Nationalgeographic.co.id—Simposium penelitian regional yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Tinggi dan Pengembangan Asia Tenggara (SEAMEO RIHED) di Bangkok pada 20-22 November lalu telah menyoroti urgensi pembentukan sebuah wadah bersama untuk pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Dalam konteks dunia yang semakin kompleks akibat pandemi, pergeseran ekonomi global, dan berbagai tantangan geopolitik, wadah ini diharapkan dapat menjadi katalisator transformasi pendidikan tinggi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Dr. Romyen Kosaikanont, Direktur SEAMEO RIHED yang berbasis di Bangkok, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan inklusivitas dalam mewujudkan wadah bersama ini.
Ia menggambarkannya sebagai sebuah ruang yang memungkinkan berbagai pihak untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan ide-ide inovatif demi kemajuan pendidikan tinggi di kawasan.
"Visi kami adalah menciptakan sebuah ekosistem yang inklusif, di mana kita dapat bersama-sama membangun masa depan pendidikan yang lebih baik," ujar Kosaikanont seperti dilansir University World News.
Wadah bersama ini diharapkan dapat mendorong terciptanya pendidikan tinggi yang lebih adaptif, tangguh, dan relevan dengan tantangan global. Prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, inklusivitas, dan keterlibatan menjadi landasan utama dalam pembangunan wadah ini.
"Ini bukan sekadar platform untuk bertukar pikiran, tetapi juga sebuah katalisator atau kekuatan penggerak untuk menciptakan perubahan nyata," tegas Kosaikanont.
Dalam upaya mewujudkan wadah bersama ini, para pemangku kepentingan melihat pentingnya belajar dari pengalaman negara-negara lain, khususnya Eropa. Namun, mereka juga menekankan pentingnya menyesuaikan model tersebut dengan konteks dan kebutuhan unik kawasan Asia Tenggara.
"Kita tidak perlu meniru apa yang telah dilakukan oleh negara-negara lain. Yang penting adalah kita dapat mengambil inspirasi dan mengadaptasinya sesuai dengan kondisi kita," tambah Kosaikanont.
Meskipun demikian, upaya membangun wadah bersama ini juga dihadapkan pada sejumlah tantangan, terutama terkait dengan pendanaan. Supachai Yavaprabhas, Profesor Ilmu Politik di Universitas Chulalongkorn Bangkok dan mantan Direktur SEAMEO RIHED, menyoroti pentingnya memperluas cakupan wadah bersama ini melampaui sektor pendidikan tinggi.
"Wadah ini harus menjadi wadah untuk pembangunan secara keseluruhan, baik itu pembangunan sosial, ekonomi, maupun lingkungan," ujarnya.
Baca Juga: Membangun Asa Ketahanan Pangan di Dataran Tinggi
Simposium ini telah dihadiri oleh para pemimpin pendidikan tinggi dari berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk direktur jenderal pendidikan tinggi dari Kamboja, Laos, dan Malaysia, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Thailand, serta Komisaris Pendidikan Tinggi (CHED) dari Filipina.
Selain itu, para presiden universitas, dekan, pakar teknologi, dan delegasi dari negara-negara Uni Eropa juga turut berpartisipasi dalam acara ini.
Kolaborasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan
Kosaikanont kemudian menjelaskan kepada University World News bahwa tujuan utama mereka adalah menyatukan berbagai universitas di kawasan Asia Tenggara untuk berkolaborasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
"Kami berupaya menciptakan sebuah wadah di mana universitas-universitas dapat bekerja sama secara aktif dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," ungkap Kosaikanont.
Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya menjaga kesatuan ini agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan dan administrasi universitas.
Namun, mewujudkan tujuan ini bukanlah hal yang mudah di kawasan Asia Tenggara yang sangat beragam, baik dari segi perkembangan ekonomi maupun budaya.
Sebagai contoh, Singapura, dengan pendapatan per kapita yang tinggi, telah menjadi pemimpin dunia dalam penerapan teknologi digital di sektor pendidikan tinggi.
Sebaliknya, negara-negara seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar masih menghadapi tantangan kemiskinan dan kesenjangan digital yang signifikan antara penduduk perkotaan dan pedesaan.
Yavaprabhas mengamati bahwa perbedaan visi antar negara anggota ASEAN menjadi salah satu tantangan utama. "Ketika kami mengundang sepuluh negara ASEAN untuk berbagi praktik terbaik mereka, kami menemukan bahwa setengah dari negara-negara tersebut memiliki visi yang berbeda dengan setengahnya lagi," ujar Yavaprabhas.
Oleh karena itu, simposium regional yang diharapkan diadakan setiap dua tahun hingga tahun 2030 ini dirancang sebagai wadah bagi para pemangku kepentingan untuk saling belajar dan bertukar pengetahuan.
Baca Juga: MiiR Resmi Hadir di Indonesia, Bawa Gaya Hidup Sehat dan Berkelanjutan
"Ketika mereka kembali ke negara masing-masing, mereka akan mulai merenung, 'Apakah kita ingin mempertahankan status quo atau kita ingin melakukan perubahan?' Inilah pilar pertama dari inisiatif kami," tambah Yavaprabhas.
Simposium pertama yang diselenggarakan pada November 2022 telah berhasil membangun jaringan peneliti muda dari berbagai universitas yang memiliki minat yang sama terhadap isu keberlanjutan.
