China Kembali ke 'Masa Sampah Sejarah', Mirip Era Dinasti Ming?

By Ade S, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 10:03 WIB
Istilah 'masa sampah sejarah' kembali populer di China. Kondisi ekonomi saat ini dinilai mirip dengan era Dinasti Ming. Apakah China benar-benar menuju kehancuran? (GuangWu YANG)

GuangWu YANG from Pixabay" data-credit="Pixabay" data-watermark="0" data-src="https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/x/photo/2024/08/09/kembali-ke-masa-sampah-sejarah-20240809054920.jpg" />

Nationalgeographic.co.id—Warganet China ramai membandingkan kondisi negara saat ini dengan era Dinasti Ming yang terkenal dengan kejatuhan dan kekacauan.

Kini, di tengah gejolak ekonomi dan politik global, banyak yang khawatir bahwa China sedang menuju jalan yang sama.  Perlambatan ekonomi, meningkatnya utang negara, dan ketegangan geopolitik menjadi beberapa faktor yang mendorong munculnya istilah "masa sampah sejarah".

Kondisi-kondisi tersebut memunculkan istilah "masa sampah sejarah" menjadi cerminan dari kegelisahan masyarakat akan masa depan negara. Sebuah masa yang justru dianggap pernah terjadi saat China dikuasai Dinasti Ming.

Apakah perbandingan ini sekadar hiperbola atau sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh Negeri Tirai Bambu? Apakah China benar-benar sedang mengalami kemunduran yang signifikan seperti pada era Dinasti Ming?

Melalui artikel ini, kita akan diajak untuk merenung lebih dalam mengenai masa depan China.

Permasalahan kompleks mirip era Dinasti Ming

Pasca "Abad Humiliasi" yang menandai periode penjajahan dan dominasi Barat, China berhasil bangkit melalui reformasi dan keterbukaan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat membawa harapan akan dimulainya "Abad China", di mana negara Tirai Bambu ini akan kembali berjaya di panggung dunia. Namun, narasi optimisme ini kini dihadapkan pada realitas yang berbeda.

Semakin banyak warganet China yang menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kondisi negara saat ini. Mereka menyebut era yang sedang dilalui China sebagai "Masa Sampah Sejarah".

Istilah yang cukup provokatif ini mencerminkan pandangan pesimistis bahwa berbagai permasalahan kompleks yang dihadapi China, mulai dari ketimpangan sosial, korupsi, hingga penurunan kualitas lingkungan, telah menghambat kemajuan negara dan bahkan mengancam masa depannya.

"Kecemasan ini semakin diperkuat oleh sebuah grafik yang sempat viral di media sosial, sebelum akhirnya disensor, papar Amy Hawkins di laman The Guardan. Grafik tersebut, berjudul "Peringkat Kesengsaraan 2024", menyajikan sebuah gambaran satir mengenai berbagai tantangan hidup yang dihadapi warga China saat ini.

Grafik ini menghitung "poin kesengsaraan" yang didapat seseorang berdasarkan berbagai faktor seperti pengangguran, cicilan rumah, utang, penyakit, biaya pengasuhan anak, dan bahkan investasi yang merugi.

Baca Juga: Siapa Sebenarnya yang Berhasil Meruntuhkan Kedigdayaan Dinasti Ming?

"Ada yang bilang sejarah punya masa sampah," tulis seorang pengguna Xiaohongshu yang membagikan grafik tersebut, bersama dengan saran tentang perawatan diri. "Individu tidak punya masa sampah."

Mirip era Dinasti Ming

Meskipun sering dikaitkan dengan ekonom Austria Ludwig von Mises, asal-usul pasti istilah ini masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa istilah ini merupakan interpretasi bebas terhadap pemikiran Mises yang menganjurkan pasar bebas.

Namun, penggunaan istilah ini di China lebih banyak dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik saat ini. Warganet yang menggunakan istilah ini seringkali mengaitkannya dengan kondisi ekonomi dan sosial yang dianggap tidak ideal, seperti tingginya tingkat pengangguran, ketidaksetaraan sosial, dan korupsi.

Penggunaan istilah "Masa Sampah Sejarah" juga sering kali diinterpretasikan sebagai kritik terselubung terhadap pemerintahan. Artikel yang ditulis oleh Ma Xiangyang di The Economic Observer, yang membandingkan situasi saat ini dengan masa pemerintahan Dinasti Ming, semakin memperkuat interpretasi ini.

"Dalam sejarah China, Dinasti Ming yang dibuka oleh Zhu Yuanzhang adalah contoh tipikal 'Masa Sampah Sejarah,'" ujar Ma.  Zhu adalah kaisar pendiri Dinasti Ming pada abad ke-14.

Ma berpendapat bahwa tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri Dinasti Ming, justru memperpanjang masa kegelapan di China. "Secara obyektif, hal itu hanya memperpanjang durasi dan kedalaman periode kegelapan ini," tulis Ma.

Analogi ini seolah-olah ingin menyampaikan pesan bahwa kebijakan-kebijakan tertentu yang diterapkan oleh pemerintah saat ini justru kontraproduktif dan memperburuk situasi.

Sentimen pesimisme

Ma bahkan menyatakan bahwa "hantu Masa Sampah Sejarah" telah kembali menghantui "jantung Asia".

Pernyataan Ma ini semakin menguatkan sentimen pesimisme yang tengah melanda masyarakat China. Kekecewaan terhadap lesunya ekonomi dan ketidakpastian masa depan semakin meluas. Mimpi besar tentang "Abad China" yang pernah membakar semangat banyak orang kini terasa semakin jauh.

