Perang Enam Hari, Bentrok Israel-Arab di Sejarah Timur Tengah

By Hanny Nur Fadhilah, Minggu, 9 Juni 2024 | 11:00 WIB
Pasukan-pasukan pengintai Israel melawan Arab di Perang Enam Hari sejarah Timur Tengah. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id – Perang Enam Hari terjadi pada tahun 1967. Peristiwa ini menjadi salah satu perang yang tak terlupakan dalam sejarah Timur Tengah.

Hanya dalam waktu enam hari, Israel dan koalisi negara-negara Arab, termasuk Mesir, Yordania, dan Suriah, bentrok dalam serangkaian pertempuran sengit yang secara drastis mengubah lanskap geopolitik di wilayah tersebut.

Lantas, apa penyebab Perang Enam Hari di sejarah Timur Tengah?

Sejarah Timur Tengah, pada tahun-tahun menjelang tahun 1967 merupakan kawasan yang penuh dengan ketegangan dan manuver geopolitik.

Berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 telah memicu konflik. Dengan terjadinya Perang Arab-Israel, yang sering disebut sebagai Perang Kemerdekaan atau Nakba, mengakibatkan gencatan senjata pada tahun 1949.

Gencatan senjata ini menetapkan perbatasan sementara, yang dikenal sebagai Garis Hijau, namun tidak menyelesaikan sengketa wilayah atau status pengungsi Palestina.

Sepanjang tahun 1950-an dan awal 1960-an, pertempuran kecil dan konfrontasi sering terjadi di sepanjang perbatasan antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya.

Yang paling kontroversial adalah hubungan Israel dengan Mesir. Krisis Suez tahun 1956, ketika Israel, berkolusi dengan Inggris dan Prancis, menginvasi Semenanjung Sinai sebagai tanggapan atas nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir, semakin memperburuk ketegangan.

Meskipun krisis ini berakhir dengan penarikan pasukan di bawah tekanan internasional, krisis ini menjadi preseden bagi keterlibatan militer di wilayah tersebut.

Yang menambah pergolakan ini adalah bangkitnya nasionalisme Arab, yang diperjuangkan oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.

Visinya tentang persatuan Arab melawan Israel mendapat perhatian, terutama setelah pembentukan Republik Persatuan Arab, sebuah persatuan politik yang berumur pendek antara Mesir dan Suriah pada tahun 1958.

Baca Juga: Seperti Apa Palestina di Bawah Pemerintahan Kekaisaran Ottoman?

Pada pertengahan tahun 1960-an, dengan adanya dinamika Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet sangat terlibat di kawasan ini, memasok senjata dan memberikan dukungan politik kepada sekutu mereka masing-masing.

Percikan perang dimulai pada bulan Mei 1967. Pasukan Mesir mulai berkumpul di Semenanjung Sinai sekitar tanggal 15 Mei, yang menandakan adanya potensi inisiatif militer.

Tindakan ini diikuti dengan penutupan Selat Tiran bagi pelayaran Israel pada tanggal 22 Mei, yang merupakan tantangan langsung terhadap Israel, yang sebelumnya telah menyatakan tindakan tersebut sebagai penyebab perang.

Pakta pertahanan yang ditandatangani antara Mesir, Yordania, dan Irak semakin meningkatkan kesan konflik yang akan terjadi.

Suriah, yang sudah lama berselisih soal perbatasan dengan Israel juga bersiap menghadapi perang.

Ketika upaya diplomasi gagal, dan kawasan ini menjadi gudang kekuatan militer dan semangat nasionalis, pecahnya permusuhan menjadi hampir tak terelakkan.

Siapakah Kekuatan Penting dalam Perang Enam Hari?

Pasukan Israel di Semenanjung Sinai yang bersiaga bila terjadinya pertempuran dari Mesir. Setelah Perang Enam Hari, Israel menguasai Semenanjung Sinai, membuat Mesir berambisi mendapatkannya kembali dalam Perang Yom Kippur. (Avi Simchoni/Israel Defense Forces)

Israel memasuki konflik dengan perasaan ancaman yang nyata. Negara muda yang didirikan pada tahun 1948 ini telah menghadapi permusuhan dari negara-negara tetangganya sejak awal berdirinya.

Pada tahun 1967, Israel telah mengembangkan militer yang tangguh, dengan doktrin yang menekankan mobilisasi cepat dan serangan pendahuluan.

Yang memimpin Israel pada masa kritis ini adalah Perdana Menteri Levi Eshkol. Meskipun Menteri Pertahanan, Moshe Dayan, dan Kepala Staf, Yitzhak Rabin, yang memainkan peran penting dalam keputusan militer dan operasi perang.

Baca Juga: Hasilkan Emisi Karbon Besar, Perang Gaza Jadi Ancaman Perubahan Iklim

Mesir, yang saat itu dikenal sebagai Republik Persatuan Arab, adalah anggota koalisi Arab yang paling menonjol.

Presiden Gamal Abdel Nasser adalah wajah nasionalisme Arab dan telah memposisikan dirinya sebagai pembela perjuangan Palestina dan musuh utama Israel.

Keputusannya untuk menutup Selat Tiran dan pembangunan militer selanjutnya di Sinai merupakan peristiwa penting menjelang perang.

Yordania dipimpin oleh Raja Hussein. Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang dikuasai Yordania menjadi arena utama perang, yang mempunyai implikasi signifikan terhadap masa depan konflik Israel-Palestina.

Suriah memiliki sengketa wilayah yang sudah berlangsung lama dengan Israel, khususnya mengenai Dataran Tinggi Golan yang kaya akan perairan.

Rezim Ba'ath di Suriah, dengan ideologi Arab yang kuat, telah terlibat dalam pertempuran kecil dengan Israel pada tahun-tahun menjelang perang.

Suriah selama Perang Enam Hari sangatlah penting, karena pertempuran di sana menentukan kendali atas Dataran Tinggi Golan yang strategis.

Terakhir, Irak juga memainkan peran dalam konflik tersebut, meskipun perannya lebih terbatas dibandingkan negara-negara kombatan besar lainnya.

Di bawah Presiden Abdul Rahman Arif, Irak mengirimkan pasukan untuk mendukung front Yordania dan menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir dan Yordania.

Perang Enam Hari Dimulai

Perang dimulai pada tanggal 5 Juni 1967, dengan Operasi Fokus, serangan udara mendadak Israel yang menargetkan lapangan udara Mesir.

Baca Juga: Selidik Strategi Hadrianus Kekaisaran Romawi Menyingkirkan Kaum Yahudi

Dalam beberapa jam, Angkatan Udara Israel telah mencapai superioritas udara dengan secara efektif menetralisir mayoritas Angkatan Udara Mesir di darat.

Keberhasilan awal ini memberi Israel keuntungan yang signifikan dalam sisa konflik.

Pada tanggal 8 Juni, pasukan Israel telah mencapai Terusan Suez, mengamankan seluruh Semenanjung Sinai.

Kecepatan dan efisiensi serangan Israel sangat menonjol, dengan brigade lapis baja di bawah komando jenderal seperti Ariel Sharon dan Avraham Yoffe memainkan peran penting.

Di sebelah timur, Pertempuran Yerusalem dan Tepi Barat dimulai dengan penembakan artileri Yordania yang menargetkan sasaran di Yerusalem Barat pada tanggal 5 Juni.

Pasukan Israel melancarkan serangan balasan. Pada tanggal 7 Juni, pasukan terjun payung Israel telah memasuki dan mengamankan Kota Tua Yerusalem, menyatukan kembali kota tersebut di bawah kendali Israel.

Secara bersamaan, unit Israel lainnya mendesak ke Tepi Barat, merebut kota-kota penting seperti Jericho, Bethlehem, dan Hebron.

Pada akhir tanggal 7 Juni, seluruh Tepi Barat berada di bawah kendali Israel.

Di tepi utara menyaksikan pertempuran sengit dalam Kampanye Dataran Tinggi Golan. Pada tanggal 9 Juni, setelah berhari-hari terjadi baku tembak dan pertempuran artileri sporadis, pasukan Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap posisi Suriah di Dataran Tinggi Golan.

Menghadapi perlawanan keras, pasukan Israel dengan dukungan serangan udara berhasil menerobos pertahanan Suriah.

Pada tanggal 10 Juni, hari terakhir perang, Israel telah merebut seluruh Dataran Tinggi Golan, menjadikannya titik strategis yang menghadap ke wilayah Suriah.

Dampak Perang Enam Hari di Sejarah Timur Tengah

Setelah perang, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 242. Dalam resolusi tersebut menekankan "tidak dapat diterimanya perolehan wilayah melalui perang" dan menyerukan "penarikan angkatan bersenjata Israel dari wilayah yang diduduki dalam konflik baru-baru ini."

Resolusi ini menjadi landasan perundingan perdamaian di masa depan di kawasan. Salah satu dampak langsungnya adalah perluasan wilayah yang signifikan oleh Israel.

Hanya dalam enam hari, Israel telah merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Perolehan wilayah ini lebih dari tiga kali lipat luas negara Israel sebelum perang.

Meskipun ekspansi ini memberi Israel kedalaman strategis dan perbatasan yang dapat dipertahankan, ekspansi ini juga membawa sejumlah besar warga Palestina berada di bawah kendali Israel. Hal ini memicu ketegangan dan konflik di masa depan.

Perang tersebut memberikan dampak yang besar terhadap rakyat Palestina. Dengan kini Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah kendali Israel, wilayah Palestina secara efektif terpecah, sehingga mempersulit upaya menuju negara Palestina.

Perang tersebut juga menyebabkan gelombang baru pengungsi Palestina, yang semakin memperburuk masalah sensitif yang berakar pada Perang Arab-Israel tahun 1948.

Bahkan sampai saat ini, konflik antara Israel dan Palestina semakin memanas dan penuh dengan pertumpahan darah.