Nationalgeographic.co.id - Kami hanya bisa melongo mendengar penjelasan Eka Nugraha pada diskusi pagi itu. Tidak hanya Eka, Darmawan Budi Prihanto dan Arieffian Eko Kurniawan juga hadir dan memberikan keterangan rencana perjalanan kami. Sesekali menunjukkan foto yang sudah didapatnya.
“Nah, (foto) ini diambil di Dowan (Jawa Tengah). Batunya ada di tengah jalan dan kiri-kanannya adalah rumah penduduk,” kata Eka, ahli geologi yang sudah bekerja lama untuk Pertamina Hulu Energi, salah satu anak perusahaan PT. Pertamina (persero) yang mengurusi bisnis di bagian hulu industri migas.
Eka menunjuk foto yang terpampang di layar proyektor di muka ruang diskusi. Melihat kondisi itu, saya langsung berpikir, kalau batu itu lenyap disapu aspal jalan warga, kemana lagi para ahli geologi yang kerjanya cari sumber minyak baru itu mencari lokasi latihan?
“Betul sekali perihal lahan latihan lapangan bagi geologist dalam mengenal geologi di permukaan semakin tahun semakin berkurang terutama di Jawa,” ujar Eka dalam kesempatan terpisah. “Sementara perguruan tinggi dan institusi untuk ahli kebumian justru banyak terdapat di Jawa.”
Baca Juga : Populasi Burung Pantai Semakin Berkurang, Apakah Manusia Penyebabnya?
Buat Eka, Darmawan, dan Arieffian, lahan latihan lapangan untuk para ahli kebumian terasa berkurang. “Pada field work sebelumnya di area Sukabumi mereka ingin berlatih untuk melihat batuan berumur Paleogen Formasi Walat yang dulu punya singkapan di Gunung Walat, yang ada di dekat Cibadak, Sukabumi. Pada awal tahun kemarin singkapan itu sudah hampir habis karena aktivitas penambangan,” lanjut Eka bercerita.
Untunglah, dalam wilayah itu, terdapat bekas lahan tambang PT. Holcim yang telah direhabilitasi dan dijadikan hutan pendidikan. PT. Holchim mengembangkan hutan ini bekerjasama dengan sejumlah universitas untuk didedikasikan pada penelitian lapangan, baik perhutanan, jurusan biologi maupun geologi. “Jadi, di sini kita masih bisa ketemu beberapa singkapan dan tetap dijaga oleh pengelola dari pihak PT. Holcim,” kata Eka.
Ahli geologi sendiri bukannya berpangku tangan. Mereka juga bergerak mendorong sejumlah wilayah memiliki status sebagai cagar edukasi lapangan melalui skema taman bumi (geopark). Eka pun memberikan contoh, misalnya Ciletuh Geopark di perbatasan Sukabumi – Bayah (Banten), Karang Sambung di daerah Kebumen, Padalarang Stone Garden, Bayat dan lainnya.
Konservasi geologi itu biasanya dikelola oleh institusi pemerintah, seperti LIPI bekerjasama dengan pemerintah daerah dan instistusi perguruan tinggi. Selain area konservasi edukasi, beberapa lahan tersebut juga dijadikan sebagai kawasan wisata (Padalarang Stone Garden).
Namun, proyek pembangunan juga tidak selamanya membuat area latihan geologist di lapangan menjadi semakin terbatas. Ada kalanya, kata Eka, justru pembangunan membantu ahli geologi menemukan singkapan baru, misalnya cut and fill (pengupasan) area pembangunan jalan raya.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR