Bagaimana Nasib Kota Abadi Roma setelah Kejatuhan Kekaisaran Romawi?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 20 September 2024 | 08:00 WIB
Pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi, Roma dijuluki sebagai Kota Abadi. Bagaimana nasibnya setelah Romawi jatuh? ( Wolfgang Moroder/CC BY-SA 3.0)

Nationalgeographic.co.id—Tahun 476 M menandai salah satu momen paling penting dalam sejarah Barat. Tahun itu adalah saat Odoacer, seorang kepala suku Jermanik, menggulingkan Romulus Augustulus, Kaisar Romawi Barat terakhir.

Peristiwa besar ini, yang sering disebut sebagai "Jatuhnya Romawi", tidak menandakan berakhirnya peradaban Romawi seperti yang diketahui dunia. Lalu, apa yang terjadi dengan Kota Abadi Roma?

Jatuhnya Romawi (Barat) adalah awal dari transformasi yang mendalam dan berkepanjangan pada Kota Abadi Roma. Pada abad-abad berikutnya, Roma mengalami perubahan politik, sosial, dan ekonomi yang signifikan. Ancaman asing baru muncul, aliansi baru terbentuk dan Roma beradaptasi dengan realitas baru tersebut.

Setiap akhir adalah awal yang baru. Pada tahun 476 M, Kota Abadi memulai evolusinya dari pusat kekaisaran menjadi sesuatu yang baru tetapi sama pentingnya.

Kekaisaran Romawi runtuh, Roma pun berkembang

Ada sedikit pergolakan setelah Odoacer menyingkirkan Romulus Augustulus yang berusia 11 tahun dari takhta. Odoacer segera mengukuhkan dirinya sebagai Raja Italia pertama dan memulai era baru dalam sejarah Kota Roma.

"Awalnya, Odoacer mengambil pendekatan yang agak konservatif," tulis Robbie Mitchell di laman Ancient Origins. Ia membiarkan sebagian besar kerangka administratif Romawi yang ada tetap berlaku.

Hal ini memungkinkan adanya kesinambungan dengan rezim sebelumnya. Odoacer juga mengakui legitimasi Kaisar Romawi Timur Zeno. Manuver politik strategis ini memungkinkan adanya legitimasi di mata penduduk Romawi dan Kekaisaran Timur.

Namun, Odoacer tidak berkuasa cukup lama untuk membuat perubahan besar. Pada tahun 489 M, Theodoric yang Agung, pemimpin Ostrogoth, menyerbu Italia atas perintah Kaisar Zeno. Butuh waktu 4 tahun, tetapi Theodoric akhirnya mengalahkan Odoacer pada tahun 493 M.

Pemerintahan Ostrogoth dideklarasikan di Italia dan Ravenna dijadikan ibu kota barunya. Roma mungkin telah kehilangan sebagian statusnya. Tapi masa pemerintahan Theodoric (493-526 M) merupakan masa yang relatif stabil bagi Kota Roma tersebut.

Theodoric mungkin seorang "barbar", tetapi ia menghormati lembaga dan budaya Roma. Ia menjaga Senat Romawi tetap berjalan dan menegakkan hukum Romawi.

Baca Juga: Singkap Praktik Sihir di Yunani Kuno dan Romawi, Ada Boneka 'Voodoo'

Theodoric bahkan melaksanakan beberapa proyek restorasi di kota tersebut. Ia mengizinkan orang Romawi untuk memiliki pemerintahan sendiri dalam tingkat tertentu.

Dalam memimpin, Theodoric mempekerjakan banyak orang Romawi di posisi-posisi tinggi. Hal ini mendorong kerja sama antara para penguasa Gotik dan elite Romawi kuno, sehingga mengurangi risiko pemberontakan.  

Meskipun demikian, tidak semua kehidupan di Kota Roma berjalan mulus. Hilangnya statusnya sebagai ibu kota Kekaisaran Romawi menyebabkan penurunan populasi yang parah.

Pada akhir abad ke-5 M, populasinya turun menjadi hanya 100.000 jiwa. “Ketika Kekaisaran Romawi berada di masa keemasannya, jumlah penduduk Roma mencapai 1.000.000 jiwa,” tambah Mitchell.

Tentu saja, perubahan demografi ini menyebabkan dampak besar pada infrastruktur, ekonomi, dan tatanan sosial kota tersebut.

Pengaruh Kekaisaran Bizantium dan perang Gotik

Periode stabilitas relatif di bawah kekuasaan Ostrogoth berakhir pada tahun 535 M. Saat itu Kaisar Bizantium, Justinian I, memutuskan untuk merebut kembali bekas Kekaisaran Romawi Barat. Pertempuran ini, yang berlangsung dari tahun 535 hingga 554 M, dikenal sebagai Perang Gotik.

Selama periode ini, Kota Roma berulang kali berpindah tangan antara pasukan Gotik dan Bizantium yang berbeda. Pergantian pertama terjadi pada tahun 536, ketika Jenderal Bizantium, Belisarius, berhasil merebut kota kuno tersebut. Kota itu tetap berada di bawah kendali Bizantium hingga tahun 546. Lalu Raja Gotik Totila datang dan merebutnya kembali.

Keberhasilan Totila sangat penting karena ia mengosongkan Kota Roma untuk sementara waktu. Tindakannya merupakan langkah strategis yang menyoroti betapa rentannya kota-kota besar selama periode konflik yang terus-menerus ini.

Periode konflik adalah masa yang sulit bagi Roma. Populasi kota, yang sudah menjadi sebagian kecil dari sebelumnya, anjlok hingga sekitar 30.000 jiwa. Sebagian besar arsitektur Romawi yang mengesankan, seperti saluran air dan bangunan umum kuno, rusak atau menjadi korban konflik. Pemandian Caracalla yang ikonis, simbol kehidupan sipil Romawi, berhenti beroperasi selama periode ini.

Perang berakhir pada tahun 554 M dengan kemenangan Bizantium. Roma berada di bawah kendali Romawi Timur dan diperintah oleh pejabat Bizantium yang disebut Adipati Roma.

Baca Juga: Benarkah Orang-orang Romawi Kuno Menyukai Tradisi Kekerasan?

Pemerintahan Roma hanya mengalami sedikit perubahan di bawah penguasa Ostrogoth, tetapi ini akan segera berubah di bawah Adipati Bizantium. Pengaruh dan relevansi Senat Romawi berkurang dengan cepat hingga akhirnya dihapuskan.

Namun, kendali Bizantium atas Roma terbukti lemah. Kekaisaran telah memperluas kekuasaannya secara berlebihan. Kekaisaran berjuang untuk mempertahankan kendali atas wilayah Italia yang baru diperolehnya.

Periode pemerintahan Bizantium ini, meskipun relatif singkat, menjadi panggung bagi pengaruh kepausan yang semakin besar. Periode ini juga mendapatkan tantangan baru dari penjajah Lombardia dalam beberapa dekade berikutnya.

Kebangkitan kekuasaan Kepausan

Seiring melemahnya cengkeraman Kaisar Bizantium atas Roma dan wilayah Italia lainnya, kekosongan kekuasaan tercipta. Uskup Roma, alias Paus, dengan senang hati memanfaatkannya

Kepausan segera muncul sebagai pusat politik dan spiritual utama. Transisi tersebut berlangsung bertahap tetapi mendalam. Transisi itu pun mengubah struktur kekuasaan di Roma serta perannya dalam dunia Katolik yang lebih luas.

Bagaimana kepausan menjadi begitu berkuasa dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, struktur organisasi Gereja Katolik bertahan meskipun terjadi pergolakan politik yang berulang. Hal ini menciptakan rasa stabilitas yang menarik bagi warga negara. Kedua, klaim Paus atas otoritas spiritual sebagai penerus Santo Petrus memberikan legitimasi pada perluasan kekuasaan duniawinya.

