"Ketika mereka kembali ke negara masing-masing, mereka akan mulai merenung, 'Apakah kita ingin mempertahankan status quo atau kita ingin melakukan perubahan?' Inilah pilar pertama dari inisiatif kami," tambah Yavaprabhas.
Simposium pertama yang diselenggarakan pada November 2022 telah berhasil membangun jaringan peneliti muda dari berbagai universitas yang memiliki minat yang sama terhadap isu keberlanjutan.
Jaringan ini diharapkan dapat menjadi katalisator dalam mendorong kolaborasi antara akademisi, pemimpin pendidikan tinggi, dan pembuat kebijakan di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, langkah awal menuju terciptanya suatu ekosistem pendidikan tinggi yang berfokus pada keberlanjutan telah dimulai.
Transformasi kurikulum dengan mengadopsi pedagogi inovatif
Dalam lanskap pendidikan tinggi yang terus berevolusi, pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan semakin populernya konsep mikro-kredensial telah memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kelangsungan model universitas tradisional.
Para ahli di bidang pendidikan tinggi dari berbagai negara di Asia Tenggara menyoroti urgensi adaptasi terhadap perubahan ini, terutama dalam konteks mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Khairul Salleh Mohammed Sahari, presiden dan ketua Komite Kerangka Acuan Kualifikasi ASEAN, menyuarakan kekhawatiran bahwa masa relevansi pengetahuan yang diperoleh selama masa studi di perguruan tinggi semakin singkat.
Ia memprediksi bahwa dalam waktu dekat, pengetahuan yang dianggap mutakhir saat ini mungkin sudah usang dalam kurun waktu hanya lima tahun.
"Jika kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk secara rutin meningkatkan keterampilan, industri akan mengambil alih peran tersebut, dan itulah saat kita akan mulai menyadari bahwa keberadaan nyata universitas dan relevansinya telah hilang," ia memperingatkan.
Senada dengan Khairul, Ethel Pascua-Valenzuela, komisaris pendidikan tinggi di Filipina, juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan tinggi dalam era digital.
Beliau mencatat bahwa meskipun angka partisipasi dalam pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara mengalami peningkatan signifikan, kesenjangan digital yang masih luas menjadi hambatan utama dalam upaya mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.
Baca Juga: Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Mencari Titik Tengah yang Lestari