Nationalgeographic.co.id - Mendengar kata tikus, bagi sebagian orang mungkin akan memunculkan emosi yang beragam. Jijik dan marah bisa jadi dua respons terbanyak, mengingat hewan pengerat ini kerap merusak berbagai peralatan rumah tangga dan hidup di dalam saluran air yang kotor.
Namun percayakah Anda bila kita, manusa dan tikus pernah hidup berdampingan? Bahkan kita pernah menjadikan hewan ini sebagai hewan peliharaan. Sebuah penelitian dari Proceedings of the National Academy of Sciences mengungkapkan hubungan antara manusia dengan hama ini telah berlangsung lama.
Dengan mempelajari fluktuasi fosil tikus rumahan di situs arkelogi sekitar Mediterania timur, para ilmuwan mengungkap bahwa tikus rumahan (Mus musculus domesticus) dan manusia, pertama kali hidup tentram sekitar 15.000 tahun lalu. Sekitar 3.000 tahun sebelum adanya penemuan di bidang agrikultur.
Baca Juga : Mengkhawatirkan, Mikroplastik Ditemukan dalam Garam dan Ikan di Indonesia
Penemuan ini memunculkan pandangan baru pada periode suram dalam perkembangan manusia, karena adanya suatu kelimpahan fosil gigi tikus yang tampak sesuai dengan jejak perubahan perilaku nenek moyang kita. Dari hidup nomaden menjadi hidup menetap.
Milos Macholan, biolog, pakar evolusi dan penulis pendamping dari The Evolution of the House Mouse mengatakan bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi contoh yang baik mengenai sejarah manusia, melalui perilaku tikus rumah.
"Menurut saya penting untuk memahami bahwa tikus telah menemani kita dalam waktu yang sangat panjang," ungkap kepala peneliti, Lior Weissbrod, arkeolog hewan dari University of Haifa di Israel.
Penelitian lain mempelajari peningkatan jumlah tikus rumah di Levant, sebuah area yang hari ini mencakup bagian dari Israel, Lebanon dan Syria. Di tempat ini, peneliti pernah menemukan situs arkeologi yang ditinggalkan oleh kebudayaan Natufian dari periode 15.000 tahun yang lalu.
Dengan memeriksa fosil gigi-gigi di situs tersebut, tim peneliti menemukan bahwa kisah tikus rumahan sangat terkait dengan spesies bernama Mus macedonicus. Tikus berbuntut pendek. Hama ini dianggap lebih liar dan kurang toleran terhadap kehadiran manusia.
Saat pemburu dan pengumpul Nautifian mulai hidup menetap—sebagai hasil dari kondisi iklim yang sesuai—tim peneliti menemukan adanya sebuah peningkatan jumlah geraham tikus di sekitar permukiman manusia.
Seorang peneliti mengatakan bahwa hewan ini mungkin tertarik dengan sisa-sisa butiran padi yang disimpan oleh manusia untuk bertahan hidup tanpa perlu berpindah-pindah.
Baca Juga : Potret-potret Menyedihkan Dari Lokasi Pengembangan Senjata Nuklir
Keuntungan yang dimiliki oleh tikus rumahan nampaknya menjadi kekurangan bagi para tikus berbuntut pendek. Saat geraham tikus rumahan mulai menumpuk selama periode menetap, tikus berbuntut pendek pun mulai punah.
Meski begitu, saat iklim berubah lagi dan daerah tadi menjadi dingin dan kering, Suku Natufian kembali pada cara hidup awal mereka, hanya bertahan di satu tempat selama sumber daya tersedia. Pada masa itu, peneliti menemukan bahwa populasi tikus berbuntut pendek kembali meningkat.
Hubungan antara permukiman manusia dengan fluktuasi populasi tikus rumahan menjadi semakin jelas saat tim peneliti membandingkan hasil fosil dengan populasi tikus di sekitar masyarakat yang masih berburu saat ini.
Suku Maasai di sebelah selatan Kenya masih mempraktikkan cara hidup semi-nomaden, menggembalakan ternak ke sejumlah area berbeda—bergantung pada musim. Seperti Natufian, suku Maasai hidup (setidaknya) dekat dengan dua spesies tikus, Acomys wilsoni dan Acomys ignitus.
Peneliti kemudian mengatur jebakan pengerat di dalam dan sekitar permukiman Maasai. Walaupun populasi dua pengerat tadi hampir sama banyaknya di area tersebut, perangkap-perangkap yang dipasang di dalam rumah-rumah suku Maasai menangkap lebih banyak A. ignitus (87 persen) dibandingkan dengan A. wilsoni (13 persen).
Weissbrod, salah seorang peneliti tertarik dengan temuan ini, karena mereka mengamati rasio yang sama dengan tikus rumahan (80 persen) dan tikus berbuntut pendek (20 persen) dari situs Jordan Valley di Ain Mallaha, sebuah pemukiman Natufian yang ada pada masa 12.000 hingga 13.000 tahun lalu.
Baca Juga : Nemo Tidak Akan Pernah Tersengat Anemon, Begini Penjelasannya
“Ini memberi kita kunci yang dibutuhkan untuk memahami keragaman proporsi tikus dalam sampel-sampel dari periode yang lebih awal dan setelahnya,” ujar Weissbrod.
"Penemuan ini sangat keren dan menyenangkan," ujar Keith Dobney, seorang bio-arkeolog dari University of Liverpool. Mereka menyediakan sebuah "jendela" baru untuk melihat masa lalu,ucap Dobney.
Tidak hanya karena penelitian ini menunjukkan bahwa tikus rumahan mengalahkan jumlah spesies tikus lainnya—dengan mengembangkan hubungan sepihak dengan manusia. Para penulis juga telah menelusuri penyesuaian dan awalan yang berakhir pada pola hidup menetap di Levant, hanya dengan mengikuti peningkatan dan penurunan populasi hewan pengerat ini.
Hubungan antara manusia dengan tikus masih tetap berlangsung dan terus berubah. Beberapa orang memelihara tikus jinak. Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa manusia memiliki hutang budi dengan tikus karena perannya dalam riset biomedis.
Apapun yang Anda rasakan, hubungan manusia dengan tikus jauh lebih rumit dan kuno dibanding yang sebelumnya kita kira.
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR