Membangun Masa Depan Berkelanjutan Melalui Pintu Gerbang Pendidikan

By Ade S, Minggu, 1 Desember 2024 | 14:03 WIB
Bagaimana pendidikan mendorong pembangunan berkelanjutan di tengah segala tantangan global dan beragam perbedaan. (AkshayaPatra Foundation/Pixabay)

Peralihan ke pembelajaran daring yang semakin masif, terutama selama pandemi COVID-19, telah memperburuk ketidaksetaraan akses terhadap teknologi dan sumber daya belajar yang berkualitas, khususnya bagi siswa di daerah pedesaan dan berpendapatan rendah.

Mak Ngoy, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Umum di Kementerian Pendidikan Kamboja, turut berbagi pengalaman negaranya dalam menghadapi transformasi digital di sektor pendidikan tinggi.

Beliau mengakui bahwa Kamboja masih berada pada tahap awal dalam upaya digitalisasi pendidikan, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur digital.

"Di Kamboja, kami masih berada pada tahap permulaan. Kami memulai dengan langkah yang sangat lambat karena terbatasnya infrastruktur digital," ungkapnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Pendidikan Kamboja tengah berupaya melakukan transformasi kurikulum dengan mengadopsi pedagogi inovatif dan sistem penilaian yang lebih holistik, sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Banyak tantangan untuk pendidikan tinggi

Perubahan iklim telah memberikan dampak signifikan terhadap sektor pertanian di Kamboja, salah satu pilar utama perekonomian negara tersebut. Dampak ini semakin diperparah oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan. Seperti yang diungkapkan oleh Mak, "dengan uang yang kami miliki, kami tidak dapat melakukan apa pun."

Sentimen serupa juga diungkapkan oleh Wakil Direktur Jenderal Departemen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Laos, Lavanh Vongkhamsane. Lavanh menyoroti perlunya universitas di Laos untuk merancang "kurikulum transformasi digital" guna menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Namun, upaya ini terkendala oleh kurangnya literasi digital di kalangan dosen dan staf pendidikan. Ia menekankan pentingnya investasi dalam penelitian untuk mendukung pergeseran budaya, tenaga kerja, dan teknologi di sektor pendidikan tinggi Laos.

"Kami memiliki banyak tantangan untuk pendidikan tinggi di negara kami," ujar Lavanh. "Kami sedang memikirkan dana penelitian karena kami membutuhkan pergeseran budaya, tenaga kerja, dan teknologi."

Selain tantangan pendanaan, aksesibilitas terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga menjadi kendala utama. "Ketika kita berbicara tentang akses digital, ini hanya untuk memastikan akses yang dapat diterima ke infrastruktur TIK dan perangkat," jelas Lavanh.

Namun, akses semata tidak cukup. Pelatihan keterampilan digital yang komprehensif harus diberikan kepada pendidik, siswa, dan administrator untuk membangun kompetensi literasi digital yang memadai.

Di sisi lain, Singapura, yang dikenal sebagai pusat inovasi di Asia Tenggara, telah mengambil langkah yang lebih proaktif dalam menghadapi disrupsi digital dalam pendidikan tinggi.

Universitas Ilmu Sosial Singapura (SUSS), misalnya, telah mengembangkan program mikro-kredensial yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis, khususnya di sektor ekonomi hijau.

Presiden SUSS, Tan Tai Yong, memperingatkan bahwa keterampilan yang relevan saat ini mungkin akan menjadi usang dalam waktu singkat.

"Saya melihat gelombang baru datang, dan ini akan memiliki dampak yang sangat mendasar pada pendidikan tinggi," ujarnya. "Keterampilan yang Anda pelajari [sekarang] akan menjadi tidak relevan dalam lima tahun."

Sebagai contoh, SUSS telah bekerja sama dengan Singapore Airlines untuk menawarkan program mikro-kredensial bagi pilot berusia 35-40 tahun yang ingin beralih ke bidang manajemen atau lainnya.

Program ini memberikan fleksibilitas bagi para pilot untuk mengembangkan keterampilan baru yang relevan dengan industri penerbangan yang terus berkembang.