Baca Juga: Katolik di Akhir Masa Dinasti Ming: Kala Buku Catatan Pahala-dosa Dikritik

Selain "Masa Sampah Sejarah", beberapa istilah lain seperti "tang ping" (berbaring datar) dan "nei juan" (berputar ke dalam) juga semakin populer di kalangan generasi muda China. Istilah-istilah ini merefleksikan sikap pasrah dan apatis yang muncul akibat tekanan hidup yang tinggi dan persaingan yang ketat.

Generasi muda China merasa bahwa usaha keras mereka tidak selalu membuahkan hasil yang sepadan. Ketidakadilan sosial, korupsi, dan kesenjangan ekonomi membuat mereka merasa putus asa dan kehilangan motivasi.

Akibatnya, banyak yang memilih untuk "berbaring datar" atau "berputar ke dalam" sebagai bentuk perlawanan pasif terhadap sistem yang dianggap tidak adil.

Ditentang oleh pemerintah

Sebagian besar media pemerintah dan tokoh berpengaruh, tentu saja, menolak keras penggunaan istilah tersebut.

Salah satu kritikus terkemuka adalah Wang Wen, dekan eksekutif Institut Studi Keuangan Chongyang di Universitas Renmin. Dalam artikelnya, Wang secara tegas mengecam penggunaan istilah "Masa Sampah Sejarah" sebagai "pemalsuan konsep akademis". "Menurut Wang, istilah ini tidak hanya salah kaprah, tetapi juga memiliki potensi yang sangat berbahaya," ungkap Hawkins.

"Jika kita melihat lebih dekat, istilah ini jauh lebih berbahaya daripada 'teori tang ping' yang sempat populer beberapa waktu lalu," tegas Wang. Ia berpendapat bahwa "Masa Sampah Sejarah" merupakan upaya untuk menghancurkan kepercayaan publik terhadap pembangunan yang telah dicapai oleh China.

Dengan menyebarkan pesimisme dan merendahkan pencapaian negara, lanjut Wang, istilah ini bertujuan menciptakan ekspektasi publik bahwa China akan gagal. Hal ini, menurutnya, merupakan sebuah konspirasi untuk merusak stabilitas dan persatuan bangsa.

Beijing Daily, salah satu surat kabar resmi Partai Komunis China, baru-baru ini menerbitkan artikel yang secara tegas menolak penggunaan istilah tersebut. Dalam artikel panjangnya, penulis mempertanyakan validitas proposisi yang menyatakan bahwa terdapat "masa sampah" dalam sejarah China.

"Apakah ada 'masa sampah' dalam sejarah kita? Ini adalah pernyataan yang salah dan tidak perlu diperdebatkan lagi," tegas penulis. Artikel ini mewakili sikap resmi pemerintah yang menolak segala bentuk narasi negatif tentang sejarah dan perkembangan negara.

Sikap tegas pemerintah ini tidak terlepas dari kekhawatiran akan dampak negatif dari sentimen pesimisme yang semakin meluas di masyarakat. Pemerintah khawatir bahwa penyebaran narasi negatif seperti "Masa Sampah Sejarah" dapat menghambat upaya pemulihan ekonomi dan mengganggu stabilitas sosial.

Untuk mencegah meluasnya sentimen negatif, pemerintah China telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk membatasi penyebaran informasi yang dianggap merugikan. Pengguna media sosial kini dilarang untuk "menjelek-jelekkan" kondisi ekonomi negara.

Qiao Liu, dekan terkemuka Guanghua School of Management di Universitas Peking, baru-baru ini memberikan pesan yang mendalam kepada para lulusan. Dalam pidatonya, Liu mengingatkan para lulusan muda untuk mewaspadai "jebakan narasi" yang kerap disebarluaskan, terutama yang berkaitan dengan masa depan ekonomi China.

Salah satu narasi yang paling sering dibicarakan adalah klaim bahwa pertumbuhan ekonomi China telah mencapai puncaknya dan kini memasuki fase penurunan. Narasi ini seringkali dikaitkan dengan istilah seperti "Masa Sampah Sejarah".

Menurut Liu, narasi semacam ini merupakan sebuah "jebakan" yang dapat menyesatkan pandangan publik terhadap potensi sebenarnya dari ekonomi China. Dalam terjemahan pidatonya yang diterbitkan oleh Pekingnology, Liu dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pesimistis ini tidak memiliki dasar yang kuat.

Memilih pasrah

Banyak warganet China yang merasa resonansi dengan istilah tersebut dan memilih untuk pasrah menjalani masa-masa sulit ini.

Salah satu contohnya adalah seorang blogger Weibo yang baru-baru ini menuliskan pesan perpisahan kepada para pengikutnya.

Dengan nada pilu, blogger tersebut mengungkapkan kekhawatirannya akan akunnya yang terancam dihapus karena berani menyuarakan kritik terhadap skandal keamanan pangan.

"Apa pun yang terjadi, saya sangat senang bisa melewati masa sampah sejarah ini bersama kalian," tulisnya. Kalimat ini seakan menjadi representasi dari perasaan putus asa dan kekecewaan yang dirasakan oleh banyak warganet China.

Perbandingan dengan Dinasti Ming mungkin tampak berlebihan, namun istilah "masa sampah sejarah" telah menjadi cerminan dari kegelisahan masyarakat China. Tantangan yang dihadapi saat ini membutuhkan solusi yang inovatif dan berani untuk menghindari nasib serupa dengan dinasti yang pernah jaya di masa lalu.