Ketiga, ada Gregorius I (590–604 M), yang juga dikenal sebagai Gregorius Agung. Ia memainkan peran penting dalam transformasi dan kenaikan takhta kepausan. Pemerintahannya menandai titik balik di mana, sebagai Paus, ia juga bertindak sebagai administrator sipil Roma. Ia berunding dengan kaum Lombard dan mengelola persediaan makanan kota.

Selain itu, Gregorius I memperluas kegiatan misionaris Gereja Katolik dan memperkuat struktur administratifnya. Dorongan besar berikutnya bagi kekuasaan kepausan datang pada tahun 756 M dengan Sumbangan Pepin.

Hibah dari Raja Frank

Pepin si Pendek ini menghadiahkan banyak negara bagian Italia tengah kepada kepausan yang akan membentuk Negara Kepausan. Negara Kepausan mengubah Paus dari seorang pemimpin spiritual dan administrator kota menjadi penguasa teritorial sejati.

Baca Juga: Selidik Bank di Yunani Kuno dan Romawi, Samakah dengan Era Modern?

Peningkatan kekuasaan ini secara mendasar mengubah hubungan Paus dengan para penguasa sekuler. Di satu sisi, Kepausan terus bergantung pada perlindungan luar dari orang-orang seperti Bizantium dan kemudian kaum Frank.

Di sisi lain, sekarang setelah memiliki wilayahnya sendiri, Kepausan perlu menegaskan kemerdekaannya. Kepausan juga harus mempertahankan otoritas spiritual atas mereka yang diminta bantuannya.

Roma di bawah ancaman Lombard

Pada akhir abad ke-8, Paus telah menjadi penguasa de facto Roma, tetapi itu bukanlah perjalanan yang mudah. ​​Salah satu batu sandungannya adalah kaum Lombard.

Bangsa Jermanik ini mulai mengeklaim Italia pada tahun 568 M. Bangsa ini merupakan duri dalam daging bagi Kekaisaran Bizantium dan Kepausan di Roma.

Bangsa Lombard mendirikan kerajaan mereka di Italia utara, dengan ibu kota di Pavia. Seiring berjalannya waktu, mereka memperluas pengaruh mereka ke selatan. Dan pada akhir abad ke-6, kadipaten-kadipaten Lombardi mengepung Roma.

Hal ini secara efektif mengisolasi kota tersebut dari wilayah-wilayah Italia lainnya milik Bizantium. Cukuplah untuk mengatakan bahwa hal ini bukanlah hal yang baik bagi Roma.

Pertahanan Roma telah melemah akibat konflik selama bertahun-tahun dan pengabaian. Benteng-benteng utama kota tersebut adalah Tembok Aurelian, yang dibangun pada abad ke-3 M.

Tembok-tembok ini sebagian besar dibiarkan hancur perlahan. Kehadiran militer Bizantium di kota tersebut kalah jumlah secara besar-besaran dibandingkan dengan ancaman bangsa Lombardi.

Pada tahun 593, Raja Agilulf dari bangsa Lombardi mengepung Roma. Pengepungan tersebut tidak berhasil, tetapi menunjukkan betapa rentannya kota tersebut.

Akibatnya, Paus Gregorius I terpaksa mengambil peran yang lebih aktif dalam pertahanan dan diplomasi kota tersebut. Ia bernegosiasi langsung dengan kaum Lombard, yang memberikan dukungan serius baginya dalam proses tersebut.

Menyadari bahwa Kepausan tidak dapat lagi hanya mengandalkan dukungan Bizantium, Paus meminta bantuan kaum Frank untuk melawan Lombard. Paus Stephen II meresmikan aliansi ini di Francia pada tahun 753–754 M. Aliansi ini menyebabkan Pepin si Pendek tidak hanya membantu melawan kaum Lombard tetapi juga memberikan hadiah berupa negara-negara bagian.

Bangsa Lombardia tidak lagi menjadi masalah pada tahun 774 M ketika raja legendaris Charlemagne merebut kerajaan mereka. Peristiwa ini menandai dimulainya era baru dalam sejarah Roma.

