Nationalgeographic.co.id - Sebelum dibunuh oleh suku pedalaman di pulau terpencil di Samudera Hindia, John Allen Chau, pria asal Amerika, memiliki misi untuk menyebarkan agama Kristen. Dalam surat terakhirnya, John mengungkapkan dua hal: bahwa ia siap mati, sekaligus sangat ketakutan.
"Mungkin kalian berpikir aku gila," tulis John dalam surat yang dikirim ke orangtuanya. "Namun, aku rasa, penting untuk mengenalkan Yesus kepada orang-orang ini."
Dalam potongan-potongan surat dan catatan harian yang terdiri dari 13 halaman, John menjelaskan hal yang terjadi di hari-hari terakhirnya di Pulau Sentinel Utara. Bahwa ia mencoba memberikan kado, tetapi seorang anak laki-laki menembakkan panah ke tubuhnya. John mengekspresikan rasa takut, frustasi, dan sesekali diselingi humor.
Orang-orang yang John pilih untuk dikenalkan kepada agama Kristen, merupakan salah satu masyarakat paling tertutup di dunia. Bahkan, sangat ekstrem membatasi kontak dengan dunia luar. Selain John, mereka telah membunuh—atau mencoba membunuh—siapa pun orang asing yang mencoba memasuki pulau mereka.
Pulau Sentinel Utara berlokasi di wilayah terjauh India. Selama bertahun-tahun, pemerintah India telah menetapkannya sebagai area terlarang untuk melestarikan budaya dan suku asli yang tinggal di sana. Angkatan Laut India kerap berpatroli di perairan sekitarnya untuk memastikan tidak ada yang mendekat.
Baca Juga : Diduga Ingin Sebarkan Agama Kristen, Turis Amerika Tewas Dipanah Suku Terasing
Namun, hal tersebut tampaknya tidak menghentikan niat John untuk melaksanakan misinya. Pada akhir November lalu, pria berusia 27 tahun tersebut memberi uang kepada para nelayan agar bersedia mengantarkannya ke Pulau Sentinel Utara. John berangkat dari Pelabuhan Blair, menuju rantai pulau Andaman di tengah kegelapan.
John yang berasal dari Washington memang dikenal sebagai petualang yang ambisius. Ia gemar mendaki gunung, berkemah di tempat terisolasi, berkano, dan melihat dunia.
Lulusan Oral Roberts University ini memiliki tekad yang kuat untuk menyebarkan agama Kristen ke Sentinel Utara. Kepada teman-temannya, John mengatakan telah berusaha menjalin kontak dengan suku asli Sentinel selama bertahun-tahun. Tampaknya, ia bekerja sendiri, tanpa mewakili organisasi keagamaan mana pun. Untuk melakukan misi ini, John bahkan membawa alkitab tahan airnya.
Para nelayan yang mengantarnya, menolak mendarat di daratan Pulau Sentinel Utara. Sebab, nelayan terakhir yang tanpa sengaja terdampar di sana pada 2006, akhirnya dibunuh oleh suku Sentinel.
Tak kehabisan akal, saat mendekati bibir pantai, John langsung lompat ke arah kayak dan mengayuhnya sendiri. Usaha pertamanya ini tidak berjalan lancar.
"Dua anggota suku Sentinel bersenjata, datang mendekat sambil berteriak. Masing-masing dari mereka memiliki dua anak panah. Aku berteriak: 'Namaku John. Aku dan Jesus mencintai kalian'," tulis John dalam suratnya.
Sambil mengatakan itu, ia berusaha memberikan mereka ikan. Namun, anggota suku Sentinel terus mendekat.
"Aku ketakutan. Namun, lebih banyak rasa kecewa karena mereka tidak menerimaku," tutur John. Ia pun terombang-ambing di lautan karena tidak bisa mendekat.
John memang nekat melakukan hal yang sepertinya tidak mungkin. Selama ini, diketahui bahwa suku Sentinel tidak pernah menerima kedatangan orang lain di luar anggota kelompoknya. Antropolog, pembuat film, dan pejabat pemerintah, telah mencoba mendekati mereka, tetapi selalu terpaksa mundur karena disambut oleh busur dan panah.
Orang-orang Sentinel mengunci diri mereka dari dunia modern. Kelompok pemburu-pengumpul tersebut bertahan hidup dengan memakan kura-kura dan babi, serta tinggal di dalam pondok.
Meski sudah tahu kenyataannya, tetapi John berharap bisa menembus dan masuk ke Pulau Sentinel Utara. Ia bahkan menyiapkan beberapa 'kado' seperti gunting, peniti, alat memancing, dan bola, untuk diberikan kepada mereka.
Sayangnya, seperti yang ditulis John sebelum ia meninggal, suku Sentinel terlihat bingung dan sangat tidak ramah atas kehadirannya. Salah satu pria berteriak kepadanya dan John mencoba merespons dengan menyanyikan lagu pujian kepada Yesus. Sesekali, John berkomunikasi dengan Xhosa, bahasa yang diketahuinya saat berkunjung ke Afrika Selatan beberapa tahun lalu. Namun, respons mereka tidak bisa diharapkan dan terkadang menertawakan John.
Komunikasi lebih rumit setelahnya. Dan ketika John berusaha memberikan ikan dan hadiah, seorang anak laki-laki menembakkan panah ke alkitab yang dipegangnya.
"Aku mengambil panah yang merobek alkitab dan itu terbuat dari logam. Tipis, tapi sangat tajam," paparnya.
Sampai dua hari kemudian, John bergerak maju dan mundur, terombang-ambing di dalam kayaknya--tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di jurnalnya, John menulis: "Aku tidak ingin mati!". Ia pun menitipkan surat kepada nelayan dan meminta mereka mengirimkannya ke keluarganya jika tidak bisa kembali dari Pulau Sentinel Utara.
Menurut keterangan para nelayan, pada 16 November, John meyakinkan mereka bahwa ia akan baik-baik saja di pulau tersebut. John lalu meminta para nelayan untuk pergi. Untuk pertama kalinya, nelayan membiarkan John sendiri di sekitar Pulau Sentinel Utara.
Baca Juga : Fakta-fakta Suku Terasing Sentinel yang Membunuh Turis Amerika
Keesokan harinya, ketika melintasi pulau, para nelayan melihat anggota suku Sentinel sudah menyeret tubuh John di sekitar pantai dengan tali.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, beberapa petugas kepolisian menyatakan bahwa suku Sentinel mungkin telah menembak John dengan panah.
Tubuh John masih ada di pulau tersebut. Polisi mengatakan, sulit untuk mengambil kembali mayat John karena takut nasib yang sama akan terjadi kepada mereka. Pihak berwenang telah berpatroli di atas pulau dengan menggunakan helikopter, tetapi belum ada yang menginjakkan kaki di daratan Pulau Sentinel Utara.
Sebelum ajal menjemput, John memberikan pesan kepada orangtuanya. Dengan tulisan tangan yang semakin kacau, ia mengatakan: "Tolong jangan marah kepada mereka (anggota suku Sentinel) atau Tuhan jika aku terbunuh di sini. Aku cinta kalian semua."
Source | : | New York Times |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR