Nationalgeographic.co.id – Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, amat terkenal dengan industri cor kuningannya. Di desa ini, terdapat 40 pengrajin dengan hasil produksi berupa patung Buddha, replika candi, serta berbagai cinderamata yang terbuat dari logam kuningan. Agus Kasiyanto merupakan salah satunya.
Sejak kelas 2 SMP, Agus sudah mengenal seluk beluk industri cor kuningan. Ini semua karena orangtuanya sudah menggeluti bidang tersebut dari 1970-an. Setiap pulang sekolah, Agus membantu mengerjakan patung kuningan. Ia terjun langsung untuk melihat dan mempelajari proses pembuatannya mulai dari peleburan, pembuatan cetakkan, hingga proses finishing.
“Sambil membantu orangtua, saya melihat dan belajar sendiri—otodidak sampai akhirnya bisa membuat patung kuningan sendiri,” papar pria berusia 44 tahun ini.
Baca Juga : Atasi Kekumuhan, Warga Desa Doudo Ubah Sampah Jadi Sesuatu yang Bernilai
Seiring beranjak dewasa, tanggung jawab Agus pun bertambah. Ia tidak hanya membuat patung kuningan, tapi juga terlibat dari proses pengadaan bahan baku sampai penjualan kerajinan. Agus kerap diajak orangtuanya mengirim barang ke Bali—peminat terbesar patung kuningan.
“Awalnya masih ditemani orangtua, kemudian dibebaskan sendiri. Saya mengenal para pengepul dan sering bertemu pemilik art shop di Bali,” cerita Agus.
Berdasarkan bekal dari orangtuanya itu lah, pada 1994, Agus mantap untuk mendirikan usaha kerajinan cor kuningan miliknya sendiri. Dengan mengusung nama UD Buddha Spesial, Agus fokus mengerjakan patung kepala Buddha. Menurutnya, pada era 1990-an kerajinan patung kepala Buddha sangat diminati konsumen, pesanan pun membanjir.
Namun, hal ini tak berlangsung lama. Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998, para pengrajin cor kuningan di Desa Bejijong turut terkena dampaknya. Harga bahan baku meningkat tajam sehingga para pegiat industri ini kesulitan memenuhinya. Dari 200 orang pengrajin di desa Bejijong, hanya tersisa 40 pascaorde baru.
“Banyak usaha cor kuningan yang tiarap,” ujar Agus.
Meski berhasil menyelamatkan UD Buddha Spesial, tapi ia merasa persaingan antarpengrajin semakin ketat. Agus dan istrinya yang ikut menjalankan bisnis ini pun dituntut untuk semakin kreatif. Mereka tak lagi mengerjakan patung Buddha saja, tapi juga membuat cinderamata dari logam kuningan. Motifnya pun beragam. Agar tidak menimbulkan konflik dengan puluhan pengrajin lain, motif dari setiap pengusaha dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes).
“Perdes ini melindungi pengrajin. Sebagai contoh, barang dan motif yang sudah saya buat, tidak boleh diproduksi yang lain. Ada hak ciptanya,” tutur Agus.
“Kita tidak bisa bergantung pada patung Buddha saja. Tidak bisa mengandalkan pesanan dari Bali saja, makanya harus kreatif membuat inspirasi motif baru biar semakin berkembang dan nggak rebutan,” imbuhnya.
Kini, saat berkunjung ke galeri Agus, Anda dapat melihat berbagai kerajinan dari cor kuningan. Ada hiasan pintu, lonceng, piagam, hingga patung dewa Siwa, Ganesha, dan Wisnu dalam berbagai ukuran. Produk-produk tersebut dihargai Rp25 ribu-60 juta.
Untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya, pada tahun 2006 Agus mengajukan permintaan bantuan kepada PT Pertamina Persero melalui program kemitraan yang kemudian terealisasi. Bisnisnya juga semakin berkembang ketika Program Rumah Kreatif BUMN (RKB) hadir melalui PT.Pertamina Persero yang kemudian didirikan di Mojokerto pada 2017. RKB sendiri merupakan program yang mewadahi para pelaku UKM dengan tujuan meningkatkan kapabilitas para pelaku usaha kecil.
Agus mendapat pinjaman lunak sebesar Rp20 juta dari RKB, juga mendapat kesempatan untuk mempromosikan kerajinan logam kuningannya pada beragam pameran. Ayah tiga anak ini sempat mengikuti pameran besar di Jakarta dan Surabaya, bahkan hingga ke Den Haag, Belanda. Pada kesempatan ini lah, ia mengenal pembeli-pembeli baru yang kemudian membuat bisnisnya semakin berkembang.
Baca Juga : Kampung Sayur Hingga Aloe Vera, Uniknya Cara Warga Doudo Manfaatkan Pekarangan Rumah
Konsumen kerajinan cor kuningan Agus kini tersebar beberapa wilayah di Indonesia seperti Bali, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Kalimantan. Untuk luar negeri, pesanan datang dari Malaysia hingga Australia. Dan setiap tahunnya, banyak turis asing dari Inggris maupun Timor Leste yang mengunjungi galeri Agus. Omzet yang didapatnya mencapai Rp80 juta per bulan.
Selain itu, Agus juga rutin mengikuti pelatihan manajemen keuangan dan pemasaran dari RKB Mojokerto. “Sangat membantu pelaku bisnis UKM seperti saya,” pungkasnya.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR