitian tidak dapat menjangkau pisau yang biasanya disimpan di bawah bantal karena telah dihilangkan oleh Parthenius. Konspirator lainnya segera masuk dan mengakhiri hidup Domitian. Pada usia empat puluh empat tahun, kaisar yang dikuasai paranoid itu tewas, dan abunya dimakamkan di Kuil Flavian oleh pengasuh lamanya, Phyllus.