GuangWu YANG from Pixabay" data-credit="Pixabay" data-watermark="0" data-src="https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/x/photo/2024/08/09/kembali-ke-masa-sampah-sejarah-20240809054920.jpg" />
Nationalgeographic.co.id—Warganet China ramai membandingkan kondisi negara saat ini dengan era Dinasti Ming yang terkenal dengan kejatuhan dan kekacauan.
Kini, di tengah gejolak ekonomi dan politik global, banyak yang khawatir bahwa China sedang menuju jalan yang sama. Perlambatan ekonomi, meningkatnya utang negara, dan ketegangan geopolitik menjadi beberapa faktor yang mendorong munculnya istilah "masa sampah sejarah".
Kondisi-kondisi tersebut memunculkan istilah "masa sampah sejarah" menjadi cerminan dari kegelisahan masyarakat akan masa depan negara. Sebuah masa yang justru dianggap pernah terjadi saat China dikuasai Dinasti Ming.
Apakah perbandingan ini sekadar hiperbola atau sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh Negeri Tirai Bambu? Apakah China benar-benar sedang mengalami kemunduran yang signifikan seperti pada era Dinasti Ming?
Melalui artikel ini, kita akan diajak untuk merenung lebih dalam mengenai masa depan China.
Permasalahan kompleks mirip era Dinasti Ming
Pasca "Abad Humiliasi" yang menandai periode penjajahan dan dominasi Barat, China berhasil bangkit melalui reformasi dan keterbukaan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat membawa harapan akan dimulainya "Abad China", di mana negara Tirai Bambu ini akan kembali berjaya di panggung dunia. Namun, narasi optimisme ini kini dihadapkan pada realitas yang berbeda.
Semakin banyak warganet China yang menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kondisi negara saat ini. Mereka menyebut era yang sedang dilalui China sebagai "Masa Sampah Sejarah".
Istilah yang cukup provokatif ini mencerminkan pandangan pesimistis bahwa berbagai permasalahan kompleks yang dihadapi China, mulai dari ketimpangan sosial, korupsi, hingga penurunan kualitas lingkungan, telah menghambat kemajuan negara dan bahkan mengancam masa depannya.
"Kecemasan ini semakin diperkuat oleh sebuah grafik yang sempat viral di media sosial, sebelum akhirnya disensor, papar Amy Hawkins di laman The Guardan. Grafik tersebut, berjudul "Peringkat Kesengsaraan 2024", menyajikan sebuah gambaran satir mengenai berbagai tantangan hidup yang dihadapi warga China saat ini.
Grafik ini menghitung "poin kesengsaraan" yang didapat seseorang berdasarkan berbagai faktor seperti pengangguran, cicilan rumah, utang, penyakit, biaya pengasuhan anak, dan bahkan investasi yang merugi.
Baca Juga: Siapa Sebenarnya yang Berhasil Meruntuhkan Kedigdayaan Dinasti Ming?