Jaringan ini diharapkan dapat menjadi katalisator dalam mendorong kolaborasi antara akademisi, pemimpin pendidikan tinggi, dan pembuat kebijakan di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, langkah awal menuju terciptanya suatu ekosistem pendidikan tinggi yang berfokus pada keberlanjutan telah dimulai.
Transformasi kurikulum dengan mengadopsi pedagogi inovatif
Dalam lanskap pendidikan tinggi yang terus berevolusi, pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan semakin populernya konsep mikro-kredensial telah memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kelangsungan model universitas tradisional.
Para ahli di bidang pendidikan tinggi dari berbagai negara di Asia Tenggara menyoroti urgensi adaptasi terhadap perubahan ini, terutama dalam konteks mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Khairul Salleh Mohammed Sahari, presiden dan ketua Komite Kerangka Acuan Kualifikasi ASEAN, menyuarakan kekhawatiran bahwa masa relevansi pengetahuan yang diperoleh selama masa studi di perguruan tinggi semakin singkat.
Ia memprediksi bahwa dalam waktu dekat, pengetahuan yang dianggap mutakhir saat ini mungkin sudah usang dalam kurun waktu hanya lima tahun.
"Jika kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk secara rutin meningkatkan keterampilan, industri akan mengambil alih peran tersebut, dan itulah saat kita akan mulai menyadari bahwa keberadaan nyata universitas dan relevansinya telah hilang," ia memperingatkan.
Senada dengan Khairul, Ethel Pascua-Valenzuela, komisaris pendidikan tinggi di Filipina, juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan tinggi dalam era digital.
Beliau mencatat bahwa meskipun angka partisipasi dalam pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara mengalami peningkatan signifikan, kesenjangan digital yang masih luas menjadi hambatan utama dalam upaya mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.
Baca Juga: Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Mencari Titik Tengah yang Lestari
Peralihan ke pembelajaran daring yang semakin masif, terutama selama pandemi COVID-19, telah memperburuk ketidaksetaraan akses terhadap teknologi dan sumber daya belajar yang berkualitas, khususnya bagi siswa di daerah pedesaan dan berpendapatan rendah.
Mak Ngoy, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Umum di Kementerian Pendidikan Kamboja, turut berbagi pengalaman negaranya dalam menghadapi transformasi digital di sektor pendidikan tinggi.
Beliau mengakui bahwa Kamboja masih berada pada tahap awal dalam upaya digitalisasi pendidikan, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur digital.
"Di Kamboja, kami masih berada pada tahap permulaan. Kami memulai dengan langkah yang sangat lambat karena terbatasnya infrastruktur digital," ungkapnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Pendidikan Kamboja tengah berupaya melakukan transformasi kurikulum dengan mengadopsi pedagogi inovatif dan sistem penilaian yang lebih holistik, sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Banyak tantangan untuk pendidikan tinggi
Perubahan iklim telah memberikan dampak signifikan terhadap sektor pertanian di Kamboja, salah satu pilar utama perekonomian negara tersebut. Dampak ini semakin diperparah oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan oleh Mak, "dengan uang yang kami miliki, kami tidak dapat melakukan apa pun."
Sentimen serupa juga diungkapkan oleh Wakil Direktur Jenderal Departemen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Laos, Lavanh Vongkhamsane. Lavanh menyoroti perlunya universitas di Laos untuk merancang "kurikulum transformasi digital" guna menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Namun, upaya ini terkendala oleh kurangnya literasi digital di kalangan dosen dan staf pendidikan. Ia menekankan pentingnya investasi dalam penelitian untuk mendukung pergeseran budaya, tenaga kerja, dan teknologi di sektor pendidikan tinggi Laos.
"Kami memiliki banyak tantangan untuk pendidikan tinggi di negara kami," ujar Lavanh. "Kami sedang memikirkan dana penelitian karena kami membutuhkan pergeseran budaya, tenaga kerja, dan teknologi."
Selain tantangan pendanaan, aksesibilitas terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga menjadi kendala utama. "Ketika kita berbicara tentang akses digital, ini hanya untuk memastikan akses yang dapat diterima ke infrastruktur TIK dan perangkat," jelas Lavanh.
Namun, akses semata tidak cukup. Pelatihan keterampilan digital yang komprehensif harus diberikan kepada pendidik, siswa, dan administrator untuk membangun kompetensi literasi digital yang memadai.
Di sisi lain, Singapura, yang dikenal sebagai pusat inovasi di Asia Tenggara, telah mengambil langkah yang lebih proaktif dalam menghadapi disrupsi digital dalam pendidikan tinggi.
Universitas Ilmu Sosial Singapura (SUSS), misalnya, telah mengembangkan program mikro-kredensial yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis, khususnya di sektor ekonomi hijau.
Presiden SUSS, Tan Tai Yong, memperingatkan bahwa keterampilan yang relevan saat ini mungkin akan menjadi usang dalam waktu singkat.
"Saya melihat gelombang baru datang, dan ini akan memiliki dampak yang sangat mendasar pada pendidikan tinggi," ujarnya. "Keterampilan yang Anda pelajari [sekarang] akan menjadi tidak relevan dalam lima tahun."
Sebagai contoh, SUSS telah bekerja sama dengan Singapore Airlines untuk menawarkan program mikro-kredensial bagi pilot berusia 35-40 tahun yang ingin beralih ke bidang manajemen atau lainnya.
Program ini memberikan fleksibilitas bagi para pilot untuk mengembangkan keterampilan baru yang relevan dengan industri penerbangan yang terus berkembang.