Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkannya kepada para kuli Cina. Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan.
Para kuli kerap menjalani penyiksaan tak terperi, menurut singkapan Breman. Mereka disiksa di tempat terbuka supaya menimbulkan dampak jera kepada kuli-kuli lainnya.
Tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat. Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, kuli perempuan digosok kemaluannya dengan merica halus.
Kuli menjadi sebuah ironi di negerinya sendiri. Breeman berkesimpulan bahwa tindak penyiksaan terhadap para kuli tadi bukanlah suatu kasus yang kebetulan terjadi, melainkan bersifat mengakar lantaran didukung antara tuan kebun dan pemerintah kolonial.
Baca Juga : Letjen Doni dan Tumbler, Wujud Penolakan Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Keindahan untaian porselen gedung HVA—kini kantor PT Perkebunan Nusantara XI—tampaknya menjadi penanda zaman sekaligus memiliki pesan tersembunyi kepada kita. Pesan yang tersirat bahwa Nusantara adalah negeri yang dilimpahi kekayaan—mungkin itu juga yang membuat kita malas dan bodoh.
Namun, pastinya kita tidak terlalu bodoh untuk berharap bahwa semoga kepiluan para kuli kontrak tadi tak terulang lagi di dunia, yang konon kini lebih beradab.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR