Jejak ini berasal dari berbagai sumber, mulai dari bahan bakar fosil yang dibakar pesawat tempur dan tank, hingga rantai pasokan yang kompleks untuk memproduksi senjata dan amunisi.
Penyumbang emisi terbesar militer adalah bahan bakar fosil. Pesawat tempur, tank, dan kapal perang melahap bahan bakar jet dan solar dalam jumlah besar, memuntahkan gas rumah kaca ke atmosfer. Aktivitas latihan, patroli, dan bahkan perpindahan pasukan pun turut memperparah emisi.
Dampak militer terhadap lingkungan tak berhenti pada asap knalpot. Emisi "Scope 2" muncul dari pembangkit listrik yang memasok energi ke barak dan pangkalan militer.
Lalu, ada pula "Scope 3" yang mencakup emisi dari rantai pasokan rumit, mulai dari manufaktur senjata hingga logistik.
Neimark dkk. memperkenalkan kategori baru: "Scope 3 Plus". Kategori ini mencakup emisi dari kerusakan akibat perang dan upaya rekonstruksi pasca konflik.
Pemboman dan penghancuran infrastruktur di Gaza atau Mariupol, misalnya, menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.
Di balik strategi kontra-insurjensi perkotaan militer Amerika Serikat di Irak, tersembunyi jejak karbon yang tak terduga: beton.
Penelitian terbaru mengungkap dampak signifikan penggunaan beton dalam pembangunan tembok sepanjang ratusan kilometer di Baghdad selama pendudukan tahun 2003 hingga 2011.
Tembok-tembok ini, meskipun dimaksudkan untuk melindungi dari bom dan mengatur pergerakan, meninggalkan luka bagi lingkungan. Beton, material penyusunnya, terkenal dengan jejak karbonnya yang besar. Hampir 7% emisi CO₂ global berasal dari produksi beton.
Bayangkan: tembok di Baghdad, sepanjang 412 km (256 mil), lebih panjang dari jarak London ke Paris. Pembangunannya menghasilkan emisi 200.000 ton CO₂ dan gas setara lainnya (CO₂e).
Jumlah ini setara dengan emisi gas buang tahunan kendaraan bermotor di Inggris, atau emisi keseluruhan negara kepulauan kecil.