Kedudukan Roma di Abad Pertengahan

Akhirnya, Kekaisaran Romawi Barat pun runtuh dan memudar dalam sejarah. Namun, Roma sendiri masih berdiri kokoh. Kota Abadi ini terus memainkan peran penting dalam dunia abad pertengahan yang sedang berkembang. Roma telah belajar untuk berubah dan berkembang, berubah dari pusat kekuatan kekaisaran menjadi pusat kekuatan spiritual.

Bahkan ketika kekuatan ekonomi dan politik Roma memudar selama berabad-abad, kota itu tetap penting secara simbolis. Kota itu masih dipandang sebagai caput mundi (kepala dunia) oleh banyak orang Eropa. Status tersebut diperkuat oleh hubungannya dengan Santo Petrus dan Kepausan.

Pandangan romantis tentang Roma ini sangat memengaruhi pemikiran politik terhadap kota itu sepanjang Abad Pertengahan. Hal ini mengarah pada konsep seperti translatio imperii (pengalihan kekuasaan), yang mendalilkan kesinambungan antara Kekaisaran Romawi dan entitas politik berikutnya.

Kota Roma semakin menarik peziarah selama periode ini. Selain makam Santo Petrus dan Santo Paulus, ada juga relik dari banyak orang suci lainnya, yang semuanya menarik peziarah dari seluruh Eropa.

Banyak dari peziarah ini kaya dan masuknya para peziarah ini meningkatkan ekonomi kota tua. Juga menyebarkan pengaruh Romawi dan Katolik ke seluruh benua. Pengembangan buku panduan untuk peziarah, seperti "Einsiedeln Itinerary" abad ke-7, membuktikan pentingnya fenomena ini.

Roma juga tetap berpengaruh di dunia akademis, meskipun pengaruhnya berubah. Banyak biara dan gereja di kota ini merupakan gudang penting pengetahuan klasik. Perpustakaan mereka yang luas menyimpan banyak teks kuno. Keberadaan perpustakaan memungkinkan pengetahuan yang dimiliki untuk Roma diwariskan ke generasi berikutnya.

Secara artistik, Roma terus memberikan pengaruh besar. Gaya arsitektur Romawi, khususnya pada bangunan gereja, menyebar ke seluruh Eropa. Bentuk basilika, misalnya, menjadi model standar bagi gereja-gereja di seluruh benua.

Motif dan teknik artistik Romawi, yang sering kali ditularkan melalui seni religius, memengaruhi perkembangan seni abad pertengahan. Pengaruhnya jauh melampaui tembok kota.

Roma juga memengaruhi cara negara-negara lain memerintah diri mereka sendiri. Pemerintahan Kepausan yang berkembang di Roma menjadi model bagi organisasi birokrasi yang selanjutnya memengaruhi pemerintahan sekuler. Kanselir Kepausan mengembangkan sistem canggih untuk produksi dokumen dan penyimpanan catatan. Hal ini ditiru oleh istana kerajaan di seluruh Eropa.

Yang terpenting, posisi Roma di dunia abad pertengahan baru diperkuat melalui hubungannya dengan kekuatan-kekuatan baru lainnya. Aliansi Kepausan dengan raja-raja Frank mencapai puncaknya dengan penobatan Charlemagne sebagai Kaisar di Roma pada 800 M.

Peristiwa ini menyoroti bagaimana kota tersebut terus menjadi titik fokus bagi konsep-konsep seperti otoritas kekaisaran. “Meski hari-harinya sebagai kekuatan kekaisaran telah lama berlalu,” Mitchell menambahkan lagi.

Roma tidak lagi menjadi ibu kota kekaisaran terbesar di dunia, tetapi masih memiliki pengaruh besar. Kota tersebut berada di pusat jaringan politik, agama, dan budaya yang membentang di Eropa abad pertengahan. Warisan kekaisarannya, dikombinasikan dengan peran barunya sebagai pusat Gereja Katolik, memastikan bahwa Kota Abadi tersebut terus menjadi seperti itu.