Bagaimana Nasib Kota Abadi Roma setelah Kejatuhan Kekaisaran Romawi?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 20 September 2024 | 08:00 WIB
Pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi, Roma dijuluki sebagai Kota Abadi. Bagaimana nasibnya setelah Romawi jatuh? ( Wolfgang Moroder/CC BY-SA 3.0)

Bangsa Lombardia tidak lagi menjadi masalah pada tahun 774 M ketika raja legendaris Charlemagne merebut kerajaan mereka. Peristiwa ini menandai dimulainya era baru dalam sejarah Roma.

Kedudukan Roma di Abad Pertengahan

Akhirnya, Kekaisaran Romawi Barat pun runtuh dan memudar dalam sejarah. Namun, Roma sendiri masih berdiri kokoh. Kota Abadi ini terus memainkan peran penting dalam dunia abad pertengahan yang sedang berkembang. Roma telah belajar untuk berubah dan berkembang, berubah dari pusat kekuatan kekaisaran menjadi pusat kekuatan spiritual.

Bahkan ketika kekuatan ekonomi dan politik Roma memudar selama berabad-abad, kota itu tetap penting secara simbolis. Kota itu masih dipandang sebagai caput mundi (kepala dunia) oleh banyak orang Eropa. Status tersebut diperkuat oleh hubungannya dengan Santo Petrus dan Kepausan.

Pandangan romantis tentang Roma ini sangat memengaruhi pemikiran politik terhadap kota itu sepanjang Abad Pertengahan. Hal ini mengarah pada konsep seperti translatio imperii (pengalihan kekuasaan), yang mendalilkan kesinambungan antara Kekaisaran Romawi dan entitas politik berikutnya.

Kota Roma semakin menarik peziarah selama periode ini. Selain makam Santo Petrus dan Santo Paulus, ada juga relik dari banyak orang suci lainnya, yang semuanya menarik peziarah dari seluruh Eropa.

Banyak dari peziarah ini kaya dan masuknya para peziarah ini meningkatkan ekonomi kota tua. Juga menyebarkan pengaruh Romawi dan Katolik ke seluruh benua. Pengembangan buku panduan untuk peziarah, seperti "Einsiedeln Itinerary" abad ke-7, membuktikan pentingnya fenomena ini.

Roma juga tetap berpengaruh di dunia akademis, meskipun pengaruhnya berubah. Banyak biara dan gereja di kota ini merupakan gudang penting pengetahuan klasik. Perpustakaan mereka yang luas menyimpan banyak teks kuno. Keberadaan perpustakaan memungkinkan pengetahuan yang dimiliki untuk Roma diwariskan ke generasi berikutnya.

Secara artistik, Roma terus memberikan pengaruh besar. Gaya arsitektur Romawi, khususnya pada bangunan gereja, menyebar ke seluruh Eropa. Bentuk basilika, misalnya, menjadi model standar bagi gereja-gereja di seluruh benua.

Motif dan teknik artistik Romawi, yang sering kali ditularkan melalui seni religius, memengaruhi perkembangan seni abad pertengahan. Pengaruhnya jauh melampaui tembok kota.

Roma juga memengaruhi cara negara-negara lain memerintah diri mereka sendiri. Pemerintahan Kepausan yang berkembang di Roma menjadi model bagi organisasi birokrasi yang selanjutnya memengaruhi pemerintahan sekuler. Kanselir Kepausan mengembangkan sistem canggih untuk produksi dokumen dan penyimpanan catatan. Hal ini ditiru oleh istana kerajaan di seluruh Eropa.

Yang terpenting, posisi Roma di dunia abad pertengahan baru diperkuat melalui hubungannya dengan kekuatan-kekuatan baru lainnya. Aliansi Kepausan dengan raja-raja Frank mencapai puncaknya dengan penobatan Charlemagne sebagai Kaisar di Roma pada 800 M.

Peristiwa ini menyoroti bagaimana kota tersebut terus menjadi titik fokus bagi konsep-konsep seperti otoritas kekaisaran. “Meski hari-harinya sebagai kekuatan kekaisaran telah lama berlalu,” Mitchell menambahkan lagi.

Roma tidak lagi menjadi ibu kota kekaisaran terbesar di dunia, tetapi masih memiliki pengaruh besar. Kota tersebut berada di pusat jaringan politik, agama, dan budaya yang membentang di Eropa abad pertengahan. Warisan kekaisarannya, dikombinasikan dengan peran barunya sebagai pusat Gereja Katolik, memastikan bahwa Kota Abadi tersebut terus menjadi seperti itu.